Thursday, March 27, 2014

Alangkah Unyunya Negeri Ini

Sumber Gambar: indonesia.ucanews.com

Mainstreaming Intoleransi dan Agenda Pemerintahan Baru
Catatan Kecil Diskusi Malam Reboan di Pendopo LKiS Sorowajan oleh Sarjoko (@jejakpelamun)

Ketika mendengar pemateri Malam Reboannya Pak Ahmad Suaedy, saya langsung bergegas menyusun jadwal untuk meluangkan waktu. Ada beberapa alasan mengapa saya begitu ‘ngebet’ ingin datang ke acara tersebut. Pertama, saya sudah beberapa kali mendengar nama Ahmad Suaedy tapi urung lihat orangnya. Kedua, dia merupakan orang Wahid Institute yang notabene sealiran dengan saya sebagai anak Komunitas Pemikiran Gus Dur. Ketiga, saya tengah menggarap buku di mana Ahmad Suaedy menjadi salah satu penulisnya. Sekalian kenalan.
Keluar dari alasan-alasan pribadi tersebut, tema yang diusung sangat menarik. Gerakan intoleran memang semakin menampakkan taringnya. Aksi mereka lebih mirip aksi orang mabok yang tidak bisa berdialog. Beberapa kali di Yogyakarta terjadi aksi perusakan oleh oknum dengan membawa bendera agama. Sebut saja penyerangan terhadap LKiS saat menghadirkan Irsyad Manji. Padahal tidak ada satu agama pun yang mengajari umatnya melakukan kekerasan. Yang menjadi aneh, mengapa pemerintah seakan bungkam? Ini yang membuat saya semakin terpanggil, selain dalam tiga diskusi sebelumnya saya selalu hadir.
Ahmad Suaedy membuka diskusi dengan sebuah cerita. Suatu ketika, ia menghadiri sebuah acara di Praha, Ceko. Di Praha orang baru tahu ada Islam toleran di Indonesia. Dengan kata lain, citra Islam sebagai agama intoleran sangat kuat. Hal ini tentu menjadi ironi, terlebih Islam datang sebagai agama rahmatan lil’alamin. Pembawanya, Nabi Muhammad SAW menyatakan diutus untuk membenahi akhlak. Innama bu’itstu li utammima makaarimal akhlaq.
Intoleransi bukan sesuatu yang dapat dihindari. Banyak yang sangat alergi dengan istilah ini. Padahal makna intoleran sangat luas. Ketika seseorang mempunyai kebenaran lalu menyalahkan kebenaran lainnya, maka orang tersebut dikatakan intoleran. Tidak semua intoleran bermakna buruk. Bahkan ada intoleran yang (menurut saya) diwajibkan. Itu paling tidak jika kita memakai pendapat Suaedy yang membagi kata intoleran dalam tiga bentuk.
Pertama, intoleran pribadi. Intoleran pribadi itu menyatakan sebuah kebenaran dengan menyalahkan kebenaran lain tetapi tidak disertai tindakan. Intoleran ini digunakan untuk mendefinisikan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan persoalan akidah. Misalnya, menganggap agama Islam paling benar dan menyalahkan kebenaran agama lain. Dalam tataran ini sangat wajar. Orang Kristen pun harus bisa menyalahkan kebenaran agama lain demi imannya. Yang penting tidak saling memusuhi.
Kedua, intoleran sosial. Tataran ini dibagi menjadi dua. Intoleran dengan kekerasan atau tidak dengan kekerasan. Untuk kekerasan kita semua sudah sangat hafal bagaimana kelompok-kelompok ini memerangi orang-orang yang tidak sepaham. Mereka kerap melakukan aksi perusakan dan bahkan melancarkan ancaman pembunuhan. Yang tidak banyak disadari ialah adanya intoleransi sosial tanpa kekerasan. Contoh yang banyak ditemui adalah adanya perumahan khusus golongan tertentu. Mengapa intoleran? Karena perumahan semacam ini menjadikan masyarakat terkotak-kotak. Dampaknya bisa saling curiga. 
Saya punya pengalaman di kampung nun jauh di Riau sana, di sebuah desa terdapat satu lokasi khusus rumah-rumah Islam A. Mereka sangat eksklusif sampai menutup diri dari kebiasaan orang kampung kebanyakan. Kelompok ini mendirikan masjid sendiri tanpa mau bergabung dengan masjid desa. Jadilah Islam versinya itu menjadi Islam pemecah belah. Padahal aspek sosial terbangun dari adanya kebersamaan.
Yang menjadi kajian malam kemarin ialah intoleran jenis ketiga berupa kebijakan yang dibacking oleh pemerintah dengan menggunakan pasal hukum. Hal ini yang menjadi tren di Indonesia beberapa tahun belakangan. Indonesia sebagai negara majemuk, plural, yang seharusnya dalam bahasa Suaedy disebut civil nation, seakan bergeser menjadi religious nation. Pemerintah tunduk pada lembaga yang dilegitimasinya sendiri dalam soal agama. Intoleran kedua dan ketiga ini yang masuk kategori 'berbahaya'.
Kita coba sebentar refleksi ke belakang. Di saat ada kasus kekerasan atas nama agama seperti Ahmadiyah dan Syiah Sampang, di mana peran pemerintah, aparat hukum dan staf-stafnya dalam membela korban? Mereka justru diam, bungkam dan seakan tak mau tahu dengan dalih sang korban adalah pengikut aliran sesat! Sungguh sebuah kisah memilukan di tengah semangat toleransi yang semakin terdegradasi. Sesat seakan menjadi cap untuk menghalalkan penganiayaan atau bahkan pembunuhan.

