Kesuksesan
Indonesia sebagai “bangsa”, dalam pengertian keberhasilannya muncul di antara
bangsa-bangsa di dunia, tidak dapat dipandang sebagai hal biasa. Kesuksesan itu
didahului dengan perjuangan panjang sehingga banyak menuntut pengorbanan.
"Keanekaragaman budaya itu dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari sisi lain adalah kerawanan"
Pada mulanya terdapat berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia
Tenggara, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil. Hubungan antar pulau
tidak selalu mudah, sehingga masing-masing pulau sedikit-banyak terisolasi satu
dari yang lain, suatu kenyataan yang mendorong tumbuhnya ciri-ciri kesukuan,
kebahasaan dan kebudayaan yang terpisah-pisah. Bahkan dalam lingkungan
pulau-pulau besar pun, pola kesukuan dan kebudayaan yang berbeda-beda terdorong
muncul dengan sifat khas masing-masing menurut lingkungannya, dikarenakan
keadaan geografis dan topografisnya yang menyebabkan terbentuknya
wilayah-wilayah yang terpisah satu dari lainnya.
Keanekaragaman budaya itu dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi
dari sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat
dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi
sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui penyuburan
silang budaya (cross-cultural fertilization). Sebagai kerawanan,
keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu Asia
Tenggara selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar.
Usaha penyatuan Nusantara dengan kekuasaan politik tunggal pernah
beberapa kali terjadi, seperti oleh kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Hasil
penyatuan itu lebih luas daripada Indonesia saat ini, karena mencakup pula
wilayah luar Sabang-Marauke, seperti Semenanjung Melayu, Formusa dan
Madagaskar. Penyatuan wilayah Asia Tenggara yang kini dikenal sebagai
“Indonesia” adalah kelanjutan dari wilayah kekuasaan penjajahan Belanda.
Wilayah itu dikenal sebagai “Hindia Belanda” atau “Hindia Timur Belanda” (Dutch
East Indies). Tetapi “Indonesia” sebagai bangsa tidaklah dibentuk oleh
Belanda atau pemerintah penjajah, melainkan justru oleh semangat perlawanan
terhadap penjajah itu.
Mulai Sabang sampai Merauke bergejolak menuntut kemerdekaan. 1.128
suku yang tersebar di 17.000 pulau melakukan perlawanan agresif terhadap
kolonial Belanda dan penjajah-penjajah lain yang silih berganti datang mengeruk
hasil alam negara ini. Perbedaan bahasa, warna kulit, budaya dan agama tidak
lagi dijadikan alasan sebagai pintu perpecahan. Justru semangat Bhineka Tunggal
Ika yang tercetus di era Majapahit kembali bergelora. Hasilnya pada tanggal 17
Agustus 1945 Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, menjadi sebuah
negara kesatuan, Republik Indonesia. Ini bagian dari hakikat kebangsaan yang
perlu dipahami secara lebih baik.
Pluralisme
sebagai Media Pemersatu
Banyak
yang bertanya-tanya, bagaimana cara Indonesia yang memiliki 17.000 pulau berpenduduk
240 juta jiwa dan di dalamnya terdapat 1.128 suku tetap eksis sebagai negara
sejak mengumumkan kemerdekaannya? Terlebih ada 6 agama ‘resmi’ yang diakui.
Konsep keagamaan tampaknya
bukan lagi sebagai perkara yang bisa dibesar-besarkan dalam kehidupan bernegara
masyarakat Indonesia. Agama lebih dispesifikan sebagai keyakinan pribadi daripada
dijadikan sebagai dasar hukum. Jika dulu sentimen agama begitu kuat
melatar-belakangi pandangan masyarakat terhadap sesuatu, kini masyarakat lebih
dewasa dalam memahami keberagaman di Indonesia. Sebagai contoh, di Jakarta
tidak lagi melihat agama sebagai latar belakang seseorang. Walau beberapa
kalangan meluncurkan pernyataan berbau SARA kepada pasangan Jokowi-Ahok,
masyarakat Jakarta bersikap fair terhadap pemilihan wali kota itu. Hasilnya
Jokowi-Ahok, pasangan silang agama memenangkan pemilu. Jika dulu partai-partai
berbasis agama menjadi pesaing terkuat partai pemerintah, kini partai agama khususnya
Islam tidak lagi memiliki basis yang besar. Kebanyakan hanya mendapat maksimal
5-10% dari total seluruh suara. Sebuah catatan yang semakin meneguhkan bahwa
agama bukan lagi dijadikan sebagai media fanatisme.
