Wednesday, May 22, 2013

Filsafat Manusia (Sebuah Karya Tulis)

FILSAFAT MANUSIA
Karya Tulis Ini Disusun Guna Melengkapi Tugas Matakuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Rifa'i
Disusun oleh: Sarjoko, Abdul Halim, Salsabila, Rizkiyawati
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM 
UIN SUNAN KALIJAGA 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Filsafat Manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus merefleksikan hakekat atau esensi dari manusia. Filsafat Manusia sering juga disebut sebagai Antropologi Filosofis. Filsafat Manusia memiliki kedudukan yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, epistemologi, kosmologi, dll. Akan tetapi Filsafat Manusia juga memiliki kedudukan yang istimewa, karena semua persoalan filsafat itu berawal dan berakhir tentang pertanyaan mengenai esensi dari manusia, yang merupakan tema utama refleksi Filsafat Manusia.
B.     Tujuan
1.      Memahami pengertian dan ruang lingkup Filsafat Manusia.
2.      Memahami hakekat Manusia
3.      Memahami ciri-ciri Filsafat Manusia
4.      Memahami esensi Manusia
C.     Rumusan Makalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Filsafat Manusia?
2.      Apa yang dimaksud dengan Hakekat Manusia?
3.      Apa saja yang termasuk ciri-ciri Filsafat Manusia?
4.      Apa yang dimaksud dengan Esensi Manusia?


BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat Manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus merefleksikan hakekat atau esensi dari manusia. Filsafat Manusia sering juga disebut sebagai Antropologi Filosofis. Filsafat Manusia memiliki kedudukan yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, epistemologi, kosmologi, dll. Akan tetapi Filsafat Manusia juga memiliki kedudukan yang istimewa, karena semua persoalan filsafat itu berawal dan berakhir tentang pertanyaan mengenai esensi dari manusia, yang merupakan tema utama refleksi Filsafat Manusia.
Manusia secara bahasa disebut juga insan, yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata ‘nasiya’ yang berarti lupa. Dan jika dilihat dari kata dasar ‘al-uns’ yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia memiliki cara keberadaan yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir, dan berfikir tersebut yang menentukan manusia pada hakekat manusia.
A.      PANDANGAN FILSAFAT MANUSIA MENURUT BEBERAPA AHLI
Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif. Ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik, pernyataan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli makhluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Dalam bermain manusia memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permainan dalam sejarahnya juga digunakan untuk memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritual suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya. Binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya, sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya dan keturunannya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi menurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupakan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , akan tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam,1999)
B.       FILSAFAT SEBAGAI ILMU TENTANG KEHIDUPAN MANUSIA
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama.
Dalam makalah ini akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan lebih kritis.
Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia.
Ketiga unsur pembentuk itu antara lain:
I.  Pengetahuan Manusia Tentang Diri Sendiri Dan Lingkungannya
II. Manusia Dalam Hubungannya Dengan Hidup Komunitas
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
I.         Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi.
Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya. Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang.
Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri. Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif.
Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya.
Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.
II.      Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama.
Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan bersama itu setiap individu saling berinteraksi atau bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi. Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap individu. Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam diri setiap individu.
C.       HAKEKAT MANUSIA
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Bagian Esensi dan Eksistensi Manusia
No
Eksistensi manusia
Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)
Basic Human Values (Basic Islamic Values)
Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
1
Al Insan
Rasa ingin tahu
Intelektual
Intelektual
2
Al Basyar
Rasa lapar, haus, dingin
Biologis
Biologis
3
Abdullah
Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada tuhan
Spiritual
Spiritual
4
An-Nas
Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian
Sosial
Sosial
5
Khalifah fil ardli
Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan
Estetika
Estetika
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.