Agama dan Pemerintah
Di Indonesia, institusi agama yang dilegalkan secara hukum ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Namun yang dianggap benar-benar legal adalah Islam. Mengapa? Karena orang akan menganggap benar jika sudah Islam. Pemimpin yang baik adalah beragama Islam. Ketika Ahok akan jadi gubernur DKI, banyak yang menentang dengan alasan ambigu. Dia bukan Islam! Penilaian di sebuah kepemimpinan demokrasi bukan dilihat dari sejauh mana kapasitas dia sebagai pemimpin.
Lupakan paragraph di atas. Mari kita bersama-sama melihat bagaimana pemerintahan Indonesia dalam 10 tahun terakhir menjelma sebagai hantu bagi golongan minoritas. Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Ahmad Suaedy:
1. Pemberian legitimasi terhadap Lembaga Keagamaan sebagai Monopoli Kebenaran (MUI)
2.Penunjukkan orang-orang terpercaya yang memiliki paham konservatif agama (All the  President’s Men)
3. Penyusunan regulasi yang bersifat intoleran terhadap kelompok tertentu.
4. Ketidakmampuan untuk melindungi korban/ minoritas.
Saya mencoba menjabarkan dengan versi saya alasan-alasan di atas.
Pertama, legitimasi kebenaran diberikan kepada MUI. Artinya selain MUI dianggap tidak punya wewenang. Artinya pula, apa yang dikatakan MUI sebuah kebenaran mutlak. Awal mula petaka ini terjadi pada saat MUNAS MUI tanggal 26 Juli 2005. Saat itu presiden berpidato meminta MUI menjadi lembaga yang sentral. Pemerintah ikut terhadap keputusan-keputusan MUI. Setelah pidato itu, ada 11 fatwa yang dikeluarkan MUI. Yang paling ‘horror’ adalah penyesatan terhadap Ahmadiyah dan larangan terhadap SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Untuk yang kedua, mereka menafsiri sesuai kemauannya. Setelah fatwa ini, MUI daerah ramai-ramai mencari-cari kelompok yang disesatkan. Perusakan terhadap masjid-masjid pun terjadi tanpa bisa diadili oleh pemerintah. Mengapa? Anda tahu sendiri.
Poin kedua tidak jauh berbeda dengan poin pertama. Pemerintah terlanjur tunduk pada paham konservatif yang membahayakan. Untuk yang ketiga dan keempat, ini yang patut diratapi bersama. Bagaimana mungkin institusi negara tidak menjamin keamanan setiap warganya hanya karena pahamnya tidak sama? Bahkan yang dianggap ‘legal’ pun sebenarnya tidak sama. Kita ambil contoh: NU dan Muhammadiyah. Yang satu bilang tahlilan boleh, yang satu bid’ah. Tetapi mengapa keduanya tetap dianggap legal? Beda perlakuannya dengan Syiah dan Ahmadiyah. Padahal Syiah merupakan salah satu aliran tertua dalam sejarah sekte Islam.
Penetapan kembali UU No.1/PNPS tahun 1965 tentang penodaan agama juga menjadi faktor terpenting dalam tumbuh-suburnya gerakan intoleran. Pasalnya, kata ‘penodaan agama’ sendiri tidak jelas maknanya. Ketika orang berbeda dianggap menodai, tapi mengapa orang yang membuat kerusuhan justru tidak disebut sangat amat jelas menodai?