Entosentrisme agaknya menjadi bagian lain yang terlupakan saat
masyarakat membicarakan Indonesia. Asmat, Kubu, Jawa, Madura dan lainnya hanya
dijadikan sebagai identitas pribadi yang tidak dapat memecah-belah bangsa Indonesia.
Di wilayahnya, kesukuan memang dijadikan sebagai identitas mutlak. Beberapa
suku yang terlibat konflik -misal Madura-Sampit- mengharamkan lawannya itu
menyentuh barang sejengkal wilayah sukunya. Namun itu sifatnya minoritas dan
dapat ditolerir. Konflik semacam itu biasa terjadi dengan berbagai modus yang
tidak dapat dihindari. Terlebih kebanyakan semacam ini merupakan propaganda
dari oknum suku yang masih kental dengan pemahaman entis yang dijadikan sebagai
jati diri mutlak.
Cara mudah untuk menyatukan bangsa Indonesia ialah memberi
pemahaman mengenai arti kebangsaan yang telah dibangun selama berabad-abad. Bahwa
Indonesia merupakan bangsa majemuk, bangsa plural yang tidak mungkin disatukan
suku, budaya atau agamanya. Pahami pluralisme sebagai pilar kebangsaan agar
kehidupan harmonis.
Bhineka Tunggal Ika dan ikrar sumpah pemuda harus dijaga baik di bawah
ideologi Pancasila yang merupakan supremasi hukum tertinggi di NKRI. Keenam
agama pun tidak ada yang menyalahkan ideologi kenegaraan ini. Akan tetapi kini
muncul beberapa kelompok/aliran yang mengancam keutuhan Indonesia sebagai
sebuah negara kesatuan. Mereka berani menginjak-injak lambang negara dan
menyalahkan pancasila sebagai ideologi kenegaraan. Kelompok tersebut
menggunakan agama sebagai ‘pokok perjuangannya’. Padahal hakikatnya tidak ada
satu pun agama yang bersikap anti-toleran dalam melangsungi kehidupan umat
manusia. Jika seperti ini, tugas pemerintahlah yang menyikapinya.
Identitas Manusia
Indonesia sebagai Pemersatu Nasionalisme Indonesia
Menyebut
Indonesia, orang akan tahu bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang letaknya
antara benua Asia dan Australia, terdiri dari 17.000 pulau. Namun untuk
menyebut seperti apa manusia Indonesia itu perlu penelaahan khusus. Sejarah
panjang sebelum menjadi sebuah negara kesatuan dan banyaknya suku-suku yang
mendiami menjadikannya sebagai masyarakat yang kompleks.
Identitas adalah ciri-ciri, sifat-sifat khusus yang melekat pada
suatu hal. Untuk mendefinisikan identitas manusia Indonesia paling tidak
mencakup kriteria multidimensional, paradoksal dan monopluralistik.
Multidimensional artinya manusia Indonesia beraneka ragam suku, budaya maupun
agama yang mendiami wilayah-wilayah berbeda. Ketika seseorang mengatakan
seperti apa manusia Indonesia, orang dengan cepat orang Indonesia
berciri-cirikan fisik seperti orang Asia kebanyakan. Kulit sawo matang, rambut
lurus dan tubuh pendek (tidak sebagaimana manusia Eropa). Namun bagaimana jika
yang dimaksudkan adalah orang Papua dengan ciri-ciri yang tidak sama dengan
orang Jawa atau Flores?
Memahami identitas manusia Indonesia juga tak luput dari aspek
paradoksal, bahwa orang Indonesia satu dengan lainnya saling bertentangan, baik
secara ideologi keagamaan, bahasa, budaya dan lain sebagainya. Antara agama
satu dengan lain yang dianut oleh orang Indonesia memiliki pandangan-pandangan
yang berbeda dalam kehidupan. Akan tetapi semua itu tidak menjadi persoalan
bangsa sebab manusia Indonesia beridentitaskan monopluralistik, artinya
memahami dan menerima perbedaan antara satu dengan lainnya. Ini yang terangkum
dalam slogan “bhineka tunggal ika”.
