Wednesday, May 22, 2013

Jejak Politik Islam (1)

Lamunan 3:
Sejarah Perpolitikan Islam di Era Sahabat
Rampung sudah tugas kuliah hari ini, membuat makalah berjudul "Dinasti Safawiyah". Kebetulan saya dapat bagian kemunduran dan kehancurannya. Semakin jauh mempelajari sejarah, semakin ada sebuah hipotesis pribadi bahwa agama dan negara sulit disatukan di zaman sekarang. Tentu ini baru sebatas pemahaman dangkal saya pribadi. Saya tidak bermaksud bersikap anti teokrasi, ataupun ingin meneruskan gejola sekularisasi. Namun berkaca pada sejarah, konsep teokrasi dewasa ini lebih tertuju pada politik ideologi. Kita sama-sama mengenal Iran dan Arab Saudi. Keduanya menerapkan agama sebagai basis. Namun apa yang terjadi? Baik Iran maupun Arab sama-sama mengusung ideologi yang sangat berbeda.
Nyaris hanya masa Rasulullah saja yang sempurna penyatuan antara agama dan negara

Nyaris hanya masa Rasulullah saja yang sempurna penyatuan antara agama dan negara. Karena Rasulullah langsung menerima wahyu dari Tuhan dan beliau sebagai pelaksana (pemimpin) melaksanakan dengan sepenuh hati. Untuk itu negara berlandaskan agama di masa Rasulullah berjalan dengan baik. Dan rasanya tidak mungkin apabila di era yang sudah sedemikian pesatnya perkembangan pemikiran ini, masih menyamakan dengan era Rasulullah. Kita bisa lihat perjalanan Islam sebagai sebuah agama dan ideologi pasca wafatnya Rasulullah. 
Sebagaimana dijelaskan di atas, Islam di zaman Rasulullah masih satu warna. Seluruh umat bersatu di bawah kepemimpinan Rasul. Masalah muncul ketika beliau wafat. Hari wafat beliau ini yang kemudian sedikit banyak berimbas pada beragamnya pergerakan intelektual (baca: sekte) dalam Islam. Sehingga berabad-abad Islam 'terpecah' atas dua golongan besar, Islam bermazhab Ahlussunah (Sunni) dan Syiah. Keduanya hampir dipastikan mustahil disatukan secara akidah. Dan pergolakan pemikiran ini menjadi salah satu alur dalam sejarah Islam, begitu pun yang terjadi di kerajaan Safawiyah. Dinasti yang berdiri di Iran ini bermazhab Syiah.
Penafsiran peristiwa wafatnya Rasul dipandang dalam dua perspektif utama. Di sana ada peristiwa di mana tiga sahabat Rasul Abu Bakar, Umar dan Utsman memusyawarahkan kandidat pengganti Rasul sebagai pemimpin umat Islam. Sementara Ali dibiarkan mengurus jenazah Rasul sebagai ahlul bait. Versi Sunni, penetapan pengganti pemimpin umat perlu segera dilakukan agar umat tidak hidup tanpa pemimpin dalam waktu yang lama. Maka langkah yang dilakukan tiga sahabat di atas sangat baik demi kemaslahatan umat. Beda dengan tanggapan Syiah yang menyebut tiga tokoh tersebut sebagai orang yang rakus akan jabatan. Di saat umat menangisi kepergian Rasul, para sahabat justru sibuk dengan suksesi kepemimpinan.
Kekhawatiran sahabat versi Sunni memang terbukti. Karena setelah Rasulullah wafat banyak umat Islam yang murtad dan tidak mau membayar zakat. Bahkan ada orang Najd bernama Musailamah dan istrinya Sajjah binti al-Harits mengaku dirinya sebagai nabi. Untuk itu pemerintahan Abu Bakar sibuk dengan agenda "pengislaman" umat. Dalam periode dua tahun (11-13 H) kepemimpinan Abu Bakar menggoreskan tinta emas sejarah peradaban Islam. Ia menopang keuangan negara dengan baitul mal, menyetujui pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an atas saran Umar ibn Khattab dan melakukan konsultasi penggantian pemimpin bersama beberapa tokoh masyarakat yang kemudian menunjuk Umar ibn Khattab sebagai khalifah pengganti.