MUI dan Pemerintah
Ada dinamika unik perihal sikap pemerintah terhadap organisasi bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di era Soeharto dan Habibie, MUI berfungsi sebagai pelayan pemerintah. Ketika pemerintah memerlukan dalil tentang A, MUI berfungsi untuk mencarikannya. Misalnya fatwa tentang kodok. Agar masyarakat mau berbudidaya kodok, MUI mencari dalil tidak dilarangnya budidaya kodok.
Di era Gus Dur, MUI menempatkan diri menjadi oposisi. Hal ini terkait pernyataan presiden yang menginginkan MUI menjadi ormas independen yang tidak ‘menyusu’ pada pemerintah. Karena berseberangan, saat itu ada ‘pertengkaran’ antara MUI dan Gus Dur mengenai hukum Ajinomoto. MUI mengatakan haram, presiden berpendapat halal.
Di era SBY, MUI beralih menjadi lembaga yang dilayani pemerintah. Apapun yang dikatakan MUI menjadi kebenaran dan didukung penuh pemerintah. Wajar saja kekerasan yang disebabkan fatwa-fatwa MUI tidak digubris bahkan (mungkin) didukung penuh. Amir Ahmadiyah sampai mengatakan sejak 2005 kekerasan yang dialami kelompoknya sangat masiv. Perusakan-perusakan masjid Ahmadiyah pun seperti menjadi suatu perubuatan yang dilegalkan. Padahal, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Ada cerita menarik yang disampaikan Bung Suaedy terkait fatwa ini. Di sebuah tayangan, seorang komandan diwawancarai terkait kekerasan atas nama agama. Si komandan tersebut menjawab, nunggu fatwa MUI. What???
Begitulah ketika negara menjadi religious/ethnic nation, bukan civil nation building. Ketimpangan demi ketimpangan menjadi sebuah keniscayaan yang seakan dimaklumi. Karena ane mayor, ente minor. Sudah sepatutnya pemikiran seperti ini dihilangkan. Gerakan civil nation building menjadi tugas semua warga negara.
Untuk agenda pemerintahan baru idealnya minimal mencakup tiga hal ini.
1. Mengembalikan Visi Indonesia ke Civil nation building VS Religious/Ethnic nation building 
2. Mengembalikan posisi MUI sebagai organisasi masyarakat  Ormas atau LSM
3. Mengembalikan tugas penegakan HAM dalam isu agama ke tugas citizenship.
Caranya? Dalam membangun koalisi penguasa dengan minimal kriteria:
1. Penghapusan UU No 1 PNPS 1965
2. Penghapusan Bakorpakem
3. Penghapusan pasal-pasal dalam UU yang menempatkan MUI sebagai penentu kebijakan.

Wallahua’lam.


Tulisan ini merupakan rangkuman penulis dari diskusi Malam Reboan di LKiS, 25 Maret 2014 bersama Ahmad Suaedy, M.Hum. Direktur Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia.

