Friday, March 14, 2014

Ketika Media Semakin Menggonggong

Sumber gambar luthfimadura.wordpress.com

Catatan Kecil Diskusi Malam Reboan LkiS
Model-Model Gerakan Literasi Media di Indonesia

Prolog
Media (pers) selalu dikatakan sebagai pilar demokrasi yang keempat. Media biasa diistilahkan sebagai watch dog, anjing pengawas. Ada yang mengartikannya sebagai anjing penjaga. Maksudnya, media atau pers mengawasi atau menjaga berjalannya pilar demokrasi lainnya. Julukan ini menjadi penegas bahwa hakikatnya media mempunyai fungsi kontrol sosial, selain berfungsi sebagai media pendidikan, hiburan dan (kini) agenda politik[1].
Pertama-tama saya tertarik dengan istilah anjing pengawas itu. Binatang yang paling saya takuti dulu sebenarnya tidak menakutkan. Rantai yang dikalungkan di lehernya menjadi jaminan. Dan ia hanya menggonggong pada hal yang asing. Seekor anjing pengawas akan diam ketika yang datang adalah orang yang sudah akrab.
Anjing penjaga hanya bisa menggonggong tanpa bisa melakukan eksekusi. Yang bisa dilakukannya memang menggonggong sekeras-kerasnya. Tetapi ia dibelenggu oleh rantai. Rantai tersebut dililitkan di sebuah tiang yang tidak mungkin membuatnya merdeka.
Anjing pengawas memang difungsikan sebagai ‘alarm’ otomatis sang majikan. Ketika ada orang asing, sang anjing akan menggonggong. Si majikan tingggalmengecek apa benar itu ancaman atau justru kurir makanan siap saji yang sedang mengantar pesanan. Ketika yang datang bukan bahaya, sang majikan cukup mengelus kepala si anjing, si anjing akan diam.
Anjing penjaga bukan anjing pelacak yang diberi keleluasaan untuk menggigit. Anjing penjaga sifatnya menunggu, tidak seperti anjing pelacak yang mencari. Oleh karenanya, media (pers) hanya menjaga atau mengawasi. Sekali lagi tidak dalam tataran eksekusi. Kalau ada penyimpangan digonggongi, tapi tidak punya wewenang untuk menghukumi. Ibarat polisi, media hanya diberi sempritan (peluit) tapi tidak diberi pentung untuk menindak. Gonggongan itu pun disuarakan ketika ada hal asing. Tapi jika sudah familiar?

Kegelisahan di Pendopo Hijau
Ada pernyataan menarik yang dilontarkan oleh peserta diskusi malam ini. Menurutnya, media tidak bertanggung jawab atas kejahatan (misal pemerkosaan) yang terjadi. Tayangan pornografi tidak bisa dikambing-hitamkan begitu saja. Alasannya cukup logis, pemerkosaan sudah ada bahkan sebelum media lahir.
Ada juga seorang peserta yang mengungkapkan pengalamannya sebagai tenaga medis. Ia pernah terjun ke suatu tempat di mana para bayi yang idealnya sudah dapat bicara di usia 2 tahun, namun kenyataannya di sana belum bisa. Setelah diteliti, ternyata si bayi terbiasa ‘menonton’ televisi lebih dari empat jam sehari. Penyebabnya, si bayi ditinggal di depan tv yang menyala sementara orang tua atau pengasuhnya bekerja di dapur dan lain sebagainya. Walhasil si bayi menjadi penonton pasif. Kurangnya interaksi ditenggarai sebagai penyebab kasus bayi tersebut.
Dua paragraf memang tidak berkaitan, namun bisa dijadikan contoh bagaimana khalayak membicarakan media. Ada orang yang menganggap media berpengaruh pada fenomena, ada yang sama sekali menolak paham ini. Banyak masyarakat yang menganggap tayangan yang ada di media sebagai hiburan belaka, tanpa menimbang ada pengaruh luar biasa bagi kehidupan sosial.
Saya teringat beberapa waktu lalu (semester dua) menulis artikel berjudul “Efek Behavioral Tayangan Televisi”. Dalam tulisan tersebut, saya mengambil kasus seorang anak menyemekdon (smack down) temannya sampai akhirnya si anak sakit lalu meninggal dunia. Hal tersebut terjadi ketika maraknya tayangan smack down di Lativi. Akibat banyaknya laporan, tayangan smack down akhirnya dihentikan.
Lalu apakah media memang memiliki pengaruh? Saya tidak perlu menjawabnya.