Esensi Manusia Menurut Sejumlah Aliran dalam Filsafat
Di dalam filsafat manusia terdapat beberapa aliran. Tiap-tiap aliran memiliki pandangan tentang hakikat atau esensi manusia yang berbeda-beda. Dari sekian banyak aliran, terdapat dua aliran tertua dan terbesar, yaitu materialisme dan idealisme. Sedangkan aliran-aliran lain, pada prinsipnya merupakan reaksi yang berkembang kemudian terhadap kedua aliran tersebut.
1.        Materialisme
Materialisme adalah paham filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan (res extansa), dan bersifat objektif. Karena menempati ruang dan waktu serta bersifat objektif, maka ia bisa diukur, dikuantifikasikan (dihitung), dan diobservasi.
Para materialis mempercayai bahwa tidak ada kekuatan apa pun bersifat spiritual dibalik suatu gejala atau peristiwa yang bersifat material. Kalau ada suatu gejala yang masih belum diketahui, atau belum dipecahkan oleh akal manusia, maka hal itu bukan berarti ada kekuatan yang bersifat spiritual dibelakang peristiwa tersebut, melainkan karena pengetahuan dan akal fikiran kita saja yang belum dapat memahaminya. Penjelasan tentang gejala tersebut tidak perlu dicari dalam dunia spritual, karena tidak ada yang namanya dunia spiritual. Penejalasan  tersebut harus berdasarkan pada data-data yang bersifat inderawi.
Jenis lain dari materialisme adalah naturalisme. Dikatakan naturalisme, karena isitilah materi diganti dengan istilah alam (nature) atau organisme. Materialisme atau naturalisme percaya bahwa setiap gejala dan setiap gerak dapat dijelaskan menurut hukum stimulus-respon. Contoh tindakan agresif yang dilakukan oleh manusia tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan respons dari bagian-bagian tertentu didalam syaraf pusat manusia terhadap stimulus tertentu, sehingga tanpa dibendung, ia mampu melakukan tindakan agresif.
Karena sangat percayapada hukum kausalitas, maka kaum materialis pada umumnya sangat deterministik. Mereka tidak mengakui adanya kebebasan atau independensi manusia. Seorang materialis sangat yakin bahwa tidak ada gerak atau perilaku yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Gerak selalu bersifat mekanis, digerakan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya (eksternal). Oleh sebab itu, metafor yang digunakan oleh materialisme untuk menjelaskan gerak atau perilaku adalah mesin, dan benda-benda lain yang bersifat mekanis.
Ilmu-ilmu alam – seperti fisika, biologi, kimia, kedokteran – adalah suatu bentuk dari materialisme atau naturalisme, jika beransumsi bahwa esensi alam semesta (termasuk manusia) dan objek kajian ilmu-ilmu alam sepenuhnya bersifat material, sehingga bisa dijelaskan secara kausal dan mekanis. Akan tetapi, ilmu-ilmu manusia seperti psikologi dan sosiologi pun adalah materialisme, jika memiliki asumsi bahwa objek kajianya (yakni, perilaku manusia) adalah materi yang menempati ruang dan waktu, bisa diukur dan dikuantifikasikan dan bergerak (berperilaku) secara kausal.
2.        Idealisme
Kebalikan dari materialisme adalah idealisme. Menurut aliran ini, kenyataan sejati adalah bersifat spiritual (oleh sebab itu, aliran ini sering disebut juga spiritualisme). Para idealis percaya bahwa ada kekuatan atau kenyataan spiritual dibelakang setiap penampakan atau kejadian. Esensi dari kenyataan spiritual dibelakang setiap penampakan atau kejadian. Esensi dari kenyataan spiritual ini adalah berpikir (res cogitans). Karena kekuatan atau kenyataan spiritual tidak bisa diukur atau dijelaskan berdasarkan pada pengamatan empiris, maka kita hanya bisa menggunakan metafor-metafor kesadaran manusia.
Dengan diakuinya kenyataan sejati sebagai bersifat spiritual, tidak berarti bahwa idealis menolak kekuatan-kekuatan yang bersifat fisik (material) dan menolak adanya hukum alam. Sebagaimana dikemukakan oleh Hegel (1770-1831) kekuatan fisik dan hukum alam itu memang ada, tetapi keberadaanya merupakan manifestasi dari kekuatan atau kenyataan yang sejati dan lebih tinggi, yakni Roh Absolut. Seperti halnya kebudayaan dan kesenian merupakan manifestasi lahiriah dari jiwa manusia, alam fisik pun adalah manifestasi lahiriah dari kenyataan yang sejati yakni Roh Absolut atau Tuhan. Para idealis percaya adanya gerak pada setiap planet dan adanya hukum alam, tetapi baik gerak planet-planet maupun hukum alam, sudah didesain terlebih dahulu oleh kekutan spiritual.
Jika kenyataan pada dasarnya bersifat spiritual atau nonfisik, maka hal-hal yang bersifat ideal dan normatif, seperti agama, hukum, nilai, cita-cita atau ide, memegang peran penting dalam kehidupan. Hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta agama dan nilai dalam kehidupan sosial dan pribadi, merupakan norma-norma yang menggerakkan perilaku manusia dan masyarakat manusia. Norma-norma atau nilai-nilai tersebut adalah panduan dan sekaligus sasaran kearah mana manusia hendak menuju atau kearah mana perilaku manusia diarahkan untuk mewujudkannya.
Jika perilaku manusia diarahkan pada nilai-nilai atau norma-norma, maka hidup manusia adalah bertujuan (teleologis), yakni hendak menggapai dan sekaligus mengaktualisasikan nilai, norma, atau hukum. Perilaku manusia mengandung maksud dan tujuan, bukan semata-mata bergerak secara mekanis. Penggerak utama perilaku bukan kekuatan eksternal, melainkan internal, yakni jiwa, yang hendak mewujudkan dirinya dalam menggapai nilai-nilai pribadinya dan norma-norma atau hukum-hukum masyarakat dan agamanya.
3.        Dualisme
Menurut aliran dualisme, kenyataan sejati pada dasarnya adalah baik bersifat fisik maupun spiritual. Semua hal dan kejadian di alam semesta ini pada dasarnya tidak bisa diasalkan hanya pada satu substansi atau esensi saja. Esensi kenyataan tidak bersifat fisik material, karena pada dasarnya kejadian didunia ini yang tidak bisa dijelaskan  dengan ilmu alam atau pancaindra. Esensi kenyataan juga bukan berarti roh atau jiwa, karena siapapun tidak bisa menyangkal keberadaan dan kekuatan yang nyata dari materi. Yang benar adalah bahwa kenyataan sejati merupakan perpaduan antara materi dan roh.