Saturday, March 15, 2014

Dahsyatnya Propaganda Media dan Rekonsiliasi

Catatan Kecil Nonton Bareng Film Sometimes in April di Griya Gusdurian


Secara umum film ini membuat aku merinding. Peristiwa genosida di tahun matinya Kurt Cobain ini luput dari pengamatanku. Padahal, pembantaian yang terjadi selama 100 hari ini memakan korban 800.000 ribu jiwa! Di kurun waktu tersebut, dunia barat yang konon sebagai penjaga keamanan dunia mati kutu tak berdaya. Bahkan sekutu diyakini terlibat di dalam peristiwa mengerikan itu.
Sebuah negara di Afrika yang menjadi latar sejarah kemanusiaan ini bernama Rwanda. Di sana ada tiga suku yang tinggal, Hutu, Tutsi dan Twa. Hutu merupakan suku mayoritas sedang Twa paling sedikit jumlahnya. Di film itu, suku Hutu menginginkan adanya kekuasaan tunggal. Mereka menuntut pemerintahan diisi oleh orang sukunya. Karena presiden Juvenal Habyarimana merencana pembagian kekuasaan, militant Hutu tidak terima. Apalagi presiden mau mengangkat orang Tutsi sebagai wapresnya. Mereka menembak pesawat presiden hingga hancur. Mulai saat itulah pembantaian dimulai.
Para elit politik dan militer yang loyal kepada pemerintah dihabisi. Warga suku Tutsi yang tidak berdosa sekalipun dibunuh. Di hari pertama jumlah korban 8000. Hari ketiga 30.000. Hari ke-65 mencapai 620.000 jiwa. Yang menyedihkan, pasukan United Nation (UN, PBB) hanya menyelamatkan warga yang berkulit putih. Yang paling mengerikan adalah aksi pembantaian masal di sekolah St Maria. Seluruh murid ditembak secara keji di sebuah ruangan.
Menurutku wajar saja Barat tidak berusaha menengahi konflik yang terjadi antar suku itu. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena Rwanda bukan negara yang punya nilai ekonomis. Dalam adegan film, Kapten Bagosora sebagai pemimpin pemberontak sampai mengatakan, “Kami tidak punya minyak. Lalu mengapa kalian kemari?” Beda sikapnya ketika Mesir atau negara penghasil minyak lainnya bergejolak, mereka segera ikut campur.
Hal yang menjadi fokus perhatianku adalah propaganda yang dilakukan oleh tokoh Honore Bartra. Ia merupakan pendukung gerakan pemberontak dan melakukan propaganda melalui saluran Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM). Setiap waktu, radio tersebut tiada henti-hentinya menebar kebencian terhadap suku Tutsi sehingga membuat orang Hutu tersulut.
Dalam menyampaikan pesan propagandanya, suku Tutsi dianggap sebagai kecoa. Ada satu adegan di mana penyiar radio mengatakan, “Kecoa tetap melahirkan kecoa. Kecoa tidak bisa melahirkan kupu-kupu.” Bisa dikatakan, pekerjaan utama masyarakat Rwanda suku Hutu saat itu adalah memburu dan membunuh suku Tutsi.
Itulah hebatnya media. Secara tidak langsung film tersebut menyampaikan pesan bahwa media sangat berpengaruh terhadap aksi pembantaian itu. Dengan radio yang tiada henti menebarkan kebencian, masyarakat bisa langsung terpengaruh. Asumsi ini jika kita menganut teori peluru atau jarum hipodermik.
Menurut Katz teori ini berasumsi:
1. Media massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.
2. Khalayak yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling berhubungan.

Rekonsiliasi ala Gus Dur
Saat sesi diskusi berlangsung, ada seorang peserta yang membandingkan konflik antar suku itu seperti konflik yang terjadi di Indonesia. Contoh yang belum lama terjadi adalah kasus Sampit-Madura, Sunni-Syiah dan komunisme. Beberapa kasus itu terjadi karena sikap sektarian yang kuat dan tidak mau menyelesaikan masalah lewat dialog.
Tragedi Rwanda juga disamakan dengan pembantaian 1965 dan 1998 yang menelan banyak korban jiwa. Persis seperti film ini, beberapa jendral yang terlibat berkilah bahwa mereka tidak melakukan pembantaian. Di film tersebut dikatakan, pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Jadi sangat tidak etis jika seorang pimpinan mengatakan “Bukan saya!”
Pembantaian Rwanda terjadi pada tahun 1994 dan diadili pada tahun 2004. Sementara di Indonesia, kasus 1965 atau 1998 belum juga dapat diselesaikan dan ditetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan besar-besaran itu. Kasusnya hampir sama. Di Rwanda siapa yang Tutsi dibunuh, di Indonesia siapa yang dianggap PKI dihabisi.
Karena acara nobar bertema Gus Dur, maka pertanyaannya adalah bagaimana Gus Dur merekonsiliasi peristiwa genosida di Indonesia itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, aku mengutip penjelasan Mbak Tata. Pada tanggal 15 Maret 2000 (14 tahun silam), Gus Dur meminta maaf kepada korban 65 dan 98, baik sebagai presiden atau elit NU. Dia mengakui adanya keterlibatan oknum NU dan mengakui peristiwa itu benar-benar terjadi di Indonesia. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Begitulah. Dalam menyelesaikan sebuah masalah harus diawali keterbukaan bersama. Seseorang bisa berkilah, namun sejarah yang benar selalu membuktikan. Di film yang luar biasa ini, sikap gentle diperlihatkan oleh Honore dengan mengakui keterlibatannya mengobarkan propaganda lewat media.
Saat ini peran media dalam mengangkat isu-isu perdamaian sangat dibutuhkan. Banyaknya kasus intoleran merupakan bukti bahaya yang mengancam keamanan negara. Sudah sewajarnya media ikut berperan dalam menjaga rasa aman dan nyaman. Jadi media tidak hanya mencari profit dari iklan apalagi menjadi agen politik.
Kini media sangat rajin mengiklankan banyak tokoh politik. Banyak yang menebar janji-janji masa depan lebih baik, tapi masa lalunya urung diungkap ke publik. Bahkan beberapa yang berambisi jadi pemimpin terlibat langsung aksi pelanggaran HAM. Di tahun politik ini, semoga masyarakat bisa menilai dengan baik calon pemimpinnya. Jangan sekali-kali lupakan sejarah, kata Soekarno.

