Thursday, March 27, 2014

Alangkah Unyunya Negeri Ini

Sumber Gambar: indonesia.ucanews.com

Mainstreaming Intoleransi dan Agenda Pemerintahan Baru
Catatan Kecil Diskusi Malam Reboan di Pendopo LKiS Sorowajan oleh Sarjoko (@jejakpelamun)

Ketika mendengar pemateri Malam Reboannya Pak Ahmad Suaedy, saya langsung bergegas menyusun jadwal untuk meluangkan waktu. Ada beberapa alasan mengapa saya begitu ‘ngebet’ ingin datang ke acara tersebut. Pertama, saya sudah beberapa kali mendengar nama Ahmad Suaedy tapi urung lihat orangnya. Kedua, dia merupakan orang Wahid Institute yang notabene sealiran dengan saya sebagai anak Komunitas Pemikiran Gus Dur. Ketiga, saya tengah menggarap buku di mana Ahmad Suaedy menjadi salah satu penulisnya. Sekalian kenalan.
Keluar dari alasan-alasan pribadi tersebut, tema yang diusung sangat menarik. Gerakan intoleran memang semakin menampakkan taringnya. Aksi mereka lebih mirip aksi orang mabok yang tidak bisa berdialog. Beberapa kali di Yogyakarta terjadi aksi perusakan oleh oknum dengan membawa bendera agama. Sebut saja penyerangan terhadap LKiS saat menghadirkan Irsyad Manji. Padahal tidak ada satu agama pun yang mengajari umatnya melakukan kekerasan. Yang menjadi aneh, mengapa pemerintah seakan bungkam? Ini yang membuat saya semakin terpanggil, selain dalam tiga diskusi sebelumnya saya selalu hadir.
Ahmad Suaedy membuka diskusi dengan sebuah cerita. Suatu ketika, ia menghadiri sebuah acara di Praha, Ceko. Di Praha orang baru tahu ada Islam toleran di Indonesia. Dengan kata lain, citra Islam sebagai agama intoleran sangat kuat. Hal ini tentu menjadi ironi, terlebih Islam datang sebagai agama rahmatan lil’alamin. Pembawanya, Nabi Muhammad SAW menyatakan diutus untuk membenahi akhlak. Innama bu’itstu li utammima makaarimal akhlaq.
Intoleransi bukan sesuatu yang dapat dihindari. Banyak yang sangat alergi dengan istilah ini. Padahal makna intoleran sangat luas. Ketika seseorang mempunyai kebenaran lalu menyalahkan kebenaran lainnya, maka orang tersebut dikatakan intoleran. Tidak semua intoleran bermakna buruk. Bahkan ada intoleran yang (menurut saya) diwajibkan. Itu paling tidak jika kita memakai pendapat Suaedy yang membagi kata intoleran dalam tiga bentuk.
Pertama, intoleran pribadi. Intoleran pribadi itu menyatakan sebuah kebenaran dengan menyalahkan kebenaran lain tetapi tidak disertai tindakan. Intoleran ini digunakan untuk mendefinisikan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan persoalan akidah. Misalnya, menganggap agama Islam paling benar dan menyalahkan kebenaran agama lain. Dalam tataran ini sangat wajar. Orang Kristen pun harus bisa menyalahkan kebenaran agama lain demi imannya. Yang penting tidak saling memusuhi.
Kedua, intoleran sosial. Tataran ini dibagi menjadi dua. Intoleran dengan kekerasan atau tidak dengan kekerasan. Untuk kekerasan kita semua sudah sangat hafal bagaimana kelompok-kelompok ini memerangi orang-orang yang tidak sepaham. Mereka kerap melakukan aksi perusakan dan bahkan melancarkan ancaman pembunuhan. Yang tidak banyak disadari ialah adanya intoleransi sosial tanpa kekerasan. Contoh yang banyak ditemui adalah adanya perumahan khusus golongan tertentu. Mengapa intoleran? Karena perumahan semacam ini menjadikan masyarakat terkotak-kotak. Dampaknya bisa saling curiga. 
Saya punya pengalaman di kampung nun jauh di Riau sana, di sebuah desa terdapat satu lokasi khusus rumah-rumah Islam A. Mereka sangat eksklusif sampai menutup diri dari kebiasaan orang kampung kebanyakan. Kelompok ini mendirikan masjid sendiri tanpa mau bergabung dengan masjid desa. Jadilah Islam versinya itu menjadi Islam pemecah belah. Padahal aspek sosial terbangun dari adanya kebersamaan.
Yang menjadi kajian malam kemarin ialah intoleran jenis ketiga berupa kebijakan yang dibacking oleh pemerintah dengan menggunakan pasal hukum. Hal ini yang menjadi tren di Indonesia beberapa tahun belakangan. Indonesia sebagai negara majemuk, plural, yang seharusnya dalam bahasa Suaedy disebut civil nation, seakan bergeser menjadi religious nation. Pemerintah tunduk pada lembaga yang dilegitimasinya sendiri dalam soal agama. Intoleran kedua dan ketiga ini yang masuk kategori 'berbahaya'.
Kita coba sebentar refleksi ke belakang. Di saat ada kasus kekerasan atas nama agama seperti Ahmadiyah dan Syiah Sampang, di mana peran pemerintah, aparat hukum dan staf-stafnya dalam membela korban? Mereka justru diam, bungkam dan seakan tak mau tahu dengan dalih sang korban adalah pengikut aliran sesat! Sungguh sebuah kisah memilukan di tengah semangat toleransi yang semakin terdegradasi. Sesat seakan menjadi cap untuk menghalalkan penganiayaan atau bahkan pembunuhan.