     Manusia terdiri dari dua substansi, yakni materi dan roh, atau tubuh dan jiwa. Menurut Descartes (1596-1650), tubuh adalah substansi yang cirinya adalah berkeluasan (res extensa), menempati ruang dan waktu. Karena ciri dari tubuh adalah res extensa, maka siapapun bisa mengamati, menyentuh dan mengukur. Ini berarti bahwa materi atau tubuh itu ada dan tidak bisa ditolak. Akan tetapi, dengan diakuinya keberadaan tubuh bukan berarti menolak keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa, meski tidak bisa diamati secara inderawi, tetapi bisa dibuktikan secara rasio (pikiran). Menurut Descartes, keberadaan jiwa karakteristiknya adalah res cogitans (berfikir) justru lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan keberadaan tubuh. Untuk membuktikannya maka perlu berfikir secara skeptis, misalnya meragukan keberadaan apa saja yang bersifat fisik (computer, kekasih yang berada disamping kita dan keberadaan tubuh kita sendiri). Semua itu bisa diragukan keberadaannya atau hanya halusinasi kita, hanya dalam  mimpi dan bukan kenyataan yang sebenarnya. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak bisa diragukan keberadaannya, yaitu “aku” yang sedang meragukan atau sedang berfikir. Descartes menyebutnya “Cogito ergo sum”- “aku berfikir (meragukan), maka aku ada.
4.        Vitalisme
Vitalisme adalah paham didalam filsafat yang beranggapan bahwa kenyataan sejati pada dasarnya adalah energi, daya, kekuatan atau nafsu yang bersifat irrasional (tidak rasional). Vitalisme percaya bahwa seluruh aktivitas atau perilaku manusia pada dasarnya merupakan perwujudan dari energy-energi atau kekuatan yang tidak rasional atau instingtif. Acuan utama vitalisme adalah ilmu biologi dan sejarah. Biologi mengajarkan bagaimana kehidupan ditentukan bukan oleh rasio, melainkan oleh kekuatan untuk bertahan hidup (survive) yang sifatnya tidak rasional dan instingtif. Agar organisme tetap bisa bertahan hidup, maka tidak ada dan tidak diperlukan pertimbangan rasional, melainkan naluri untuk mempertahankan hidup. Tingkah laku hewan dan semua jenis organism termasuk manusia, menunjukkan bagaimana energy yang bersifat instingtif tersebut sangat menentukan tingkah lakunya.  Hewan dan manusia melalui kehendaknya yang tidak rasional dan liar , justru lebih bisa mempertahankan hidupnya daripada menggunakan pikiran yang rasional.
5.        Eksistensialisme
Eksistensialisme ini tidak membahas esensi manusia secara abstrak, melainkan secara spesifik meneliti kenyataan kongkret manusia sebagaimana manusia itu sendiri berada dalam dunianya. Eksistensialisme tidak mencari esensi atau substansi yang ada dibalik penampakan manusia, melainkan hendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri.
     Istilah eksistensi berasal dari kata existere (eks = keluar, sister = ada atau berada). Dengan demikian, eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang melampaui dirinya sendiri”. Dalam kenyataan hidu sehari-hari tidak ada sesuatupun yang mempunyai ciri existere selain manusia. hanya manusia yang bereksistensi. Hanya manausia yang sanggup keluar dari dirinya, melampaui keterbatasan biologis dan lingkungan fisiknya. Oleh karena itu, para eksistensialis menyebut manusia sebagai suatu proses, “menjadi”, gerak yang aktif dan dinamis.
6.        Strukturalisme
Strukturalisme dapat diartikan sebagai aliran dalam filsafat yang menempatkan struktur (sistem) bahasa dan nudaya sebagai kekuatan-kekuatan yang menetukan perilaku dan bahkan kesadaran manusia. Berbeda dengan pandangan eksistensialisme, para strukturalis meyakini bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak bebas, yang terstruktur oleh sistem bahasa dan budayanya. Tidak ada perilaku, pola piker dan kesadaran manusia yang bersifat individual dan unik yang bebas dari sistem bahasa dan budaya yang mengungkapkannya.
Artinya aliran ini secara tegas menolak humanisme, menolak pandangan tentang kebebasan dan keluhuran (keagungan) manusia. strukturalisme juga tidak mengakui adanya “ego”, “aku”  atau “kesadaran”. Aliran ini berpendapat bahwa “aku” atau manusia bukanlah pusat realitas. Makna dan keberadaaan manusia pada dasarnya tidak tergantung pada diri manusia itu sendiri, melainkan pada kedudukan dan fungsinya dalam sistem.
7.        Posmodernisme
Aliran posmodernisme ini hampir sama dengan strukturalisme. Kedua ailiran ini bolrh disebut anti humanism, jika humanisme dipahami sebagai pengakuan atas keberadaan dan didominasi “aku” yang terlepas dari sistem atau kondisi yang mengitari hidupnya. Akan tetapi berbeda dengan posmodernisme yang membahas tentang aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan actual. Posmodernisme menentang bukan hanya “aku” yang seolah-olah  bebas dan mampu  melepaskan diri dari sistem sosial budayanya, tetapi juga menafikkan dominasi sitem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi bahkan arsitektur. Menurut pandangan posmodernisme, telah terjadi dominasi atau “kolonilisasi yang halus dan diam-diam” dalam semua aspek kehidupan manusia. misalnya : dominasi nilai kesenian barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian yang berasal dari bangsa timur atau Negara berkembang. The one identik dengan kebudayaan barat dan the plural dengan kebudayaan timur.  Akibat dari pandangan yang demikian maka ada penghargaan terhadap budaya-budaya lokal atau terhadap sistem budaya yang dianggap penting. Menurut para posmodernisme, the plural harus diperhatikan, di ungkap ke permukaan karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai-nilai yang terkandung dalam the One. (Filsafat Manusia, Zainal Abidin, Rosda Bandung 2011 hal. 25-36)


