Wednesday, May 22, 2013

Makalah: Ilmu Hadits: Hadits Dilihat dari Kuantitas Perawi




HADITS DILIHAT DARI KUANTITAS PERAWI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Hadits
Dosen pengampu : M. Fajrul Munawir



 
Disusun Oleh :
Sarjoko                                    12210119
Nur Azizah                              12210120
Noviani                                   12210121
PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I

PENDAHULUAN


A.                LATAR BELAKANG

Penelitian suatu hadits itu salah satunya dapat ditinjau dari kualitas dan kuantitas rawi. Hal ini dilakukan oleh ulama dalam upaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadits yang dikumpulkannya. Sehingga dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadits lebih dapat dipertimbangkan.
Hadits merupakan semua hal, baik ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadits menjadi sumber ajaran berada di bawah kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi tidak sembarang hadits yang dijadikan sebagai dasar hukum. Perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut mengenai kriteria hadits untuk dijadikan sebagai hujjah, baik segi matan maupun sanadnya. Oleh sebab itu muncullah disiplin ilmu yang membahas mengenai hadits, ulumul hadits dan musthalah hadits.
Pembagian hadits dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkankan menjadi dua bagian yang besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafzi, mutawatir manawi dan mutawatir amali. Bagian-bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah. Hadits ahad terbagi pula menjadi tiga bagian yaitu masyhur, aziz dan gharib.
Pada kesempatan ini kami akan menjabarkan perawi hadits dilihat dari kuantitas (jumlah) periwayatnya.

BAB II
PEMBAHASAN

HADITS DILIHAT DARI KUANTITAS PERAWINYA

Ditinjau dari segi kuantitas perawinya, hadits dibedakan menjadi dua macam. Hadits mutawatir dan hadits ahad. Kedua kategori hadits ini digolongkan berdasar jumlah perawinya.

A.                Hadits Mutawatir.

1.                  Pengertian Hadits Mutawatir

Secara lughowi istilah mutawatir berasal dari isim fail musytaq dari al-tawatur yang berarti tatabu’ (datang berturut-turut dan beriringan satu dengan yang lainnya). Seperti dalam Q.S. al-mu’minun (23) : 44.

§NèO $uZù=yör& $oYn=ßâ #uŽøIs? ( ¨@ä. $tB uä!%y` Zp¨Bé& $olé;qߧ çnqç/¤x. 4 $oY÷èt7ø?r'sù Nåk|Õ÷èt/ $VÒ÷èt/ öNßg»oYù=yèy_ur y]ƒÏŠ%tnr& 4 #Y÷èç7sù 5Qöqs)Ïj9 žw tbqãZÏB÷sムÇÍÍÈ  

44. Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) Rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya. Maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami jadikan mereka buah tutur (manusia). Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman.

Secara istilah yang dimaksud dengan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat dalam setiap tingkatan satu dengan lainnya dan masing-masing periwayat tersebut semuanya adil yang tidak memungkinkan mereka itu semuanya sepakat berdusta atau bohong semuanya bersandar pada panca indra. [1]
Hadits mutawatir berada pada tingkatan paling tinggi dalam hal meyakinkan penerima informasi. Ia sejajar dengan Al-Qur’an, dalam arti sama diriwayatkan secara mutawatir. Segolongan ulama’ berkata bahwa ilmu (keyakinan) yang diperoleh dari khabar mutawatir sama dengan keyakinan yang didapati dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ulama’ sependapat bahwa hadits mutawatir harus diterima sebagai berasal dari Nabi. Daya ikat hadits mutawatir ini disebut di dalam kitab-kitab bahwa orang-orang Islam.                             

Hukum hadits Mutawatir

1.      Berfaidah keyakinan. Bahwa hadits mutawatir memberi faidah harus diyakini apa adanya. Ini disebut sebagai ilmu dharuri yang tidak lagi dapat ditawar kebenarannya. Orang harus meyakini bahwa apa yang diriwayatkan para perawi memang pernah disampaikan atau dilakukan oleh Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak mungkin bersepakat berdusta.
2.      Pasti shahih. Maka tidak dibutuhkan pembahasan mengenai hal ihwal periwayatannya.
3.      Wajib meyakini keshahihannya seperti meyakini Al-Qur’an. Bahwa mengingkari hadits mutawatir dapat menyebabkan kekufuran.
4.      Wajib mengamalkannya. Maksudnya, bila disana Nabi menyebut perintah, maka harus dilaksanakan, sebaliknya bila disana Nabi melarang, maka harus disingkiri.

