Thursday, March 6, 2014

KHITTAH YES, POLITIK NO! EPS.6

Sumber gambar: kembalikefitrah.blogspot.com
AKU DAN SANG GURU
Dialog imajiner Aku dan Sang Guru

Beberapa hari yang lalu aku pergi berziarah ke desa Kajen, sebuah desa santri yang terletak di kabupaten Pati Jawa Tengah. Perjalanan dari Yogyakarta dapat ditempuh selama kurang lebih 6 jam via Purwodadi. Biasanya perjalanan hanya memakan waktu 5 jam. Tapi tempo hari kondisi jalan rusak dan banyak yang berlubang. Terlebih di kawasan yang dulunya tergenang banjir.
Di sepanjang jalan menuju desa Kajen, banyak spanduk yang menegaskan bahwa NU tetap pada khittah, tidak terikat dengan partai politik manapun. Itu sesuai keputusan muktamar NU 1984 di Situbondo. Salah seorang yang memegang teguh 'janji politik' NU itu adalah KH MA Sahal Mahfudz. Spanduk tersebut mungkin respon warga nahdliyin Pati atas tayangan yang 'dibintangi' oleh tokoh NU di salah satu iklan partai politik. Saat larut dalam pertanyaan-pertanyaan seputar khittah dan politik, Sang Guru kembali hadir setelah menghilang beberapa hari.
Sang Guru (SG): Assalamu'alaikum
Aku (A): Waalaikumsalam. Dari mana saja, guru?
(Guru tidak menjawab. Ia terbatuk-batuk kecil)
SG: Apa yang tengah kau pikirkan?
A: Ini guru, mengapa banyak spanduk yang isinya NU tetap pada khittah
SG: Lha memang dari dulu demikian?
A: Benar, guru. Tetapi baru kali ini divisualisasikan secara terang-terangan
SG: Itu juga respon dari yang terang-terangan
A: Maksudnya?
SG: Menurutmu, mengapa spanduk-sapnduk itu dibuat?
A: Karena tokoh NU tampil di iklan yang dibuat oleh partai politik
SG: Baru kali ini tokoh NU tampil di iklan bersama partai politik. (Aku menggaruk-garukkan kepala. Benar kata guru).
A: Aku tertarik dengan alasan Kiai Sahal berjuang pada khittah, guru. Bukannya politik itu demi kemaslahatan? Dan apabila warga NU bersatu, apakah itu menjadi lebih baik?
SG: Perbedaan adalah anugerah.
A: Tapi bukankah itu akan memecah suara, guru?
SG: Begini, nak. Kau tahu sejarah panjang politik NU? Pada saat berdirinya, NU merupakan organisasi sosial-keagamaan. Lalu bergabung dengan partai Masyumi. Setelah itu sempat menjadi partai sendiri. Pernah pula bergabung dengan PPP sebelum keputusan khittah 26 di Situbondo dikeluarkan. Pada era reformasi, NU masih teguh pada prinsipnya secara struktural. Namun Gus Dur membangun partai politik sebagai wadah politik warga NU tanpa membawa embel-embel nama NU. Walau dalam kenyataannya warga NU tetap menjadi basis suara partai ini.
A: Artinya?
SG: Artinya, sebagian warga NU masih sangat kental membela Masyumi. Sebagian lagi tetap di PPP. Sebagian lagi menjadi partisipan dan kader PKB. Ingat, warga NU! Bukan NU secara organisasi. Apabila organisasi NU memutuskan membela salah satu partai yang terikat sejarah dengan NU, maka berpotensi terjadi perpecahan.
A: Untuk itu Kiai Sahal mengambil jalan aman dengan tidak memihak partai politik!
SG: Tebakanmu hampir benar. Tapi kata-kata 'jalan aman' kurang sesuai. Lebih tepatnya Kiai Sahal mengambil maslahat yang terbaik untuk umat. Begitulah cara kiai mengayomi masyarakat yang beragam.
A: Dengan kata lain, Kiai Sahal mengajari kita untuk berdemokrasi secara utuh?
SG: Ya, Kiai Sahal mengajari kita berpolitik secara sehat.
A: Lalu bagaimana sikap Kiai Sahal saat Gus Dur mendirikan partai politik?
Aku menoleh ke arah guru. Namun dia sudah menghilang. Namun kehadirannya cukup membuatku mengerti mengapa banyak warga NU menghendaki khittah 1926.
Di acara peringatan 40 hari-an Kiai Sahal, aku tersenyum bahagia. Din Syamsuddin hadir dalam peringatan tersebut. Hadir pula tokoh-tokoh NU seperti Said Aqil Siradj dan lainnya. Ya, persaudaraan NU-Muhammadiyah sangat diperlukan demi mendidik bangsa ini yang walau mayoritas Islam, tapi punya paham-paham yang berbeda. Tidak mungkin menyatukan pemahaman antar satu muslim dengan muslim lainnya. Karena perbedaan adalah anugerah dari Tuhan.
Dalam peringatan itu, dokter Sahal Fattah dan Gus Qayyum menympaikan sambutan yang salah satu isinya NU tetap pada khittah.
Di salah satu sambutannya, diceritakan bagaimana Kiai Sahal menyikapi pergulatan politik warga NU di era Gus Dur. Saat Gus Dur akan maju sebagai presiden, seluruh kiai-kiai dikumpulkan. Tetapi Kiai Sahal tidak hadir di acara tersebut. Saat ditanya mengapa, Kiai Sahal menjawab dengan singkat. NU tidak berpolitik.

0 comments:

Post a Comment