Sebagai contoh ialah banyaknya aliran atau organisasi keagamaan
yang ada di Indonesia. Dalam agama Islam terdapat organisasi-organisasi atau
sekte atau aliran yang mewarnai kehidupan masyarakat. Kata “Islam”
berdefinisikan sebagaimana golongan tertentu memaknai dari sudut pandang
organisasinya. Kontradiksi antara budaya NU dan Muhammadiyah (dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia) dalam mengaplikasikan ajaran agama. Semisal NU
menghendaki tahlilan sedang Muhammadiyah tidak. Akan tetapi perbedaan-perbedaan
ini tidak lantas membuat masyarakat Indonesia terpecah belah. Justru
keberagaman itu diartikan sebagai jalan pencarian kebenaran bersama.
Karena itu dikenal adanya pembedaan dan pemisahan yang tegas antara
kekayaan pribadi dengan kekayaan umum. Manusia Indonesia sebagai
monopluralistik selalu mengedepankan kepentingan bersama dibanding kepentingan
pribadi. Identitas kedaerahan ditanggalkan ketika seseorang berbicara mengenai
Indonesia. Manusia Indonesia dari Aceh hingga Papua menyadari bahwa negara
Indonesia merupakan negara mereka, bukan negara satu suku saja. Hal ini hanya
mungkin dicapai apabila masyarakat memahami keberbedaan.
Apakah kompleknya masyarakat Indonesia bisa menjadi pemersatu
nasionalisme Indonesia? Jawabannya tentu bisa. Caranya ialah dengan memahami
keberagaman manusia Indonesia serta menghormatinya. Jangan sampai kompleksitas
manusia Indonesia malah dijadikan sebagai sekat antar satu orang dengan yang
lainnya. Justru keberagaman menjadikan Indonesia kian kuat sebagaimana yang
ditunjukkan dalam perjuangan kemerdekaan di masa kolonial.
Selama ini
masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas bangsanya. Agar dapat
memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih dulu arti Identitas Nasional
Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada
suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal
lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat,
cita-cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas
Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Uraiannya mencakup :
1. Identitas manusia Manusia
merupakan makhluk yang multidimensional, paradoksal dan monopluralistik.
Keadaan manusia yang multidimensional, paradoksal dan sekaligus monopluralistik
tersebut akan mempengaruhi eksistensinya. Eksistensi manusia selain dipengaruhi
keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya atau pedoman
hidupnya. Pada akhirnya yang menentukan identitas manusia baik secara individu
maupun kolektif adalah perpaduan antara keunikan-keunikan yang ada pada dirinya
dengan implementasi nilai-nilai yang dianutnya.
2. Identitas nasional Indonesia
bersifat pluralistik (ada keanekaragaman) baik menyangkut sosiokultural atau
religiositas. – Identitas fundamental/ ideal = Pancasila yang merupakan
falsafah bangsa.- Identitas instrumental = identitas sebagai alat untuk
menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Alatnya berupa UUD 1945, lambang
negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan.- Identitas religiusitas =
Indonesia pluralistik dalam agama dan kepercayaan.- Identitas sosiokultural =
Indonesia pluralistik dalam suku dan budaya.- Identitas alamiah = Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
3. Nasionalisme Indonesia. Nasionalime
merupakan situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan
langsung kepada negara bangsa. Nasionalisme sangat efektif sebagai alat merebut
kemerdekaan dari kolonial. Nasionalisme menurut Soekarno adalah bukan yang
berwatak chauvinisme, bersifat toleran, bercorak ketimuran, hendaknya dijiwai
oleh nilai-nilai Pancasila.
4. Integrasi Nasional. Menurut
Mahfud M.D integrasi nasional adalah pernyataan bagian-bagian yang berbeda dari
suatu masayarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih untuh, secara sederhana
memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu
bangsa. Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan, kebijaksanaan
yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membersakan SARA. Ini perlu
dikembangkan karena pada hakekatnya integrasi nasional menunjukkan tingkat
kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa. Kesimpulan Identitas Nasional Indonesia
adalah sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa,
agama dan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai
yang dianut masyarakatnya pun berbeda-beda. Nilai-nilai tersebut kemudian
disatupadukan dan diselaraskan dalam Pancasila. Nilai-nilai ini penting karena
merekalah yang mempengaruhi identitas bangsa. Oleh sebab itu, nasionalisme dan
integrasi nasional sangat penting untuk ditekankan pada diri setiap warga
Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan identitas.
