Saturday, June 1, 2013

Memahami Indonesia sebagai Kesatuan

Lamunan 4



Kesuksesan Indonesia sebagai “bangsa”, dalam pengertian keberhasilannya muncul di antara bangsa-bangsa di dunia, tidak dapat dipandang sebagai hal biasa. Kesuksesan itu didahului dengan perjuangan panjang sehingga banyak menuntut pengorbanan.
"Keanekaragaman budaya itu dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari sisi lain adalah kerawanan"
Pada mulanya terdapat berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia Tenggara, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil. Hubungan antar pulau tidak selalu mudah, sehingga masing-masing pulau sedikit-banyak terisolasi satu dari yang lain, suatu kenyataan yang mendorong tumbuhnya ciri-ciri kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan yang terpisah-pisah. Bahkan dalam lingkungan pulau-pulau besar pun, pola kesukuan dan kebudayaan yang berbeda-beda terdorong muncul dengan sifat khas masing-masing menurut lingkungannya, dikarenakan keadaan geografis dan topografisnya yang menyebabkan terbentuknya wilayah-wilayah yang terpisah satu dari lainnya.
Keanekaragaman budaya itu dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui penyuburan silang budaya (cross-cultural fertilization). Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu Asia Tenggara selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar.
Usaha penyatuan Nusantara dengan kekuasaan politik tunggal pernah beberapa kali terjadi, seperti oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Hasil penyatuan itu lebih luas daripada Indonesia saat ini, karena mencakup pula wilayah luar Sabang-Marauke, seperti Semenanjung Melayu, Formusa dan Madagaskar. Penyatuan wilayah Asia Tenggara yang kini dikenal sebagai “Indonesia” adalah kelanjutan dari wilayah kekuasaan penjajahan Belanda. Wilayah itu dikenal sebagai “Hindia Belanda” atau “Hindia Timur Belanda” (Dutch East Indies). Tetapi “Indonesia” sebagai bangsa tidaklah dibentuk oleh Belanda atau pemerintah penjajah, melainkan justru oleh semangat perlawanan terhadap penjajah itu.
Mulai Sabang sampai Merauke bergejolak menuntut kemerdekaan. 1.128 suku yang tersebar di 17.000 pulau melakukan perlawanan agresif terhadap kolonial Belanda dan penjajah-penjajah lain yang silih berganti datang mengeruk hasil alam negara ini. Perbedaan bahasa, warna kulit, budaya dan agama tidak lagi dijadikan alasan sebagai pintu perpecahan. Justru semangat Bhineka Tunggal Ika yang tercetus di era Majapahit kembali bergelora. Hasilnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, menjadi sebuah negara kesatuan, Republik Indonesia. Ini bagian dari hakikat kebangsaan yang perlu dipahami secara lebih baik.


