Catatan
Kecil Nonton Bareng Film Sometimes in April di Griya Gusdurian
Secara
umum film ini membuat aku merinding. Peristiwa genosida di tahun matinya Kurt
Cobain ini luput dari pengamatanku. Padahal, pembantaian yang terjadi selama
100 hari ini memakan korban 800.000 ribu jiwa! Di kurun waktu tersebut, dunia
barat yang konon sebagai penjaga keamanan dunia mati kutu tak berdaya. Bahkan sekutu
diyakini terlibat di dalam peristiwa mengerikan itu.
Sebuah
negara di Afrika yang menjadi latar sejarah kemanusiaan ini bernama Rwanda. Di sana
ada tiga suku yang tinggal, Hutu, Tutsi dan Twa. Hutu merupakan suku mayoritas
sedang Twa paling sedikit jumlahnya. Di film itu, suku Hutu menginginkan adanya
kekuasaan tunggal. Mereka menuntut pemerintahan diisi oleh orang sukunya. Karena
presiden Juvenal Habyarimana merencana pembagian kekuasaan, militant Hutu tidak
terima. Apalagi presiden mau mengangkat orang Tutsi sebagai wapresnya. Mereka menembak
pesawat presiden hingga hancur. Mulai saat itulah pembantaian dimulai.
Para elit
politik dan militer yang loyal kepada pemerintah dihabisi. Warga suku Tutsi
yang tidak berdosa sekalipun dibunuh. Di hari pertama jumlah korban 8000. Hari ketiga
30.000. Hari ke-65 mencapai 620.000 jiwa. Yang menyedihkan, pasukan United
Nation (UN, PBB) hanya menyelamatkan warga yang berkulit putih. Yang paling mengerikan
adalah aksi pembantaian masal di sekolah St Maria. Seluruh murid ditembak
secara keji di sebuah ruangan.
Menurutku
wajar saja Barat tidak berusaha menengahi konflik yang terjadi antar suku itu. Alasannya
tak lain dan tak bukan adalah karena Rwanda bukan negara yang punya nilai
ekonomis. Dalam adegan film, Kapten Bagosora sebagai pemimpin pemberontak sampai
mengatakan, “Kami tidak punya minyak. Lalu mengapa kalian kemari?” Beda
sikapnya ketika Mesir atau negara penghasil minyak lainnya bergejolak, mereka
segera ikut campur.
Hal yang
menjadi fokus perhatianku adalah propaganda yang dilakukan oleh tokoh Honore
Bartra. Ia merupakan pendukung gerakan pemberontak dan melakukan propaganda
melalui saluran Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Setiap waktu,
radio tersebut tiada henti-hentinya menebar kebencian terhadap suku Tutsi sehingga
membuat orang Hutu tersulut.
Dalam
menyampaikan pesan propagandanya, suku Tutsi dianggap sebagai kecoa. Ada satu
adegan di mana penyiar radio mengatakan, “Kecoa tetap melahirkan kecoa. Kecoa
tidak bisa melahirkan kupu-kupu.” Bisa dikatakan, pekerjaan utama masyarakat
Rwanda suku Hutu saat itu adalah memburu dan membunuh suku Tutsi.
Itulah
hebatnya media. Secara tidak langsung film tersebut menyampaikan pesan bahwa
media sangat berpengaruh terhadap aksi pembantaian itu. Dengan radio yang tiada
henti menebarkan kebencian, masyarakat bisa langsung terpengaruh. Asumsi ini
jika kita menganut teori peluru atau jarum hipodermik.
Menurut
Katz teori ini berasumsi:
1. Media
massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak
berdaya.
2. Khalayak
yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling
berhubungan.
Rekonsiliasi
ala Gus Dur
Saat sesi
diskusi berlangsung, ada seorang peserta yang membandingkan konflik antar suku
itu seperti konflik yang terjadi di Indonesia. Contoh yang belum lama terjadi
adalah kasus Sampit-Madura, Sunni-Syiah dan komunisme. Beberapa kasus itu
terjadi karena sikap sektarian yang kuat dan tidak mau menyelesaikan masalah
lewat dialog.
Tragedi
Rwanda juga disamakan dengan pembantaian 1965 dan 1998 yang menelan banyak
korban jiwa. Persis seperti film ini, beberapa jendral yang terlibat berkilah
bahwa mereka tidak melakukan pembantaian. Di film tersebut dikatakan, pemimpin
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Jadi sangat tidak
etis jika seorang pimpinan mengatakan “Bukan saya!”
Pembantaian
Rwanda terjadi pada tahun 1994 dan diadili pada tahun 2004. Sementara di
Indonesia, kasus 1965 atau 1998 belum juga dapat diselesaikan dan ditetapkan
siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan besar-besaran itu. Kasusnya hampir
sama. Di Rwanda siapa yang Tutsi dibunuh, di Indonesia siapa yang dianggap PKI
dihabisi.
Karena
acara nobar bertema Gus Dur, maka pertanyaannya adalah bagaimana Gus Dur
merekonsiliasi peristiwa genosida di Indonesia itu? Untuk menjawab pertanyaan
itu, aku mengutip penjelasan Mbak Tata. Pada tanggal 15 Maret 2000 (14 tahun
silam), Gus Dur meminta maaf kepada korban 65 dan 98, baik sebagai presiden
atau elit NU. Dia mengakui adanya keterlibatan oknum NU dan mengakui peristiwa
itu benar-benar terjadi di Indonesia. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Begitulah.
Dalam menyelesaikan sebuah masalah harus diawali keterbukaan bersama. Seseorang
bisa berkilah, namun sejarah yang benar selalu membuktikan. Di film yang luar
biasa ini, sikap gentle diperlihatkan oleh Honore dengan mengakui
keterlibatannya mengobarkan propaganda lewat media.
Saat
ini peran media dalam mengangkat isu-isu perdamaian sangat dibutuhkan. Banyaknya
kasus intoleran merupakan bukti bahaya yang mengancam keamanan negara. Sudah sewajarnya
media ikut berperan dalam menjaga rasa aman dan nyaman. Jadi media tidak hanya mencari
profit dari iklan apalagi menjadi agen politik.
Kini
media sangat rajin mengiklankan banyak tokoh politik. Banyak yang menebar
janji-janji masa depan lebih baik, tapi masa lalunya urung diungkap ke publik. Bahkan
beberapa yang berambisi jadi pemimpin terlibat langsung aksi pelanggaran HAM. Di
tahun politik ini, semoga masyarakat bisa menilai dengan baik calon
pemimpinnya. Jangan sekali-kali lupakan sejarah, kata Soekarno.
Plosokuning,
16 Maret 2014
01:23
WIB
Untuk
review filmnya, saya kopas dari Wikipedia saja:
Sometimes
in April is a 2005 historical drama television film about the Rwandan Genocide
of 1994, written and directed by the Haitian filmmaker Raoul Peck. The ensemble
cast includes Idris Elba, Oris Erhuero, Carole Karemera, and Debra Winger.
The
story centers on two brothers: Honoré Butera, working for Radio Télévision
Libre des Mille Collines, and Augustin Muganza, a captain in the Rwandan army
(who was married to a Tutsi woman, Jeanne, and had three children with her:
Anne-Marie, Yves-André, and Marcus), who bear witness to the killing of close
to 800,000 people in 100 days while becoming divided by politics and losing
some of their own family. The film depicts the attitudes and circumstances
leading up to the outbreak of brutal violence, the intertwining stories of
people struggling to survive the genocide, and the aftermath as the people try
to find justice and reconciliation.
0 comments:
Post a Comment