Manusia  mengetahui dirinya dan dunianya
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya. Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif. Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan
yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.


Kedudukan dan Peran Manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah (kedudukan ketuhanan), an-nas (kedudukan antar manusia), al insan (kedudukan antar alam), al basyar (peran sebagai manusia biasa) dan khalifah (peran sebagai pemimpin).
Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah di muka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia di sini harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, di mana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
Tiga Rantai Kehidupan
Kedudulan manusia selain ditinjau dari diri manusia sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah, juga ditinjau dari tiga aspek simbiolis atau hubungan. Hubungan itu berdasar kepada hubungan kepada Tuhan, kepada manusia dan juga alam. Ketiga hubungan ini harus mampu diperankan dengan baik oleh seorang manusia agar mampu menjadi seorang manusia ‘sempurna’.
a.Hubungan kepada Tuhan (Manusia sebagai Hamba)
Dalam kondisi sosial tertentu, tidak sedikit manusia yang melupakan faktor ketuhanan sehingga mereka menjadi ateis. Utamanya bagi penganut materialisme yang mempercayai bahwa segala sesuatu berasal dari benda. Tidak ada unsur spiritual yang membuat benda itu tercipta. Hal ini bertolak belakang dengan ajaran agama-agama di dunia yang mengatakan sumber segala sumber ialah Tuhan.
Temuan sejarah mengenai ilmu relativitas membuktikan tidak adanya gerak atau benda yang absolut. Jika banyak orang menyebut Einsten sebagai penemu teori relativitas, bagaimana dengan fakta bahwa Al-Kindi –ilmuwan Muslim abad ke 9- sudah menyinggung teori yang dipaparkan Albert Einsten 1.100 tahun setelahnya? Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif. Relativitas, kata dia, adalah esensi dari hukum eksistensi. “Waktu, ruang, gerakan, benda semuanya relatif dan tak absolut,” cetus Al-Kindi. Namun, ilmuwan Barat seperti Galileo, Descartes dan Newton menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut. Hanya Einstein yang sepaham dengan Al-Kindi.
"Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda, dengan gerakan; gerakan, dengan benda,” papar Al-Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi berkata,” ... jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan.” Pernyataan Al-Kindi itu menegaskan bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain. Mereka tak independen dan tak juga absolut.
Gagasan yang dilontarkan Al-Kindi itu sangat sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas umum.  "Sebelum  teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu adalah absolute,” papar Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, kenyataannya pendapat yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes dan Newton itu  tak sesuai dengan definisi waktu yang sebenarnya.
Menurut Al-Kindi,  benda, waktu, gerakan dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga  ke obyek lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein.
Dalam  Al-Falsafa al-Ula, Al-Kindi mencontohkan seseorang yang melihat sebuah obyek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas langit , dia  melihat pohon-pohon lebih kecil, jika dia  bergerak ke bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar.
“Kita tak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi kita dapat mengatakan itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada obyek yang lain,”  tutur Al-Kindi.  (Republika.co.id)
Tuhan diwujudkan sebagai objek pengabdian makhluk di dalam agama. Sebagai orang yang percaya adanya Tuhan, mansia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan-Nya melalui ajaran spiritual kepercayaan masing-masing yang dianut. Antara satu agama dengan yang lain ternyata mempunyai kesamaan di tiga tititk simbiolis tersebut di atas. Islam, Kristen, Katolik. Hindu, Budha dan Konghucu sebagai agama yang dibenarkan di dalam Indonesia masing-masing memiliki metode tersendiri. Dalam hal ketuhanan setiap agama memiliki penyembahan yang berbeda-beda.
Agama, apapun itu pasti mengajarkan hubungan kepada Tuhan sebagai hubungan yang dinomor-satukan. Ini tidak berarti mengutamakan hubungan ketuhanan dan memandang remeh hubungan-hubungan yang lain. Namun ketiga hubungan sebagai manusia perlu dijalankan secara bersamaan. Hanya saja hubungan kepada Tuhan hendaknya dijadikan patokan untuk berhubungan dengan dua yang lain. Dengan cara selalu ingat bahwa manusia dan alam merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai manusia perlu adanya interaksi kepada semua makhluk agar kearifan kehidupan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
b. Hubungan Antar Manusia. (Manusia sebagai makhluk sosial)
Hubungan lain yang harus dijalankan manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial ialah hubungan antarmanusia itu sendiri. Setelah membahas mengenai hubungan kepada Tuhan, pasti menimbulkan perbedaan pendapat antar satu golongan dengan golongan yang lain. Tuhan yang dibahasakan secara berbeda oleh masing-masing keyakinan bisa menjadi sumber perpecahan apabila tidak dipahami secara kemanusiaan. Bahwa setiap manusia itu berbeda-beda, pilihan keagamaan merupakan jalan pribadi yang tidak dapat diganggu gugat keabsahannya.