Gerakan Literasi; Sebuah Perlawanan
Maulin Ni’am[2] mengatakan media kini tidak bisa disebut sebagai pengawas, penjaga atau pengawal demokrasi. Bahkan media sekarang dianggap sebagai penghambat (penghalang) terbesar demokrasi. Ia mengibaratkan media sebagai darah, sementara tiga pilar lain merupakan bagian tubuh lainnya. Mengapa penghambat? Karena darah tersebut sudah terkontaminasi racun. Perlu berkali-kali cuci darah agar kehidupan bisa terus berlangsung.
Hal ini tidak lain karena media menyalahgunakan wewenangnya. Tidak ada media yang independen karena dimiliki oleh pemilik modal yang rata-rata seorang politisi. Akibatnya media digunakan pula sebagai arena pertarungan politik.
Dalam membuat suatu program siaran, pertimbangan utama media adalah rating. Media tidak lagi memperhatikan apakah tayangan tersebut mendidik atau tidak. Baginya, rating tinggi berarti menandakan masyarakat menerima. Saya ingat bagaimana TRANS TV menolak menghentikan tayangan YKS (Yuk Keep Smile!) karena menganggap YKS sebagai bagian dari masyarakat. YKS terlanjur digandrungi.
Memang menjenuhkan! Saya sendiri sudah frustrasi dengan tayangan yang ditawarkan oleh televisi Jakarta yang ‘kebetulan’ siaran secara nasional itu. Dari 24 jam waktu tayang, sangat sedikit yang keluar dari mainstream jamuran. Mengapa jamuran? Karena media Indonesia sukanya mengekor pada media lain yang dianggap berhasil menjual tayangannya kepada masyarakat. Sebagai contoh, meledaknya goyang Cesar memancing lahirnya goyang-goyang lainnya.
Mungkin banyak orang-orang yang senasib dengan saya. Oleh karenanya, pengawasan diri dari tayangan media perlu dilakukan. Intan[3] menyebut gerakan ini sebagai gerakan literasi media. Literasi bertujuan untuk menguatkan diri agar seseorang bisa memilah mana informasi yang dibutuhkan dan mana yang tidak.
Gerakan literasi bisa dilakukan dalam dua level yang berbeda. Di level paling bawah, gerakan literasi diaplikasikan dalam bentuk tindakan personal terhadap media. Seseorang dapat bersikap menonton atau tidak suatu tayangan yang diberikan media. Pada level paling atas, tindakan tersebut bukan hanya berupa tindakan personal, namun mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Misalnya saja mengajak anak-anak untuk menghindari tayangan berbau dewasa. Intan memberi katakunci bahwa literasi media bertujuan agar timbul persepsi ‘saya butuh tayangan ini (bukan) saya menonton karena adanya ini’.
Mengapa literasi perlu? Karena media menggunakan frekuensi yang notabene milik publik. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang mendidik, bukan tayangan narsis para pemilik modal. Dalam hal ini, penilaian baik dan buruk tidak bisa dilakukan dengan menimbang masyarakat suka atau tidak suka. Perlu dicatat bahwa gerakan literasi bukan berarti hanya mengkritisi media, namun bisa juga memanfaatkan media.
Salah seorang peserta menyayangkan mengapa tayangan yang berkualitas justru tidak mudah diakses. Di obrolan kecil dengan saya, peserta tersebut menganalisa mengapa iklan tidak masuk ke KOMPAS TV yang dianggapnya sebagai stasiun televisi berkualitas. “Itu karena KOMPAS TV tidak bisa dijangkau di semua tempat”. Oleh karenanya iklan akan masuk ke tv-tv yang ‘pasaran’.

Epilog; Woh!
Ya, percakapan atau lebih kerennya diskusi malam itu seakan (dalam frame-ku) menegaskan bagaimana media sudah melenceng dari jalurnya. Statemen-statemen begitu juga kegelisahan yang menguap layaknya kabut asap merupakan penilaian yang tidak bisa dinafikan. Masyarakat sekali lagi menjadi objek yang terus dimanfaatkan.
Mengenai tayangan yang dianggap tidak penting, ada statemen menarik dari rekan saya. Dia bercerita ketika di rumah seorang pembantunya tengah menonton tayangan yang dianggapnya tidak penting. Lalu muncul percakapan semacam ini:
“Tontonannya kok gak penting gini?”
“Ya bagaimana lagi, non. Tiap hari susah masak nonton yang bikin susah lagi...”
Ia menyimpulkan (walau pendapatnya masih belum teruji dan sebatas hipotesa subjektif) bahwa penonton berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka mencoba keluar dari realitas kehidupannya. Makanya sinetron-sinetron “Pacarku Tukang Angkot” dll digemari. Itu semata-mata mereka ingin lari dari realitas!
Untuk hal seperti ini, media semakin menggonggong. Muncullah banyak tayangan yang mirip tapi membosankan. Mulai sinetron ‘impossible’, goyang-goyangan dan lainnya. WOH!!!

Yogyakarta, 
Dari Kebun Laras sampai Student Center
13-14 Maret 2014




[1] Pendapat ini diutarakan oleh Sutirman Eka Wardana, dosen Hukum dan Etika Jurnalistik UIN Sunan Kalijaga
[2] Tim peneliti Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta. Pemateri diskusi.
[3] Pemateri 

2 comments:

  1. Wajar program televisi Indonesia seperti ini, kebanyakan bukan murni untuk menyampaikan pesan tetapi hanya mengambil keuntungan. Disamping itu mayoritas penonton tv di Indonesia adalah kalangan menengah kebawah hal inilah yang dimanfaatkan media televisi untuk menyangkan program yang rata2 hiburan apalagi munculnya dangdut akademi ratingnya sudah mengalahkan yks.Nonton bertia paling kalo pas penentuan awal bulan puasa dan idul fitri, itulah Indonesia. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, apa salah media? Toh KPI juga mempunyai regulasi, bukannya selama tidak melanggar kode etik sah2 saja?

    ReplyDelete
  2. Ya, orang jualan makanan ampas (tidak bergizi) juga tidak melanggar. Tapi bagi pakar gizi, hal tersebut meresahkan. Sebagai pengamat, terserah bagaimana kita bersikap. Mendukung tanpa gizi atau menyeru perbaikan gizi.

    ReplyDelete