Plosokuning, 16 Maret 2014
01:23 WIB

Untuk review filmnya, saya kopas dari Wikipedia saja:
Sometimes in April is a 2005 historical drama television film about the Rwandan Genocide of 1994, written and directed by the Haitian filmmaker Raoul Peck. The ensemble cast includes Idris Elba, Oris Erhuero, Carole Karemera, and Debra Winger.
The story centers on two brothers: Honoré Butera, working for Radio Télévision Libre des Mille Collines, and Augustin Muganza, a captain in the Rwandan army (who was married to a Tutsi woman, Jeanne, and had three children with her: Anne-Marie, Yves-André, and Marcus), who bear witness to the killing of close to 800,000 people in 100 days while becoming divided by politics and losing some of their own family. The film depicts the attitudes and circumstances leading up to the outbreak of brutal violence, the intertwining stories of people struggling to survive the genocide, and the aftermath as the people try to find justice and reconciliation.



Friday, March 14, 2014

Ketika Media Semakin Menggonggong

Sumber gambar luthfimadura.wordpress.com

Catatan Kecil Diskusi Malam Reboan LkiS
Model-Model Gerakan Literasi Media di Indonesia

Prolog
Media (pers) selalu dikatakan sebagai pilar demokrasi yang keempat. Media biasa diistilahkan sebagai watch dog, anjing pengawas. Ada yang mengartikannya sebagai anjing penjaga. Maksudnya, media atau pers mengawasi atau menjaga berjalannya pilar demokrasi lainnya. Julukan ini menjadi penegas bahwa hakikatnya media mempunyai fungsi kontrol sosial, selain berfungsi sebagai media pendidikan, hiburan dan (kini) agenda politik[1].
Pertama-tama saya tertarik dengan istilah anjing pengawas itu. Binatang yang paling saya takuti dulu sebenarnya tidak menakutkan. Rantai yang dikalungkan di lehernya menjadi jaminan. Dan ia hanya menggonggong pada hal yang asing. Seekor anjing pengawas akan diam ketika yang datang adalah orang yang sudah akrab.
Anjing penjaga hanya bisa menggonggong tanpa bisa melakukan eksekusi. Yang bisa dilakukannya memang menggonggong sekeras-kerasnya. Tetapi ia dibelenggu oleh rantai. Rantai tersebut dililitkan di sebuah tiang yang tidak mungkin membuatnya merdeka.
Anjing pengawas memang difungsikan sebagai ‘alarm’ otomatis sang majikan. Ketika ada orang asing, sang anjing akan menggonggong. Si majikan tingggalmengecek apa benar itu ancaman atau justru kurir makanan siap saji yang sedang mengantar pesanan. Ketika yang datang bukan bahaya, sang majikan cukup mengelus kepala si anjing, si anjing akan diam.
Anjing penjaga bukan anjing pelacak yang diberi keleluasaan untuk menggigit. Anjing penjaga sifatnya menunggu, tidak seperti anjing pelacak yang mencari. Oleh karenanya, media (pers) hanya menjaga atau mengawasi. Sekali lagi tidak dalam tataran eksekusi. Kalau ada penyimpangan digonggongi, tapi tidak punya wewenang untuk menghukumi. Ibarat polisi, media hanya diberi sempritan (peluit) tapi tidak diberi pentung untuk menindak. Gonggongan itu pun disuarakan ketika ada hal asing. Tapi jika sudah familiar?

