Saturday, March 15, 2014

Dahsyatnya Propaganda Media dan Rekonsiliasi

Catatan Kecil Nonton Bareng Film Sometimes in April di Griya Gusdurian


Secara umum film ini membuat aku merinding. Peristiwa genosida di tahun matinya Kurt Cobain ini luput dari pengamatanku. Padahal, pembantaian yang terjadi selama 100 hari ini memakan korban 800.000 ribu jiwa! Di kurun waktu tersebut, dunia barat yang konon sebagai penjaga keamanan dunia mati kutu tak berdaya. Bahkan sekutu diyakini terlibat di dalam peristiwa mengerikan itu.
Sebuah negara di Afrika yang menjadi latar sejarah kemanusiaan ini bernama Rwanda. Di sana ada tiga suku yang tinggal, Hutu, Tutsi dan Twa. Hutu merupakan suku mayoritas sedang Twa paling sedikit jumlahnya. Di film itu, suku Hutu menginginkan adanya kekuasaan tunggal. Mereka menuntut pemerintahan diisi oleh orang sukunya. Karena presiden Juvenal Habyarimana merencana pembagian kekuasaan, militant Hutu tidak terima. Apalagi presiden mau mengangkat orang Tutsi sebagai wapresnya. Mereka menembak pesawat presiden hingga hancur. Mulai saat itulah pembantaian dimulai.
Para elit politik dan militer yang loyal kepada pemerintah dihabisi. Warga suku Tutsi yang tidak berdosa sekalipun dibunuh. Di hari pertama jumlah korban 8000. Hari ketiga 30.000. Hari ke-65 mencapai 620.000 jiwa. Yang menyedihkan, pasukan United Nation (UN, PBB) hanya menyelamatkan warga yang berkulit putih. Yang paling mengerikan adalah aksi pembantaian masal di sekolah St Maria. Seluruh murid ditembak secara keji di sebuah ruangan.
Menurutku wajar saja Barat tidak berusaha menengahi konflik yang terjadi antar suku itu. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena Rwanda bukan negara yang punya nilai ekonomis. Dalam adegan film, Kapten Bagosora sebagai pemimpin pemberontak sampai mengatakan, “Kami tidak punya minyak. Lalu mengapa kalian kemari?” Beda sikapnya ketika Mesir atau negara penghasil minyak lainnya bergejolak, mereka segera ikut campur.
Hal yang menjadi fokus perhatianku adalah propaganda yang dilakukan oleh tokoh Honore Bartra. Ia merupakan pendukung gerakan pemberontak dan melakukan propaganda melalui saluran Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Setiap waktu, radio tersebut tiada henti-hentinya menebar kebencian terhadap suku Tutsi sehingga membuat orang Hutu tersulut.
Dalam menyampaikan pesan propagandanya, suku Tutsi dianggap sebagai kecoa. Ada satu adegan di mana penyiar radio mengatakan, “Kecoa tetap melahirkan kecoa. Kecoa tidak bisa melahirkan kupu-kupu.” Bisa dikatakan, pekerjaan utama masyarakat Rwanda suku Hutu saat itu adalah memburu dan membunuh suku Tutsi.
Itulah hebatnya media. Secara tidak langsung film tersebut menyampaikan pesan bahwa media sangat berpengaruh terhadap aksi pembantaian itu. Dengan radio yang tiada henti menebarkan kebencian, masyarakat bisa langsung terpengaruh. Asumsi ini jika kita menganut teori peluru atau jarum hipodermik.
Menurut Katz teori ini berasumsi:
1. Media massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.
2. Khalayak yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling berhubungan.

Rekonsiliasi ala Gus Dur
Saat sesi diskusi berlangsung, ada seorang peserta yang membandingkan konflik antar suku itu seperti konflik yang terjadi di Indonesia. Contoh yang belum lama terjadi adalah kasus Sampit-Madura, Sunni-Syiah dan komunisme. Beberapa kasus itu terjadi karena sikap sektarian yang kuat dan tidak mau menyelesaikan masalah lewat dialog.
Tragedi Rwanda juga disamakan dengan pembantaian 1965 dan 1998 yang menelan banyak korban jiwa. Persis seperti film ini, beberapa jendral yang terlibat berkilah bahwa mereka tidak melakukan pembantaian. Di film tersebut dikatakan, pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Jadi sangat tidak etis jika seorang pimpinan mengatakan “Bukan saya!”
Pembantaian Rwanda terjadi pada tahun 1994 dan diadili pada tahun 2004. Sementara di Indonesia, kasus 1965 atau 1998 belum juga dapat diselesaikan dan ditetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan besar-besaran itu. Kasusnya hampir sama. Di Rwanda siapa yang Tutsi dibunuh, di Indonesia siapa yang dianggap PKI dihabisi.
Karena acara nobar bertema Gus Dur, maka pertanyaannya adalah bagaimana Gus Dur merekonsiliasi peristiwa genosida di Indonesia itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, aku mengutip penjelasan Mbak Tata. Pada tanggal 15 Maret 2000 (14 tahun silam), Gus Dur meminta maaf kepada korban 65 dan 98, baik sebagai presiden atau elit NU. Dia mengakui adanya keterlibatan oknum NU dan mengakui peristiwa itu benar-benar terjadi di Indonesia. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Begitulah. Dalam menyelesaikan sebuah masalah harus diawali keterbukaan bersama. Seseorang bisa berkilah, namun sejarah yang benar selalu membuktikan. Di film yang luar biasa ini, sikap gentle diperlihatkan oleh Honore dengan mengakui keterlibatannya mengobarkan propaganda lewat media.
Saat ini peran media dalam mengangkat isu-isu perdamaian sangat dibutuhkan. Banyaknya kasus intoleran merupakan bukti bahaya yang mengancam keamanan negara. Sudah sewajarnya media ikut berperan dalam menjaga rasa aman dan nyaman. Jadi media tidak hanya mencari profit dari iklan apalagi menjadi agen politik.
Kini media sangat rajin mengiklankan banyak tokoh politik. Banyak yang menebar janji-janji masa depan lebih baik, tapi masa lalunya urung diungkap ke publik. Bahkan beberapa yang berambisi jadi pemimpin terlibat langsung aksi pelanggaran HAM. Di tahun politik ini, semoga masyarakat bisa menilai dengan baik calon pemimpinnya. Jangan sekali-kali lupakan sejarah, kata Soekarno.

Plosokuning, 16 Maret 2014
01:23 WIB

Untuk review filmnya, saya kopas dari Wikipedia saja:
Sometimes in April is a 2005 historical drama television film about the Rwandan Genocide of 1994, written and directed by the Haitian filmmaker Raoul Peck. The ensemble cast includes Idris Elba, Oris Erhuero, Carole Karemera, and Debra Winger.
The story centers on two brothers: Honoré Butera, working for Radio Télévision Libre des Mille Collines, and Augustin Muganza, a captain in the Rwandan army (who was married to a Tutsi woman, Jeanne, and had three children with her: Anne-Marie, Yves-André, and Marcus), who bear witness to the killing of close to 800,000 people in 100 days while becoming divided by politics and losing some of their own family. The film depicts the attitudes and circumstances leading up to the outbreak of brutal violence, the intertwining stories of people struggling to survive the genocide, and the aftermath as the people try to find justice and reconciliation.



0 comments:

Post a Comment