2.                  Syarat-syarat Hadits Mutawatir.

a.                  Bilangan atau jumlah periwayatnya banyak.

Dalam hal ini para ulama’ berselisih tentang jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4 orang periwayat berdasarkan pemahaman atas Q.S. al-nur (24):13.

Ÿwöq©9 râä!%y` Ïmøn=tã Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ 4 øŒÎ*sù öNs9 (#qè?ù'tƒ Ïä!#ypk9$$Î/ šÍ´¯»s9'ré'sù yZÏã «!$# ãNèd tbqç/É»s3ø9$# ÇÊÌÈ  

13. mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.
Ada yang berpendapat 5, sebagai pemahaman mengertai ayat-ayat yang menerangkan tentang mula’anah. Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 10 periwayat karena dengan alasan jumlah kurang dari 10 merupakan bilangan satuan. Di samping itu masih banyak yang berpendapat bahwa mutawatir berjumlah sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh puluh, bahkan ada yang mengatakan lebih dari tiga ratus perawi.
Banyaknya periwayat dari awal sanad sampai akhir cenderung stabil. Jumlah periwayatnya imbang masing-masing tingkatan, yaitu tidak gemuk di satu tingkatan sedang ditingkatan lainnya kecil. Atau dengan kata lain, jumlah periwayatnya dari generasi satu ke generasi yang lainnya bertambah tidak berubah menjadi sedikit. Tidak adanya kesepakatan mereka untuk berdusta. Oleh karena itu, isi atau teks hadits yang diriwayatkan diantara mereka nyata atau tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya. Atau dengan kata lain, mereka tidak berdusta atas yang disampaikannya merupakan benar-benar dari Rosulullah SAW.

b.                  Semuanya bersandar pada panca indra.

Persyaratan ini menjadikan hadits mutawatir mencapai derajat yang tiggi karena transmisinya dilakukan dengan metode al-sama’. Dalam pandangan ulama’ metode penyampaian hadits tersebut merupakan metode yang terbaik dalam periwayatan hadits atau kegiatan tahammul wa al-ada’.  [2]
Metode menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal pemikiran manusia mengenai sesuatu. Contoh angka satu merupakan hasil pengurangan dua dikurang satu, dan lain sebagainya.

c.                   Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya.
Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.

3.                  Pembagian Hadits Mutawatir.

Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian. Yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat (mutawatir) dari sisi lafalnya. Lafadz tersebut antara satu dengan lainnya sama dengan hadits Nabi Muhammad SAW.
Contoh adalah hadits mengenai bacaan ta’awudz:

لقد قرأت على عبدالله بن مسعود فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال قل اعوذ بالله من الشيطان الرجيم قل فلقد قرأت على رسول الله صلعم فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال لى يا ابن ام عبد  قل اعوذ بالله من الشيطان الرجيم هكذا أقرأنيه جبريل عن القلم عن اللوح المحفوظ. 

Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
Namun ada ulama yang mengatakan bahwa hadits mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu dengan menambahkan hadits amali sebagaimana penjelasan Sayyid Abdul majid al-Ghouri dalam kitabnya “al-Muyassar fi ‘ulum al-Hadits”.

Hadits mutawatir amali merupakan hadits yang diambil oleh orang-orang, semisal dari satu bangsa ke bangsa lainnya, dan karenanya tidak membedakan antara satu mukmin dengan mukmin lainnya seperti shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, haji dan lain-lain. Semua itu dilakukan berdasar mutawatir amali dari nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti para sahabat hingga sampailah pada era sekarang ini. Keseluruhannya tidak berbeda dalam pelaksanaan, baik bangsa barat maupun bangsa timur.
Dalam segi perawian hadits mutawatir, ada sebuah contoh metode yang masih terus dilakukan oleh umat muslim hingga kini. Metode itu biasa disebut dengan musalsal, yaitu meriwayatkan hadits nabi secara mutawatir baik dari segi lafadz, makna dan pengamalannya. Sebagai contoh ialah musalsal bi a’udzubillahi mina asy-syaithoni ar-rajim, musalsal bi al-fatihah, musalsal bil buka’ dan musalsal bil musyabakah.


4.                  Faedah hadits mutawatir

Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan di atas, menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.


B.                 Hadits Ahad

1.                  Pengertian Hadits Ahad

Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’, antara lain:
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir. Ada juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Muhammad Abu Zarhah mendefinisikan hadits ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir. [3]

2.                  Pembagian Hadits Ahad

Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqot, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits farad dan hadits ghorib.

a.                  Hadits Masyhur

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Ibnu Hajar mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang mempunyai jalan terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadits mutawatir.
Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur. Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
                 Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya.