Kegelisahan di Pendopo Hijau
Ada pernyataan menarik yang dilontarkan oleh peserta diskusi malam ini. Menurutnya, media tidak bertanggung jawab atas kejahatan (misal pemerkosaan) yang terjadi. Tayangan pornografi tidak bisa dikambing-hitamkan begitu saja. Alasannya cukup logis, pemerkosaan sudah ada bahkan sebelum media lahir.
Ada juga seorang peserta yang mengungkapkan pengalamannya sebagai tenaga medis. Ia pernah terjun ke suatu tempat di mana para bayi yang idealnya sudah dapat bicara di usia 2 tahun, namun kenyataannya di sana belum bisa. Setelah diteliti, ternyata si bayi terbiasa ‘menonton’ televisi lebih dari empat jam sehari. Penyebabnya, si bayi ditinggal di depan tv yang menyala sementara orang tua atau pengasuhnya bekerja di dapur dan lain sebagainya. Walhasil si bayi menjadi penonton pasif. Kurangnya interaksi ditenggarai sebagai penyebab kasus bayi tersebut.
Dua paragraf memang tidak berkaitan, namun bisa dijadikan contoh bagaimana khalayak membicarakan media. Ada orang yang menganggap media berpengaruh pada fenomena, ada yang sama sekali menolak paham ini. Banyak masyarakat yang menganggap tayangan yang ada di media sebagai hiburan belaka, tanpa menimbang ada pengaruh luar biasa bagi kehidupan sosial.
Saya teringat beberapa waktu lalu (semester dua) menulis artikel berjudul “Efek Behavioral Tayangan Televisi”. Dalam tulisan tersebut, saya mengambil kasus seorang anak menyemekdon (smack down) temannya sampai akhirnya si anak sakit lalu meninggal dunia. Hal tersebut terjadi ketika maraknya tayangan smack down di Lativi. Akibat banyaknya laporan, tayangan smack down akhirnya dihentikan.
Lalu apakah media memang memiliki pengaruh? Saya tidak perlu menjawabnya.

Gerakan Literasi; Sebuah Perlawanan
Maulin Ni’am[2] mengatakan media kini tidak bisa disebut sebagai pengawas, penjaga atau pengawal demokrasi. Bahkan media sekarang dianggap sebagai penghambat (penghalang) terbesar demokrasi. Ia mengibaratkan media sebagai darah, sementara tiga pilar lain merupakan bagian tubuh lainnya. Mengapa penghambat? Karena darah tersebut sudah terkontaminasi racun. Perlu berkali-kali cuci darah agar kehidupan bisa terus berlangsung.
Hal ini tidak lain karena media menyalahgunakan wewenangnya. Tidak ada media yang independen karena dimiliki oleh pemilik modal yang rata-rata seorang politisi. Akibatnya media digunakan pula sebagai arena pertarungan politik.
Dalam membuat suatu program siaran, pertimbangan utama media adalah rating. Media tidak lagi memperhatikan apakah tayangan tersebut mendidik atau tidak. Baginya, rating tinggi berarti menandakan masyarakat menerima. Saya ingat bagaimana TRANS TV menolak menghentikan tayangan YKS (Yuk Keep Smile!) karena menganggap YKS sebagai bagian dari masyarakat. YKS terlanjur digandrungi.
Memang menjenuhkan! Saya sendiri sudah frustrasi dengan tayangan yang ditawarkan oleh televisi Jakarta yang ‘kebetulan’ siaran secara nasional itu. Dari 24 jam waktu tayang, sangat sedikit yang keluar dari mainstream jamuran. Mengapa jamuran? Karena media Indonesia sukanya mengekor pada media lain yang dianggap berhasil menjual tayangannya kepada masyarakat. Sebagai contoh, meledaknya goyang Cesar memancing lahirnya goyang-goyang lainnya.
Mungkin banyak orang-orang yang senasib dengan saya. Oleh karenanya, pengawasan diri dari tayangan media perlu dilakukan. Intan[3] menyebut gerakan ini sebagai gerakan literasi media. Literasi bertujuan untuk menguatkan diri agar seseorang bisa memilah mana informasi yang dibutuhkan dan mana yang tidak.
Gerakan literasi bisa dilakukan dalam dua level yang berbeda. Di level paling bawah, gerakan literasi diaplikasikan dalam bentuk tindakan personal terhadap media. Seseorang dapat bersikap menonton atau tidak suatu tayangan yang diberikan media. Pada level paling atas, tindakan tersebut bukan hanya berupa tindakan personal, namun mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Misalnya saja mengajak anak-anak untuk menghindari tayangan berbau dewasa. Intan memberi katakunci bahwa literasi media bertujuan agar timbul persepsi ‘saya butuh tayangan ini (bukan) saya menonton karena adanya ini’.
Mengapa literasi perlu? Karena media menggunakan frekuensi yang notabene milik publik. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang mendidik, bukan tayangan narsis para pemilik modal. Dalam hal ini, penilaian baik dan buruk tidak bisa dilakukan dengan menimbang masyarakat suka atau tidak suka. Perlu dicatat bahwa gerakan literasi bukan berarti hanya mengkritisi media, namun bisa juga memanfaatkan media.
Salah seorang peserta menyayangkan mengapa tayangan yang berkualitas justru tidak mudah diakses. Di obrolan kecil dengan saya, peserta tersebut menganalisa mengapa iklan tidak masuk ke KOMPAS TV yang dianggapnya sebagai stasiun televisi berkualitas. “Itu karena KOMPAS TV tidak bisa dijangkau di semua tempat”. Oleh karenanya iklan akan masuk ke tv-tv yang ‘pasaran’.

Epilog; Woh!
Ya, percakapan atau lebih kerennya diskusi malam itu seakan (dalam frame-ku) menegaskan bagaimana media sudah melenceng dari jalurnya. Statemen-statemen begitu juga kegelisahan yang menguap layaknya kabut asap merupakan penilaian yang tidak bisa dinafikan. Masyarakat sekali lagi menjadi objek yang terus dimanfaatkan.
Mengenai tayangan yang dianggap tidak penting, ada statemen menarik dari rekan saya. Dia bercerita ketika di rumah seorang pembantunya tengah menonton tayangan yang dianggapnya tidak penting. Lalu muncul percakapan semacam ini:
“Tontonannya kok gak penting gini?”
“Ya bagaimana lagi, non. Tiap hari susah masak nonton yang bikin susah lagi...”
Ia menyimpulkan (walau pendapatnya masih belum teruji dan sebatas hipotesa subjektif) bahwa penonton berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka mencoba keluar dari realitas kehidupannya. Makanya sinetron-sinetron “Pacarku Tukang Angkot” dll digemari. Itu semata-mata mereka ingin lari dari realitas!
Untuk hal seperti ini, media semakin menggonggong. Muncullah banyak tayangan yang mirip tapi membosankan. Mulai sinetron ‘impossible’, goyang-goyangan dan lainnya. WOH!!!

Yogyakarta, 
Dari Kebun Laras sampai Student Center
13-14 Maret 2014




[1] Pendapat ini diutarakan oleh Sutirman Eka Wardana, dosen Hukum dan Etika Jurnalistik UIN Sunan Kalijaga
[2] Tim peneliti Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta. Pemateri diskusi.
[3] Pemateri 

Thursday, March 6, 2014

KHITTAH YES, POLITIK NO! EPS.6

Sumber gambar: kembalikefitrah.blogspot.com
AKU DAN SANG GURU
Dialog imajiner Aku dan Sang Guru