Setelah Abu Bakar wafat tonggak kepemimpinan diteruskan oleh Umar ibn Khattab. Pemerintahan Umar bisa disebut kegemilangan karena ekspansi wilayah kekuasaan negara Islam hingga Mesir, Damaskus dan Yerusalem. Umar merupakan tipikal orang yang keras dan tegas, namun dalam urusan negara ia merupakan sosok yang zuhud dan wirai. Bahkan untuk menggunakan fasilitas lampu, khalifah sangat berhati-hati. Ia tidak mau memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Di akhir hayatnya Umar dibunuh oleh orang Majusi bernama Abu Lu'lu' seusai melakukan shalat shubuh.
Sebelum wafat khalifah berpesan kepada enam sahabat utama untuk memusyawarahkan perihal penggantinya. Utsman pun terpilih. Di era pemerintahan Utsman umat Islam mencetak sejarah baru. Akibat laporan banyaknya perbedaan bacaan di kalangan umat Islam, dan satu suku dengan suku lain saling mengklaim paling unggul, maka khalifah berinisiatif untuk menyatukannya. Terkumpullah ayat-ayat Al-Qur'an dalam satu mushaf yang dikenal sebagai mushaf imam atau Utsmani. Mushaf ini menjadi standar bacaan kaum muslim seluruh dunia hingga saat ini. Sementara dialek lain dapat dipelajari lewat Qiraah sab'ah. Di masa ini umat Islam juga mendirikan angkatan laut pertamanya. Namun sifat lemah lembut Utsman, sebagaimana buku sejarah di Indonesia, dimanfaatkan sederet kerabat yang haus jabatan. KKN dan pemberontakan menghiasi 6 tahun terakhir kepemimpinan Ustman. Ia pun mati terbunuh. Sawdah ibn Hamran menjadi salah satu pembunuh Utsman (Murad: 2009).
Pasca terbunuhnya Utsman gejolak pemikiran umat Islam semakin memanas. Ada yang menuduh bahwa Ali ada di balik pemberontakan tersebut. Maka ketika Sahabat Ali diangkat sebagai khalifah, ada pihak yang sangat menentang dan bahkan mendirikan negara Islam tandingan di Damaskus. Dialah Muawiyah ibn Abi Sofyan, salah satu kerabat Utsman. Dari ahlul bait, Aisyah istri Nabi menuntut agar Ali segera mengungkap dalang pembunuhan Utsman. Karena tak kunjung ditanggapi, Aisyah menyerukan perang. Peristiwa ini dikenal sebagai perang Jamal (Onta). Karena saat berperang Aisyah menunggang Onta. Serangan secara terbuka dilancarkan oleh Muawiyah. Tercetuslah perang Shiffin yang sangat terkenal itu. Saat hampir kalah, pihak Muawiyah meminta perundingan damai dengan mengacung-acungkan mushaf di ujung lembing. Terpecahlah suara dari kubu Ali antara golongan yang setuju dan menolak. Ali lewat Abu Musa Asy'ari akhirnya menyetujui perundingan itu. Pihak Muawiyah diwakili Amr ibn Ash, gubernur Mesir. Mereka bersepakat mengadakan perundingan di sebuah daerah bernama Daumatul Jandal.
Perundingan itu akhirnya justru merugikan Ali. Karena persyaratan perdamaian adalah meletakkan jabatan khalifah, baik pihak Ali maupun Muawiyah. Setelah Abu Musa meletakkan secara resmi jabatan khalifah Ali, pihak Muawiyah justru tidak segera meletakkan jabatannya. Dengan semerta-merta pula Amr ibn Ash mengangkat Muawiyah sebagai khalifah resmi. Muncullah tiga golongan politik utama dalam Islam. Mereka adalah golongan Muawiyah, golongan Ali (kemudian disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (Khawarij). Kelompok politik tersebut pada akhirnya melebarkan sayapnya lewat doktri-doktrin agama, baik dalam masalah kalam (teologi) maupun fikih. Ini yang kemudian mewarisi berkembangnya aliran teologi dalam Islam. Namun saya tidak akan membahas terlalu spesifik perkembangan aliran kalam tersebut karena tulisan ini selanjutnya berkonsentrasi terhadap sejarah politik Islam. (to be continue...) 

0 comments:

Post a Comment