Hadits masyhur terbagi atas

-          Masyhur mutlak yaitu hadits yang terkenal baik di kalangan ahli hadits maupun lainnya semisal:

إنماالاعمل بالنيات

-          Masyhur muqayyad yaitu hadits yang terkenal antarkalangan ahli hadits saja seperti hadits Anas

قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل وذكوان

Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah apabila telah mencapai ketentuan hadits hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits sahih.
            Hadits masyhur disebut juga dengan hadits mustafidl. Disebutkan bahwa hadits mustafidl ialah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan.

b.                 Hadits Aziz

Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua. Sebagai contoh ialah hadits “laa yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihu min waalidihi wawaladihi wannasi ajma’in”. Diriwayatkan dari Anas oleh dua orang: Qotadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dan dari Abdul Aziz kepada Isma’il bin Alayyah dan Abdul Warits.


c.                   Hadits Ghorib

Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi. Ghorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat.
Hadits ghorib nisbi terjadi apabila penyendiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan ketsiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Di banyak kitab-kitab atau buku-buku yang membahas ilmu hadits dijelaskan bahwa tiga jenis inilah pembagian daripada hadits ahad. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa hadits fard merupakan jenis dari hadits ahad. Namun beberapa lainnya menganggap antara hadits Fard dan Ghorib sama. Yang membedakan hanya dari segi penyebutannya saja. Beberapa ahli hadits mengatakan al-fard mendominasi (al-fard al-mutlaq) sementara ghorib mendominasi (al-fard an-nisbi).
Dalam Minhatul Mughits karangan Hafidz Anas dijelaskan bahwa hadits ghorib terbagi atas dua bagian, mutlak dan nisbi. Mutlak ialah sendirinya hadits sahabat atau tabi’in. Nisbi ialah selain sahabat dan tabi’in.

Hukum Hadits Ahad

Hukum hadits ahad, sebagaimana dikatakan oleh al-hafidz Ibnu Hajar menurut jumhur ulama ialah dapat diterima dalam artian tidak wajib mengamalkannya. Adapun yang ditolak, yaitu hadits ahad yang tidak memiliki landasan kebenaran atas pembahasan mengenai tingkah rawi selain yang pertama, yaitu mutawatir. Semua mutawatir itu diterima karena dijaminnya kebenaran periwayatannya.
Akan tetapi sesungguhnya wajib mengamalkan sebab diterimanya apabila menemukan di dalamnya sifat asal diterima, yaitu ditetapkannya kebenaran periwayat (adil dan terpecaya). Atau asal penolakan yaitu ditetapkannya kebohongan periwayatan, ataupun tidak (yaitu tidak sesuai dengan kriteria asal sifat diterimanya, tidak dengan asal sifat penolakan. Maka hal ini mencakup dengan diterima dan ditolak seperti jeleknya hafalan dan dianggap bodoh).
-          Pertama (diterima) mencakup keyakinan kebenaran riwayat untuk menetapkan kebenaran pengambilannya, maka boleh mengambilnya.
-          Kedua (ditolak) meliputi keyakinan kebohongan cerita. Maka ditolak.
-          Ketiga (ditolak/diterima) apabila menemukan alasan (sifat atau tingkah) yang mencakup satu dari dua jenis kebenaran. Apabila tidak, maka hal ini terhenti. Ketika terjadi penghentian pengamalan, hadits menjadi seperti ditolak. Bukan sebab ditetapkannya sifat penolakan, tetapi karena tidak ditemukannya sifat wajib diterimanya hadits tersebut.

-          Wallahua’lam.




BAB III

PENUTUP

A.                KESIMPULAN

Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya.
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Hadits Masyhur Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir.
Hadits Aziz adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
Hadits Ghorib Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Octoberinsyah, M.Ag, Imam Muhsin, M.Ag dan M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag, Al Hadits, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : 2005).
Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah historis dan Metodologis, PT. Tiara Wacana, (Yogyakarta : 2003).
Mudasir, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, hlm:113
Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79
Syekh Abdul Majid al-Ghouri. Al-Muyassar fi Ulum al-Hadits. Hlm.33, 34, 35, 209. Daar Ibn Katsir, Damaskus, Beirut.
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi ilmi musthalah al-hadits, Andalas Surabaya.




[1] Subhi al-salih, ‘ulum al-hadis wa mustalahuh (Beirut : Dar al-‘ilm li al-malayin, 1977),146.
[2] Ibid, 135.
[3] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, hlm:126

0 comments:

Post a Comment