Beberapa hari yang lalu aku pergi berziarah ke desa Kajen, sebuah desa santri yang terletak di kabupaten Pati Jawa Tengah. Perjalanan dari Yogyakarta dapat ditempuh selama kurang lebih 6 jam via Purwodadi. Biasanya perjalanan hanya memakan waktu 5 jam. Tapi tempo hari kondisi jalan rusak dan banyak yang berlubang. Terlebih di kawasan yang dulunya tergenang banjir.
Di sepanjang jalan menuju desa Kajen, banyak spanduk yang menegaskan bahwa NU tetap pada khittah, tidak terikat dengan partai politik manapun. Itu sesuai keputusan muktamar NU 1984 di Situbondo. Salah seorang yang memegang teguh 'janji politik' NU itu adalah KH MA Sahal Mahfudz. Spanduk tersebut mungkin respon warga nahdliyin Pati atas tayangan yang 'dibintangi' oleh tokoh NU di salah satu iklan partai politik. Saat larut dalam pertanyaan-pertanyaan seputar khittah dan politik, Sang Guru kembali hadir setelah menghilang beberapa hari.
Sang Guru (SG): Assalamu'alaikum
Aku (A): Waalaikumsalam. Dari mana saja, guru?
(Guru tidak menjawab. Ia terbatuk-batuk kecil)
SG: Apa yang tengah kau pikirkan?
A: Ini guru, mengapa banyak spanduk yang isinya NU tetap pada khittah
SG: Lha memang dari dulu demikian?
A: Benar, guru. Tetapi baru kali ini divisualisasikan secara terang-terangan
SG: Itu juga respon dari yang terang-terangan
A: Maksudnya?
SG: Menurutmu, mengapa spanduk-sapnduk itu dibuat?
A: Karena tokoh NU tampil di iklan yang dibuat oleh partai politik
SG: Baru kali ini tokoh NU tampil di iklan bersama partai politik. (Aku menggaruk-garukkan kepala. Benar kata guru).
A: Aku tertarik dengan alasan Kiai Sahal berjuang pada khittah, guru. Bukannya politik itu demi kemaslahatan? Dan apabila warga NU bersatu, apakah itu menjadi lebih baik?
SG: Perbedaan adalah anugerah.
A: Tapi bukankah itu akan memecah suara, guru?
SG: Begini, nak. Kau tahu sejarah panjang politik NU? Pada saat berdirinya, NU merupakan organisasi sosial-keagamaan. Lalu bergabung dengan partai Masyumi. Setelah itu sempat menjadi partai sendiri. Pernah pula bergabung dengan PPP sebelum keputusan khittah 26 di Situbondo dikeluarkan. Pada era reformasi, NU masih teguh pada prinsipnya secara struktural. Namun Gus Dur membangun partai politik sebagai wadah politik warga NU tanpa membawa embel-embel nama NU. Walau dalam kenyataannya warga NU tetap menjadi basis suara partai ini.
A: Artinya?
SG: Artinya, sebagian warga NU masih sangat kental membela Masyumi. Sebagian lagi tetap di PPP. Sebagian lagi menjadi partisipan dan kader PKB. Ingat, warga NU! Bukan NU secara organisasi. Apabila organisasi NU memutuskan membela salah satu partai yang terikat sejarah dengan NU, maka berpotensi terjadi perpecahan.
A: Untuk itu Kiai Sahal mengambil jalan aman dengan tidak memihak partai politik!
SG: Tebakanmu hampir benar. Tapi kata-kata 'jalan aman' kurang sesuai. Lebih tepatnya Kiai Sahal mengambil maslahat yang terbaik untuk umat. Begitulah cara kiai mengayomi masyarakat yang beragam.
A: Dengan kata lain, Kiai Sahal mengajari kita untuk berdemokrasi secara utuh?
SG: Ya, Kiai Sahal mengajari kita berpolitik secara sehat.
A: Lalu bagaimana sikap Kiai Sahal saat Gus Dur mendirikan partai politik?
Aku menoleh ke arah guru. Namun dia sudah menghilang. Namun kehadirannya cukup membuatku mengerti mengapa banyak warga NU menghendaki khittah 1926.
Di acara peringatan 40 hari-an Kiai Sahal, aku tersenyum bahagia. Din Syamsuddin hadir dalam peringatan tersebut. Hadir pula tokoh-tokoh NU seperti Said Aqil Siradj dan lainnya. Ya, persaudaraan NU-Muhammadiyah sangat diperlukan demi mendidik bangsa ini yang walau mayoritas Islam, tapi punya paham-paham yang berbeda. Tidak mungkin menyatukan pemahaman antar satu muslim dengan muslim lainnya. Karena perbedaan adalah anugerah dari Tuhan.
Dalam peringatan itu, dokter Sahal Fattah dan Gus Qayyum menympaikan sambutan yang salah satu isinya NU tetap pada khittah.
Di salah satu sambutannya, diceritakan bagaimana Kiai Sahal menyikapi pergulatan politik warga NU di era Gus Dur. Saat Gus Dur akan maju sebagai presiden, seluruh kiai-kiai dikumpulkan. Tetapi Kiai Sahal tidak hadir di acara tersebut. Saat ditanya mengapa, Kiai Sahal menjawab dengan singkat. NU tidak berpolitik.