Agama dan Pemerintah
Di Indonesia, institusi agama yang dilegalkan secara hukum ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Namun yang dianggap benar-benar legal adalah Islam. Mengapa? Karena orang akan menganggap benar jika sudah Islam. Pemimpin yang baik adalah beragama Islam. Ketika Ahok akan jadi gubernur DKI, banyak yang menentang dengan alasan ambigu. Dia bukan Islam! Penilaian di sebuah kepemimpinan demokrasi bukan dilihat dari sejauh mana kapasitas dia sebagai pemimpin.
Lupakan paragraph di atas. Mari kita bersama-sama melihat bagaimana pemerintahan Indonesia dalam 10 tahun terakhir menjelma sebagai hantu bagi golongan minoritas. Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Ahmad Suaedy:
1. Pemberian legitimasi terhadap Lembaga Keagamaan sebagai Monopoli Kebenaran (MUI)
2.Penunjukkan orang-orang terpercaya yang memiliki paham konservatif agama (All the  President’s Men)
3. Penyusunan regulasi yang bersifat intoleran terhadap kelompok tertentu.
4. Ketidakmampuan untuk melindungi korban/ minoritas.
Saya mencoba menjabarkan dengan versi saya alasan-alasan di atas.
Pertama, legitimasi kebenaran diberikan kepada MUI. Artinya selain MUI dianggap tidak punya wewenang. Artinya pula, apa yang dikatakan MUI sebuah kebenaran mutlak. Awal mula petaka ini terjadi pada saat MUNAS MUI tanggal 26 Juli 2005. Saat itu presiden berpidato meminta MUI menjadi lembaga yang sentral. Pemerintah ikut terhadap keputusan-keputusan MUI. Setelah pidato itu, ada 11 fatwa yang dikeluarkan MUI. Yang paling ‘horror’ adalah penyesatan terhadap Ahmadiyah dan larangan terhadap SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Untuk yang kedua, mereka menafsiri sesuai kemauannya. Setelah fatwa ini, MUI daerah ramai-ramai mencari-cari kelompok yang disesatkan. Perusakan terhadap masjid-masjid pun terjadi tanpa bisa diadili oleh pemerintah. Mengapa? Anda tahu sendiri.
Poin kedua tidak jauh berbeda dengan poin pertama. Pemerintah terlanjur tunduk pada paham konservatif yang membahayakan. Untuk yang ketiga dan keempat, ini yang patut diratapi bersama. Bagaimana mungkin institusi negara tidak menjamin keamanan setiap warganya hanya karena pahamnya tidak sama? Bahkan yang dianggap ‘legal’ pun sebenarnya tidak sama. Kita ambil contoh: NU dan Muhammadiyah. Yang satu bilang tahlilan boleh, yang satu bid’ah. Tetapi mengapa keduanya tetap dianggap legal? Beda perlakuannya dengan Syiah dan Ahmadiyah. Padahal Syiah merupakan salah satu aliran tertua dalam sejarah sekte Islam.
Penetapan kembali UU No.1/PNPS tahun 1965 tentang penodaan agama juga menjadi faktor terpenting dalam tumbuh-suburnya gerakan intoleran. Pasalnya, kata ‘penodaan agama’ sendiri tidak jelas maknanya. Ketika orang berbeda dianggap menodai, tapi mengapa orang yang membuat kerusuhan justru tidak disebut sangat amat jelas menodai?