Munculnya gerakan sparatis menggunakan atribut agama menjadi contoh bagaimana oknum manusia mengedepankan ego pribadi dibanding kepentingan masyarakat luas. Hal ini menjadi ironi apabila pergerakan itu semakin melebarkan sayapnya dan semakin disalahpahami oleh masyarakat luas. Pengatasnamaan negara merupakan wujud dari mispersepsi kehidupan keberagaman yang menjadi simbol perpecahan umat.
Perlu dibangun sebuah peradaban manusia yang benar-benar memahami nilai-nilai keberagaman. Manusia kepada manusia tidak diartikan dengan monoisme teologi yang tidak mungkin dicapai kesepakatan apabila benar-benar digencarkan. Apakah oknum-oknum tersebut melupakan satu hal bahwa ada faktor lain yang bisa merubah jalan hidup manusia? Faktor itulah yang dijadikan oleh Tuhan sebagai ujian kepada makhluk-Nya dan benar-benar menjadi rahasia serta hak preogratifnya.
Semua orang boleh mengklaim dirinya lebih baik dibanding yang lain. Namun itu terbatas pada tataran keyakinan yang tidak harus diungkapkan dengan gerakan-gerakan yang justru membuat hubungan antarmanusia menjadi terhalang. Merasa lebih baik merupakan sifat manusiawi yang tidak dapat dihilangkan, namun dapat dikendalikan dengan pemahaman-pemahaman asas ketuhanan.
c. Hubungan kepada Alam (manusia sebagai makhluk)
Hubungan terpenting lainnya ialah hubungan kepada alam. Alam tidak terjustifikasi sebagai bentuk dari pepohonan, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Namun alam mencakup semua hal, baik alam yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Spiritualisme menjadi aliran yang dominan apabila pembahasan merambah ke alam yang tidak terlihat (ghaib). Di alam ini terdapat makhluk-makhluk lain yang secara penciptaan sejajar dengan manusia dan partikel alam lain, namun memiliki keistimewaan yang berbeda dengan material yang tampak. Perlu pemahaman khusus mengenai alam ini untuk dapat mempercayai dan meneliti keberadaannya. Kepercayaan terhadap hal ghaib ini berpengaruh terdapat hubungan ketuhanan sebab beberapa aliran keagamaan tidak menggambarkan secara detail bagaimana wujud Tuhan sesungguhnya. Dapat disimpulkan hal ini sangat berkaitan dengan keyakinan.
Untuk objek material mungkin tidak perlu menggali lebih dalam. Hanya saja nilai-nilai keberagaman perlu dipupuk agar manusia bisa memahami sisi kehidupan lain selain kehidupan bangsanya. Ada hewan, tumbuh-tumbuhan dan partikel lain yang butuh sentuhan tangan bijak manusia yang berperan sebagai pemimpin. Fungsi manusia sebagai khalifah terlihat menonjol peranannya dalam kehidupan kompleks di dunia antara manusia dan alam.
d. Peran manusia sebagai manusia biasa
Tujuan hidup manusia dari penciptaan hingga kembali kepada dzat yang menciptakan menapaki beberapa tahap. Keterhubungan dan ketersaling-ketergantungan menjadi sistem kehidupan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Konsekuensinya manusia disebut sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Satu orang membutuhkan orang lain. Satu desa membutuhkan desa yang lain. Hingga satu negara membutuhkan negara yang lain untuk merotasi sistem kehidupan sebagai manusia.
Jika ada segolong atau sekelompok manusia yang menyatakan dirinya paling benar, berarti ia mengabaikan prinsip manusia yang saling bergantung. Dalam tiga konsep besar yang melibatkan Tuhan, manusia dan alam di atas, peran manusia tidaklah serta merta menjadi komunitas yang terbaik tanpa dorongan fasilitas dari faktor-faktor lain.
Manusia tidak akan mampu membangun gedung-gedung tinggi tanpa peran besi baja yang diolah menjadi alat-alat berat. Atau jika lebih ke dalam, manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa jaminan tumbuhan dan binatang yang menjadi santapannya.
Maka klasifikasi makhluk dititikberatkan pada data, bukan semerta-merta menjadikan manusia sebagai komunitas terbaik yang boleh melakukan seenaknya kepada bagian makhluk yang lain. Karena kesewenang-wenangan ini menjadikan gagalnya manusia dalam menjalai perannya sebagai khalifah (pemimpin).
e. Peran manusia sebagai khalifah
Tidak perlu dipertanyakan lagi ketika seseorang mengatakan manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna (menurut aliran filsafat Idealisme/ spiritualisme). Sehingga kesempurnaan itu dituntut untuk dapat digunakan sebagai alat kepemimpinan manusia atas bagian-bagian alam yang lain. Baik atau rusaknya alam merupakan dampak dari kepemimpinan manusia.
Sebagai pemimpin di muka bumi, manusia diajarkan bagaimana cara memimpin yang baik. Lagi-lagi kembali kepada tiga konsep besar di atas. Dari Tuhan manusia memiliki kekuatan dan pengetahuan yang jika diimplementasikan terhadap kata ‘manusia sebagai khalifah’ akan menjadi sangat ideal. Karena hanya manusialah makhluk yang memiliki akal dan nurani yang masing-masing menjadi pengontrol bagian lainnya. Dengan akal manusia mengonsep, dan dengan nurani manusia dapat membenarkan tindakannya. Begitu pula, jika nurani terlalu berhati-hati sementara perlu dilakukannya suatu hal yang cepat, maka akal akan bertindak dengan memperhitungkan berbagai konsekuensi-konsekuensi.
Maka sangatlah lengkap hardwere maupun softwere manusia untuk memenuhi kriteria sebagai pemimpin alam. Dan nyatanya saat ini kerusakan di alam merupakan buah manusia yang gagal menjalankan perannya, baik peran sebagai basyar maupun khalifah. Jika ditinjau lebih jauh, konsep hubungan kepada Tuhan, manusia dan alam juga tidak diperhatikan oleh manusia kini.


Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan ke laut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri, maka kembali kepada pencipta dalam bentuk imateri sedangkan unsur materi yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal baik. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Mengenai hal ini tidak hanya satu agama ataupun satu aliran filsafat yang mengajarkan teori manusia mulai dari terciptanya manusia hingga ke mana akhirnya kelak. Jika spiritualisme mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan kelak kembali kepada-Nya, berbeda dengan pandangan materialis yang mengatakan manusia dan juga partikel alam lain terjadi secara kebetulan. Jika mati, siklus kehidupan manusia berakhir di situ sebab mereka tidak percaya adanya kekuatan mahaabsolut bernama Tuhan. Beberapa yakin bahwa jiwa/ruh seseorang akan berreinkarnasi di masa mendatang. Si A adalah reinkarnasi dari sosok di masa lalu dan kelak ia berreinkarnasi menjadi sesuatu yang tidak dapat diduga. Bisa saja si A merupakan hasil reinkarnasi dari beruang di masa lalu, dan kelak jika mati ia menjadi seekor kucing atau semut atau bahkan makhluk lainnya.
Di dalam filsafat Islam, proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami, Rabiah al Adawiyah dan yang lain, mereka memiliki ekspresi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan bertemunya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju dzat Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadikan diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
Dalam tataran ilmu tasawuf terdapat tiga tingkatan manusia sebelum benar-benar menjadi insan kamil, atau manusia sempurna. Iman, Islam dan Ihsan dipercaya sebagai konsep yang harus dilewati oleh manusia sebelum benar-benar menjadi manusia sempurna itu tadi. Apakah ketiganya meninggalkan unsur keberagaman dan memicu gerakan monoisme agama? Jawabannya tidak.
Iman sebagai keyakinan merupakan landasan yang hakiki terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Peran iman dalam membentuk karakter seseorang sangatlah berpengaruh. Semisal dalam tradisi Budha yang melarang memakan segala sesuatu yang bernyawa, mereka akan benar-benar menghindari hal-hal yang telah diajarkan tersebut. Dalam ajaran Hindu yang mensucikan sosok sapi, dan kristen domba, mereka akan menghindari untuk mengonsumsi apa-apa yang telah dilarang oleh agama masing-masing. Dan ini yang disebut sebagai hubungan dengan Tuhan.
Islam mewakili pandangan dari sudut pandang agama, bahwa ajaran-ajaran Islam membawa kepada kebaikan baik secara vertikal (dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dan alam). Posisi ini ditunjang dengan keberadaan konsep ihsan yang semakin membuat manusia memahami antara satu dengan yang lain sehingga terciptalah kesempurnaan sebagai hamba, makhluk sosial dan juga sesama makhluk di muka bumi.


