Thursday, January 28, 2016

Menristek, Turing, dan Sikap Kita


Alan Turing/bbc

Beberapa hari lalu menteri riset dan teknologi (Menristek) M Nasir membuat pernyataan yang menghebohkan publik. Ia melarang lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masuk kampus! Alasannya karena LGBT tidak sesuai dengan nilai-nilai asusila bangsa. Pernyataan itu menanggapi adanya sebuah lembaga kajian di kampus Universitas Indonesia bernama Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) yang didirikan sejak tahun 2014 lalu. Lembaga kajian itu salah satunya membahas soal LGBT.
Pernyataan menteri tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap pernyataan menteri tersebut sudah tepat, sebagian lagi menyayangkan dan bahkan menghujatnya. Bagi yang mendukung menteri, mereka membenarkan bahwa LGBT bukanlah budaya bangsa ini. LGBT disebut sebagai penyakit moral yang harus disembuhkan. Sebaliknya, bagi yang menentang pernyataan sang menteri, ucapan tersebut dianggap melecehkan. Karena bagaimana pun, LGBT adalah orientasi seksual yang muncul dari alam bawah sadar. Seseorang tidak pernah memilih dirinya untuk menjadi LGBT.
Pernyataan kontroversial sang menteri kemudian diklarifikasi beberapa saat kemudian. M Nasir menyebut yang dilarang di kampus adalah perilaku seksualnya, misalnya mengumbar kemesraan di depan umum. Sementara kegiatan lainnya, M Nasir memperbolehkan dengan dalih berserikat dan berkumpul adalah hak seluruh warga negara Indonesia.
LGBT memang menjadi topik sensitif karena melibatkan banyak hal, termasuk ajaran agama dan hak asasi manusia. Namun pernyataan M Nasir yang spesifik menyebut LGBT dilarang masuk kampus, atau pun LGBT dilarang bermesraan di kampus, hal ini perlu dikaji ulang.
Jika benar LGBT dilarang masuk kampus, jelas saja sang menteri mencederai kebebasan di ruang akademik. Ruang akademik adalah ruang yang sangat bebas, tidak dibatasi pada persoalan pribadi. Terlebih jika melibatkan hal pribadi yang menjadi hak privasi, atau malah persoalan yang sifatnya intim seperti orientasi seksual.
Kalau pun Menristek sudah melakukan klarifikasi bahwa yang dilarang adalah perilaku yang mengarah pada kegiatan seksual, seperti bercumbu, bermesraan dan lain sebagainya, apakah yang dilarang hanya LGBT? Bagaimana pernyataan sang menteri terhadap prilaku mengarah pada kegiatan seksual yang dialami pasangan non-LGBT? Apakah dilegalkan? Saya rasa klarifikasi dari sang menteri membuat pernyataannya semakin absurd. Jika sudah wilayahnya adalah tindakan mengarah pada perilaku seksual, maka seruan tersebut etisnya disampaikan kepada seluruh orang, bukan hanya LGBT. Sebab hal tersebut sudah masuk wilayah kesopanan umum, tidak hanya golongan tertentu.
Kalau pun Menristek sudah melakukan klarifikasi bahwa yang dilarang adalah perilaku yang mengarah pada kegiatan seksual, seperti bercumbu, bermesraan dan lain sebagainya, apakah yang dilarang hanya LGBT? Bagaimana pernyataan sang menteri terhadap prilaku mengarah pada kegiatan seksual yang dialami pasangan non-LGBT? Apakah dilegalkan?
Dalam konteks pelarangan LGBT masuk kampus, apakah sosok yang sama, atau siapa pun yang menentang keberadaan LGBT di kampus, berani mengatakan ‘seluruh produksi yang melibatkan LGBT dilarang masuk kampus!’? Jika berani maka tinggalkan saja perangkat komputer! Karena sejarah awal komputer diciptakan oleh sosok yang masuk dalam kategori dihinakan itu.
Alan Mathison Turing, penemu mesin komputer, adalah seorang gay. Karena statusnya itu, Alan dikebiri oleh otoritas Inggris, kemudian mati bunuh diri karena depresi, menggunakan racun sianida. Inggris saat itu masih menganggap LGBT sebagai kriminal. Namun dari kerja kerasnya, seluruh aktivitas manusia modern saat ini menjadi lebih ringan dengan keberadaan mesin komputer. Apakah ada teks yang menjelaskan Alan Turing pernah bermesraan di depan umum saat kuliah? Sepertinya tidak. Pada 2009 lalu, otoritas Inggris meminta maaf secara terbuka dan mencabut dakwaan kriminal seksual yang dialamatkan kepada Turing.
Sosok Alan Turing hanyalah satu dari sekian orang yang memiliki orientasi seksual berbeda, tetapi jasa mereka bisa dinikmati oleh seluruh orang di dunia. Belakangan Paus Fransiskus, pemimpin katolik Roma, tengah menggodok aturan agar LGBT diterima sebagai jemaat, walau pun pilihan hidupnya tidak perlu didukung. Sebab banyak kaum LGBT yang telah memberi jasa bagi peradaban. Alan Turing adalah contoh yang paling nyata.
Sebagai seorang yang belajar agama, seseorang boleh saja tidak setuju dengan perilaku LGBT. Tetapi hal tersebut tidak lantas menjadi alasan melakukan tindakan diskriminasi yang melanggar prinsip kebebasan, keadilan, dan hak asasi manusia. Utamanya bagi agamawan, yang bisa dilakukan ialah memberi edukasi kepada masyarakat. Bukan malah memberikan sentimen terhadap pelaku LGBT dengan dalil-dalil, atau bahkan menghukumi sesat. Menggunakan dalil agama sebagai penguat klaim sesat justru melegalkan perbuatan diskriminasi kepada mereka.

Sebagai seorang akademis, maka wajib bagi kita mempertahankan kebebasan berpendapat dan berpikir di ruang akademik. Jangan sampai ada pihak yang mengebiri kebebasan dengan alasan tidak sesuai dengan standar pihak tertentu. Sebab pada dasarnya ruang akademik akan terus hidup jika asas kebeasan ini dijamin. Tentu saja bebas yang bertanggung jawab. Wallahua'lam.

0 comments:

Post a Comment