MUI dan Pemerintah
Ada dinamika unik perihal sikap pemerintah terhadap organisasi bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di era Soeharto dan Habibie, MUI berfungsi sebagai pelayan pemerintah. Ketika pemerintah memerlukan dalil tentang A, MUI berfungsi untuk mencarikannya. Misalnya fatwa tentang kodok. Agar masyarakat mau berbudidaya kodok, MUI mencari dalil tidak dilarangnya budidaya kodok.
Di era Gus Dur, MUI menempatkan diri menjadi oposisi. Hal ini terkait pernyataan presiden yang menginginkan MUI menjadi ormas independen yang tidak ‘menyusu’ pada pemerintah. Karena berseberangan, saat itu ada ‘pertengkaran’ antara MUI dan Gus Dur mengenai hukum Ajinomoto. MUI mengatakan haram, presiden berpendapat halal.
Di era SBY, MUI beralih menjadi lembaga yang dilayani pemerintah. Apapun yang dikatakan MUI menjadi kebenaran dan didukung penuh pemerintah. Wajar saja kekerasan yang disebabkan fatwa-fatwa MUI tidak digubris bahkan (mungkin) didukung penuh. Amir Ahmadiyah sampai mengatakan sejak 2005 kekerasan yang dialami kelompoknya sangat masiv. Perusakan-perusakan masjid Ahmadiyah pun seperti menjadi suatu perubuatan yang dilegalkan. Padahal, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Ada cerita menarik yang disampaikan Bung Suaedy terkait fatwa ini. Di sebuah tayangan, seorang komandan diwawancarai terkait kekerasan atas nama agama. Si komandan tersebut menjawab, nunggu fatwa MUI. What???
Begitulah ketika negara menjadi religious/ethnic nation, bukan civil nation building. Ketimpangan demi ketimpangan menjadi sebuah keniscayaan yang seakan dimaklumi. Karena ane mayor, ente minor. Sudah sepatutnya pemikiran seperti ini dihilangkan. Gerakan civil nation building menjadi tugas semua warga negara.
Untuk agenda pemerintahan baru idealnya minimal mencakup tiga hal ini.
1. Mengembalikan Visi Indonesia ke Civil nation building VS Religious/Ethnic nation building 
2. Mengembalikan posisi MUI sebagai organisasi masyarakat  Ormas atau LSM
3. Mengembalikan tugas penegakan HAM dalam isu agama ke tugas citizenship.
Caranya? Dalam membangun koalisi penguasa dengan minimal kriteria:
1. Penghapusan UU No 1 PNPS 1965
2. Penghapusan Bakorpakem
3. Penghapusan pasal-pasal dalam UU yang menempatkan MUI sebagai penentu kebijakan.

Wallahua’lam.


Tulisan ini merupakan rangkuman penulis dari diskusi Malam Reboan di LKiS, 25 Maret 2014 bersama Ahmad Suaedy, M.Hum. Direktur Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia.

2 comments: