Ketika mencari tunggangan, bangsa Na’vi tidak berani untuk mencoba menunggangi
Toruc, predator raksasa dengan empat sayap. Jangankan menungganginya, bertemu
saja dianggap bencana. Mereka lebih memilih Ikran, burung yang ukurannya lebih
kecil dari Toruc. Bangsa Na’vi -dalam cerita Avatar arahan James Cameron- tidak
memiliki pilihan lain ketika bertemu Toruc, kecuali: Lari!
Namun ini tidak berlaku bagi Jake Sulley, manusia yang ‘menyamar’
sebagai warga Pandorra. Saat perang antara manusia tempat asalnya dan bangsa
Na’vi berkecamuk, Jake -yang terbongkar identitasnya dicap pembohong oleh bangsa
Na’vi- harus membuktikan diri bahwa ia bagian dari Pandorra, bukan lagi bagian
manusia yang merusak alam mereka. Langkah gila pun dilakukan Jake. Jake memburu
Toruc dan berhsil menjinakkan binatang ganas itu. Bangsa Na’vi tahu, siapapun
pengendara Toruc (Toruc Makto) adalah pemimpin mereka yang harus ditaati.
Lamunan 6
Papua Bukanlah Anak Tiri!!!
Ada keterkaitan antara cerita di
atas dengan kisah tanah Papua di Indonesia. Papua diibaratkan Pandorra yang
memiliki kekayaan alam. Kolonial datang untuk mengeruknya, merusak alam demi
kepentingannya. Bangsa Na’vi dan warga Papua berjuang mempertahankan hak
miliknya. Bedanya di Pandorra ada Jake yang berkorban, sementara di Papua ada
‘orang luar’ yang membuka lebar gerbang kolonialisme dengan menjual aset-aset kekayaan
Papua kepada bangsa lain demi kepentingan politiknya!
Sejarah mencatat Freeport memulai aktifitas pertambangannya pada
Maret 1973 di Ertsberg, yang menyisakan lubang sedalam 360 meter (1980). Pada
tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang
masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3
juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli
2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah
seluas 499 ha dengan kedalaman 800 m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton
cadangan tembaga, dan 1.430 juta ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana
penutupan tambang pada 2041.(Kompasiana, Mattula Ada-Kisah Kelam Ya’juj wa
Ma’juj). Hal ini menjadi bukti bahwa kepentingan investor asing lebih
didahulukan daripada kebutuhan rakyat pribumi.
Bumi Papua pun bergetar. Masyarakat pribumi tidak lagi minim kalangan
intelektualnya sehingga tahu alamnya tengah dijajah. Selain oleh bangsa luar
dari fisiknya, secara psikis Papua merasa terjajah oleh bangsanya sendiri. Pemerintah
pusat dianggap melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berbunyi:...Provinsi dapat
memiliki lambang daerah sebagai jati diri orang Papua dalam bentuk Bendera dan
Lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.... Pelanggaran
itu berupa dimunculkannya PP No. 77 tahun 2007 tanggal 10 Desember 2007 tentang
Lambang Daerah Pasal 6 ayat (4) yang intinya pelarangan terhadap simbol-simbol
yang ditentukan. Hal ini semakin membuat warga Papua gerah. Di langit timur,
bintang kejora kian benderang. Di sana ada Cendrawasih (latin: Paradisaea) yang
mencengkram simbol perlawanan.
Kini
masa depan Papua bergantung pada kapasitas elit pemerintah pusat untuk segera
belajar tentang budaya Papua. Hal yang paling mendasar ialah memahami karakter
dan bahasa politik yang simbolis dari orang Papua. Hal ini dilakukan agar tidak
terjadi mispersepsi antara warga Papua dengan kalangan pemerintah sehingga
integrasi wilayah antarpulau tetap berada dalam satu kesatuan. NKRI
0 comments:
Post a Comment