Pengembangan Manusia sebagai Makhluk Individu
Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk seperti disebut di atas harus dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia mempunyai arti hidup secara layak jika berada di antara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lain atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Guna meningkatkan kualitas hidup, manusia memerlukan pendidikan, baik pendidikan formal, informal maupun non-formal. Dalam kenyataannya, manusia menunjukan bahwa pendidikan merupakan pembimbing diri sudah berlangsung sejak zaman primitif. Kegiatan pendidikan terjadi dalam hubungan orangtua dan anak.
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi atau kelompok, manusia harus memiliki kesadaran diri yang dimulai dari kesadaran pribadi di antara segala kesadaran terhadap segala sesuatu. Kesadaran diri tersebut meliputi kesadaran diri di antara realita, self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisation. Sebagai makhluk individu, manusia memerlukan pola tingkah laku yang bukan merupakan tindakan instingtif belaka. Manusia yang biasa dikenal dengan Homo Sapiens memiliki akal pikiran yang dapat digunakan untuk berpikir dan berlaku bijaksana. Dengan akal tersebut, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya seperti karya, cipta, dan karsa. Dengan pengembangan potensi-potensi yang ada, manusia mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya yaitu makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Perkembangan manusia secara perorangan pun melalui tahap-tahap yang memakan waktu puluhan atau bahkan belasan tahun untuk menjadi dewasa. Upaya pendidikan sangat membantu dalam menjadikan manusia semakin berkembang. Perkembangan keindividualan tersebut memungkinkan seseorang untuk mengembangkan setiap potensi yang ada pada dirinya secara optimal. Sebagai makhluk individu manusia mempunyai suatu potensi yang akan berkembang jika disertai dengan pendidikan. Melalui pendidikan, manusia dapat menggali dan mengoptimalkan segala potensi yang ada pada dirinya. Melalui pendidikan pula manusia dapat mengembangkan ide-ide yang ada dalam pikirannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia itu   sendiri.
Al-Qur’an dalam kaitannya terhadap perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok.
Pertama, tujuan.
1.      Akidah atau kepercayaan yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain kitab-kitab suci, malaikat, dan para nabi, serta (c) hari kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
2.      Budi pekerti yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab dan lain-lain.
3.      Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, diri manusia dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut di atas diusahakan pencapaiannya oleh Al-Qur’an melalui empat cara:
1.      Mengajukan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya agar manusia –melalui perhatiannya tersebut- mendapat manfaat berganda: (a) menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
2.      Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
3.      Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya tertulis dalam teks suci Al-Qur’an).
4.      Janji dan ancaman baik di dunia (yakni keputusan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga dan neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang tertulis dalam teks suci Al-Qur’an seperti tersebut di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Qur’an seperti yang pada garis besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok.
1.      Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra Arab
2.      Ilmu pengetahuan (sains) dari berbagai disiplin yang diisyaratkan
3.      Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian besar telah terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Qur’an seperti yang dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an berbicara mengenai ilmu pengetahuan. Kitab suci itu juga berbicara tentang filsafat dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang diperselisihkan (QS 2:213).
Wallahua’lam.