Pengembangan
Kebudayaan untuk Membina dan Mengembangkan Identitas Nasional.
Ketika
reog Ponorogo diklaim sebagai warisan budaya asli oleh Malaysia, sebagian besar
masyarakat Indonesia ‘tersengat’ oleh berita yang kebetulan dibesar-besarkan
media. Namun tak berselang lama isu itu mereda. Kemudian negara tetangga
kembali ‘berulah’ dengan mengakui batik sebagai warisan budayanya. Masyarakat
Indonesia kembali satu suara menolak klaim Malaysia. Kampanye batik gencar
dilakukan dan akhirnya ditetapkan bahwa batik merupakan warisan kebudayaan
Indonesia oleh UNESCO. Setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari batik
Nasional.
Dua kasus di atas belum cukup menghentikan agresifitas Malaysia mengadopsi kebudayaan
negara Indonesia. Tari Thor-Thor yang mulai dilupakan pemiliknya diperkenalkan
bahkan disiarkan melalui siaran televisi sebagai warisan budayanya. Kembali
masyarakat bergejolak berteriak “ganyang Malaysia!”, turun di jalan-jalan
sembari membakar bendera Malaysia. Akan tetapi ironis ketika di salah satu TV
swasta terjadi perbincangan antara presenter dan narasumber. Itu terjadi
sebelum publikasi ekspos media terhadap tarian yang berasal dari Sumatera utara
itu diekspos secara besar-besaran. “Apakah Anda mengetahui tarian Thor-Thor
dari mana?” Sang narasumber hanya menggelengkan kepala!
Salah satu ciri masyarakat Indonesia ialah berbuat tanpa
mempelajari atau melihat penyebabnya. Sehingga yang timbul ialah aksi tanpa
makna. Ketika mahasiswa-mahasiswa beserta lapisan masyarakat turun di jalanan
dan berteriak-teriak menuntut Malaysia agar diadili karena dianggap mencuri,
mengapa ketika kembali ke kampus atau kampungnya justru sikap penolakan
terhadap budaya asli yang diterapkan? Salah satunya dengan menertawakan pemuda
yang gemar melihat pentas wayang kulit atau mengenakan baju batik. Fenomena
seperti di atas banyak terjadi di negara Indonesia.
Ini mengapa pengembangan kebudayaan dikatakan bisa untuk membina
dan mengembangkan identitas nasional. Sebab semakin kaya sebuah negara memiliki
budaya dan tradisi semakin memperlihatkan bahwa negara tersebut merupakan
negara besar. Yang perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia
adalah memahami dengan baik bahwa budaya merupakan identitas bangsa. Identitas-identitas
ini sangat membantu pencitraan Indonesia di mata dunia, khususnya bagi
masyarakatnya. 1.128 suku yang mendiami 17.000 pulau di Indonesia memiliki
budaya masing-masing dan kelestariannya perlu dijaga. Sedikitpun jangan sampai
integritas bangsa Indonesia dicerai-beraikan oleh bangsa lain. Penanaman
nilai-nilai kebudayaan inilah yang perlu dibangun bangsa Indonesia agar
identitas nasional dapat dibina dan dikembangkan. Caranya dengan menghormati
dan melestarikan kebudayaan asli daerah wilayah negara Indonesia.
Tulisan
ini disusur berdasar pertanyaan-pertanyaan:
1.
Perbedaan
suku, agama dan budaya bisakah dijadikan alat untuk pemersatu bangsa Indonesia?
Bagaimana caranya?
2.
Bagaimana
mengembangkan identitas manusia Indonesia bisa menjadi pemersatu nasionalisme
Indonesia?
3.
Mengapa
pengembangan kebudayaan dikatakan bisa untuk membina dan mengembangkan
identitas nasional?
Daftar
Pustaka
-
Indonesia
Kita, Nurcholish Madjid, Jakarta, Universitas Paramadina 2004
-
Pluralisme,
tantangan bagi agama-agama, Harold Coward, Yogyakarta, Penerbit Kanisius 1989
0 comments:
Post a Comment