Pluralisme sebagai Media Pemersatu

Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana cara Indonesia yang memiliki 17.000 pulau berpenduduk 240 juta jiwa dan di dalamnya terdapat 1.128 suku tetap eksis sebagai negara sejak mengumumkan kemerdekaannya? Terlebih ada 6 agama ‘resmi’ yang diakui.
Konsep keagamaan  tampaknya bukan lagi sebagai perkara yang bisa dibesar-besarkan dalam kehidupan bernegara masyarakat Indonesia. Agama lebih dispesifikan sebagai keyakinan pribadi daripada dijadikan sebagai dasar hukum. Jika dulu sentimen agama begitu kuat melatar-belakangi pandangan masyarakat terhadap sesuatu, kini masyarakat lebih dewasa dalam memahami keberagaman di Indonesia. Sebagai contoh, di Jakarta tidak lagi melihat agama sebagai latar belakang seseorang. Walau beberapa kalangan meluncurkan pernyataan berbau SARA kepada pasangan Jokowi-Ahok, masyarakat Jakarta bersikap fair terhadap pemilihan wali kota itu. Hasilnya Jokowi-Ahok, pasangan silang agama memenangkan pemilu. Jika dulu partai-partai berbasis agama menjadi pesaing terkuat partai pemerintah, kini partai agama khususnya Islam tidak lagi memiliki basis yang besar. Kebanyakan hanya mendapat maksimal 5-10% dari total seluruh suara. Sebuah catatan yang semakin meneguhkan bahwa agama bukan lagi dijadikan sebagai media fanatisme.
Entosentrisme agaknya menjadi bagian lain yang terlupakan saat masyarakat membicarakan Indonesia. Asmat, Kubu, Jawa, Madura dan lainnya hanya dijadikan sebagai identitas pribadi yang tidak dapat memecah-belah bangsa Indonesia. Di wilayahnya, kesukuan memang dijadikan sebagai identitas mutlak. Beberapa suku yang terlibat konflik -misal Madura-Sampit- mengharamkan lawannya itu menyentuh barang sejengkal wilayah sukunya. Namun itu sifatnya minoritas dan dapat ditolerir. Konflik semacam itu biasa terjadi dengan berbagai modus yang tidak dapat dihindari. Terlebih kebanyakan semacam ini merupakan propaganda dari oknum suku yang masih kental dengan pemahaman entis yang dijadikan sebagai jati diri mutlak.
Cara mudah untuk menyatukan bangsa Indonesia ialah memberi pemahaman mengenai arti kebangsaan yang telah dibangun selama berabad-abad. Bahwa Indonesia merupakan bangsa majemuk, bangsa plural yang tidak mungkin disatukan suku, budaya atau agamanya. Pahami pluralisme sebagai pilar kebangsaan agar kehidupan harmonis.
Bhineka Tunggal Ika dan ikrar sumpah pemuda harus dijaga baik di bawah ideologi Pancasila yang merupakan supremasi hukum tertinggi di NKRI. Keenam agama pun tidak ada yang menyalahkan ideologi kenegaraan ini. Akan tetapi kini muncul beberapa kelompok/aliran yang mengancam keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Mereka berani menginjak-injak lambang negara dan menyalahkan pancasila sebagai ideologi kenegaraan. Kelompok tersebut menggunakan agama sebagai ‘pokok perjuangannya’. Padahal hakikatnya tidak ada satu pun agama yang bersikap anti-toleran dalam melangsungi kehidupan umat manusia. Jika seperti ini, tugas pemerintahlah yang menyikapinya. 

Identitas Manusia Indonesia sebagai Pemersatu Nasionalisme Indonesia

Menyebut Indonesia, orang akan tahu bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang letaknya antara benua Asia dan Australia, terdiri dari 17.000 pulau. Namun untuk menyebut seperti apa manusia Indonesia itu perlu penelaahan khusus. Sejarah panjang sebelum menjadi sebuah negara kesatuan dan banyaknya suku-suku yang mendiami menjadikannya sebagai masyarakat yang kompleks.
Identitas adalah ciri-ciri, sifat-sifat khusus yang melekat pada suatu hal. Untuk mendefinisikan identitas manusia Indonesia paling tidak mencakup kriteria multidimensional, paradoksal dan monopluralistik. Multidimensional artinya manusia Indonesia beraneka ragam suku, budaya maupun agama yang mendiami wilayah-wilayah berbeda. Ketika seseorang mengatakan seperti apa manusia Indonesia, orang dengan cepat orang Indonesia berciri-cirikan fisik seperti orang Asia kebanyakan. Kulit sawo matang, rambut lurus dan tubuh pendek (tidak sebagaimana manusia Eropa). Namun bagaimana jika yang dimaksudkan adalah orang Papua dengan ciri-ciri yang tidak sama dengan orang Jawa atau Flores?
Memahami identitas manusia Indonesia juga tak luput dari aspek paradoksal, bahwa orang Indonesia satu dengan lainnya saling bertentangan, baik secara ideologi keagamaan, bahasa, budaya dan lain sebagainya. Antara agama satu dengan lain yang dianut oleh orang Indonesia memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam kehidupan. Akan tetapi semua itu tidak menjadi persoalan bangsa sebab manusia Indonesia beridentitaskan monopluralistik, artinya memahami dan menerima perbedaan antara satu dengan lainnya. Ini yang terangkum dalam slogan “bhineka tunggal ika”.
Sebagai contoh ialah banyaknya aliran atau organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. Dalam agama Islam terdapat organisasi-organisasi atau sekte atau aliran yang mewarnai kehidupan masyarakat. Kata “Islam” berdefinisikan sebagaimana golongan tertentu memaknai dari sudut pandang organisasinya. Kontradiksi antara budaya NU dan Muhammadiyah (dua organisasi Islam terbesar di Indonesia) dalam mengaplikasikan ajaran agama. Semisal NU menghendaki tahlilan sedang Muhammadiyah tidak. Akan tetapi perbedaan-perbedaan ini tidak lantas membuat masyarakat Indonesia terpecah belah. Justru keberagaman itu diartikan sebagai jalan pencarian kebenaran bersama.
Karena itu dikenal adanya pembedaan dan pemisahan yang tegas antara kekayaan pribadi dengan kekayaan umum. Manusia Indonesia sebagai monopluralistik selalu mengedepankan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi. Identitas kedaerahan ditanggalkan ketika seseorang berbicara mengenai Indonesia. Manusia Indonesia dari Aceh hingga Papua menyadari bahwa negara Indonesia merupakan negara mereka, bukan negara satu suku saja. Hal ini hanya mungkin dicapai apabila masyarakat memahami keberbedaan.
Apakah kompleknya masyarakat Indonesia bisa menjadi pemersatu nasionalisme Indonesia? Jawabannya tentu bisa. Caranya ialah dengan memahami keberagaman manusia Indonesia serta menghormatinya. Jangan sampai kompleksitas manusia Indonesia malah dijadikan sebagai sekat antar satu orang dengan yang lainnya. Justru keberagaman menjadikan Indonesia kian kuat sebagaimana yang ditunjukkan dalam perjuangan kemerdekaan di masa kolonial.
Selama ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih dulu arti Identitas Nasional Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki  semangat, cita-cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Uraiannya mencakup :

1. Identitas manusia Manusia merupakan makhluk yang multidimensional, paradoksal dan monopluralistik. Keadaan manusia yang multidimensional, paradoksal dan sekaligus monopluralistik tersebut akan mempengaruhi eksistensinya. Eksistensi manusia selain dipengaruhi keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya atau pedoman hidupnya. Pada akhirnya yang menentukan identitas manusia baik secara individu maupun kolektif adalah perpaduan antara keunikan-keunikan yang ada pada dirinya dengan implementasi nilai-nilai yang dianutnya.

2. Identitas nasional Indonesia bersifat pluralistik (ada keanekaragaman) baik menyangkut sosiokultural atau religiositas. – Identitas fundamental/ ideal = Pancasila yang merupakan falsafah bangsa.- Identitas instrumental = identitas sebagai alat untuk menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Alatnya berupa UUD 1945, lambang negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan.- Identitas religiusitas = Indonesia pluralistik dalam agama dan kepercayaan.- Identitas sosiokultural = Indonesia pluralistik dalam suku dan budaya.- Identitas alamiah = Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

3. Nasionalisme Indonesia. Nasionalime merupakan situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa. Nasionalisme sangat efektif sebagai alat merebut kemerdekaan dari kolonial. Nasionalisme menurut Soekarno adalah bukan yang berwatak chauvinisme, bersifat toleran, bercorak ketimuran, hendaknya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

4. Integrasi Nasional. Menurut Mahfud M.D integrasi nasional adalah pernyataan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masayarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih untuh, secara sederhana memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa. Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan, kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membersakan SARA. Ini perlu dikembangkan karena pada hakekatnya integrasi nasional menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa. Kesimpulan Identitas Nasional Indonesia adalah sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut masyarakatnya pun berbeda-beda.  Nilai-nilai tersebut kemudian disatupadukan dan diselaraskan dalam Pancasila. Nilai-nilai ini penting karena merekalah yang mempengaruhi identitas bangsa. Oleh sebab itu, nasionalisme dan integrasi nasional sangat penting untuk ditekankan pada diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan identitas.

Pengembangan Kebudayaan untuk Membina dan Mengembangkan Identitas Nasional.

Ketika reog Ponorogo diklaim sebagai warisan budaya asli oleh Malaysia, sebagian besar masyarakat Indonesia ‘tersengat’ oleh berita yang kebetulan dibesar-besarkan media. Namun tak berselang lama isu itu mereda. Kemudian negara tetangga kembali ‘berulah’ dengan mengakui batik sebagai warisan budayanya. Masyarakat Indonesia kembali satu suara menolak klaim Malaysia. Kampanye batik gencar dilakukan dan akhirnya ditetapkan bahwa batik merupakan warisan kebudayaan Indonesia oleh UNESCO. Setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari batik Nasional.
Dua kasus di atas belum cukup menghentikan  agresifitas Malaysia mengadopsi kebudayaan negara Indonesia. Tari Thor-Thor yang mulai dilupakan pemiliknya diperkenalkan bahkan disiarkan melalui siaran televisi sebagai warisan budayanya. Kembali masyarakat bergejolak berteriak “ganyang Malaysia!”, turun di jalan-jalan sembari membakar bendera Malaysia. Akan tetapi ironis ketika di salah satu TV swasta terjadi perbincangan antara presenter dan narasumber. Itu terjadi sebelum publikasi ekspos media terhadap tarian yang berasal dari Sumatera utara itu diekspos secara besar-besaran. “Apakah Anda mengetahui tarian Thor-Thor dari mana?” Sang narasumber hanya menggelengkan kepala!
Salah satu ciri masyarakat Indonesia ialah berbuat tanpa mempelajari atau melihat penyebabnya. Sehingga yang timbul ialah aksi tanpa makna. Ketika mahasiswa-mahasiswa beserta lapisan masyarakat turun di jalanan dan berteriak-teriak menuntut Malaysia agar diadili karena dianggap mencuri, mengapa ketika kembali ke kampus atau kampungnya justru sikap penolakan terhadap budaya asli yang diterapkan? Salah satunya dengan menertawakan pemuda yang gemar melihat pentas wayang kulit atau mengenakan baju batik. Fenomena seperti di atas banyak terjadi di negara Indonesia.
Ini mengapa pengembangan kebudayaan dikatakan bisa untuk membina dan mengembangkan identitas nasional. Sebab semakin kaya sebuah negara memiliki budaya dan tradisi semakin memperlihatkan bahwa negara tersebut merupakan negara besar. Yang perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia adalah memahami dengan baik bahwa budaya merupakan identitas bangsa. Identitas-identitas ini sangat membantu pencitraan Indonesia di mata dunia, khususnya bagi masyarakatnya. 1.128 suku yang mendiami 17.000 pulau di Indonesia memiliki budaya masing-masing dan kelestariannya perlu dijaga. Sedikitpun jangan sampai integritas bangsa Indonesia dicerai-beraikan oleh bangsa lain. Penanaman nilai-nilai kebudayaan inilah yang perlu dibangun bangsa Indonesia agar identitas nasional dapat dibina dan dikembangkan. Caranya dengan menghormati dan melestarikan kebudayaan asli daerah wilayah negara Indonesia.
Tulisan ini disusur berdasar pertanyaan-pertanyaan:

1.      Perbedaan suku, agama dan budaya bisakah dijadikan alat untuk pemersatu bangsa Indonesia? Bagaimana caranya?
2.      Bagaimana mengembangkan identitas manusia Indonesia bisa menjadi pemersatu nasionalisme Indonesia?
3.      Mengapa pengembangan kebudayaan dikatakan bisa untuk membina dan mengembangkan identitas nasional?



Daftar Pustaka

-          Indonesia Kita, Nurcholish Madjid, Jakarta, Universitas Paramadina 2004
-          Pluralisme, tantangan bagi agama-agama, Harold Coward, Yogyakarta, Penerbit Kanisius 1989

0 comments:

Post a Comment