BAB III
PENUTUP


Demikian kajian sederhana mengenai filsafat manusia yang kami rangkum dalam sebuah karya tulis. Pembahasan di dalamnya tentu masih memiliki banyak kekurangan, sebab keterbatasan pengetahuan kami dalam membahas lebih jauh mengenai filsafat manusia ini. Untuk mendalami kajiannya, ada baiknya dimulai dari diri masing-masing. Selain sebagai sumber observasi, hal ini membantu untuk menambah ilmu pengetahuan, utamanya mengenai esensi manusia dari sudut keilmuan.
Dalam tulisan ini ada beberapa dasar pengetahuan dan gagasan yang diambil dari tokoh ahli dakwah. Hal ini bukan bermaksud membubuhi kesan “islami” dalam tulisan ini, melainkan hanya berorientasi terhadap ilustrasi yang membuat tulisan sederhana ini mudah dipahami.
Akhir kata, semoga apa yang telah kami bahas bisa menambah pengetahuan penulis maupun pembaca dan mendapat ridlo dari-Nya, amin. Wallahu muwafiq ila aqwam at-thariq.




DAFTAR PUSTAKA


 Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Mengenal Manusia dengan Filsafat PT Rosda Remaja, 2006, Bandung)

K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2005, Jakarta

 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia Pustaka Utama, 1999, Jakarta

Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)

halimsani.wordpress.com,

republika.co.id

adivancha.blogdpot.com





TENTANG PENULIS



Sarjoko biasa menulis namanya dengan Cucu Kertadirana Kaliwangsa, lahir di Kebumen, 10 Februari 1993. Sejak 1995 ia diajak orang tuanya transmigrasi ke kabupaten Siak provinsi Riau. Pemuda yang hobi berkelana ini memiliki babyface sehingga sulit mendeteksi usianya yang hampir mencapai kepala dua. Penggemar tim sepak bola Manchester United ini menamatkan pendidikannya di MA Mathali’ul Falah Pati sebelum memilih Komunikasi dan Penyiaran Islam fakultas Dakwah sebagai pilihan pertama kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Filsafat baginya merupakan bagian integral dalam kehidupan sehari-hari.

Kontak bisa hubungi FB: Cucu Kertadirana Kaliwangsa Twitter: @jejakpelamun


Abdul Halim Meidy lahir di Bandar Lampung, 19 Mei 1994. Walau lahir di Lampung, ia beserta keluarganya bermigrasi ke Palembang, Sumatra Selatan. Remaja tambun ini sangat menggemari Manga, sehingga hari-harinya banyak dihabiskan untuk membaca serial Manga. Sebelum di UIN Sunan Kalijaga, Halim mengenyam pendidikannya di SMK Pembangunan Pacitan jurusan Teknik Komputer dan Jaringan.  Menurutnya mata kuliah Filsafat Ilmu begitu menantang dan berat di otak. Tapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk mempelajari teori-teori filsafat.

Untuk berkomunikasi dengannya bisa FB: Abd. H-lim M’dy/twitter: @H-lim2dy


Salsabila Khoirun Nisa, ABG kelahiran Jakarta 26 Oktober 1995 ini merupakan salah satu mahasiswa baru termuda di UIN Sunan Kalijaga 2012/2013. Usia muda tidak menghalanginya untuk berbaur dengan teman-teman yang usianya lebih tua. Dara yang hobinya dengerin musik dan travelling ini menamatkan pendidikan SMK-nya di SMKN 3 Madiun jurusan Kimia Industri. Pandangannya tentang Filsafat Ilmu secara umum menyenangkan.  Namun ia menyarankan untuk ke depannya sistem belajar lebih disetting agar suasana belajar menjadi lebih kondusif.


FB: Salsabila Khoirun Nisa
Twitter: @siitobil26


Rizqiyawati, mahasiswi kelahiran 29 Desember 1992 ini seakan terlahir sebagai orang filsafat. Menghitung merupakan hal terpenting dalam hidupnya, yang membuat ia gemar berinteraksi dengan ilmu logika. Selain itu, Rizqi yang menamatkan pendidikan MA-nya di MA Zainul Hasan Probolinggo Jawa Timur ini jago mendeteksi jenis makanan berkat hobinya sebagai penikmat kuliner. Filsafat menurutnya sangat berkesan karena membuat semangat dalam belajar.


FB: Rizqy Choleh

Twitter: @cholhrizqyei.com

1 comment: