Saturday, June 1, 2013

Mencari Paradisaea Makto

Ketika mencari tunggangan, bangsa Na’vi tidak berani untuk mencoba menunggangi Toruc, predator raksasa dengan empat sayap. Jangankan menungganginya, bertemu saja dianggap bencana. Mereka lebih memilih Ikran, burung yang ukurannya lebih kecil dari Toruc. Bangsa Na’vi -dalam cerita Avatar arahan James Cameron- tidak memiliki pilihan lain ketika bertemu Toruc, kecuali: Lari!
Namun ini tidak berlaku bagi Jake Sulley, manusia yang ‘menyamar’ sebagai warga Pandorra. Saat perang antara manusia tempat asalnya dan bangsa Na’vi berkecamuk, Jake -yang terbongkar identitasnya dicap pembohong oleh bangsa Na’vi- harus membuktikan diri bahwa ia bagian dari Pandorra, bukan lagi bagian manusia yang merusak alam mereka. Langkah gila pun dilakukan Jake. Jake memburu Toruc dan berhsil menjinakkan binatang ganas itu. Bangsa Na’vi tahu, siapapun pengendara Toruc (Toruc Makto) adalah pemimpin mereka yang harus ditaati.
Lamunan 6


Papua Bukanlah Anak Tiri!!!
            
Ada keterkaitan antara cerita di atas dengan kisah tanah Papua di Indonesia. Papua diibaratkan Pandorra yang memiliki kekayaan alam. Kolonial datang untuk mengeruknya, merusak alam demi kepentingannya. Bangsa Na’vi dan warga Papua berjuang mempertahankan hak miliknya. Bedanya di Pandorra ada Jake yang berkorban, sementara di Papua ada ‘orang luar’ yang membuka lebar gerbang kolonialisme dengan menjual aset-aset kekayaan Papua kepada bangsa lain demi kepentingan politiknya!
Sejarah mencatat Freeport memulai aktifitas pertambangannya pada Maret 1973 di Ertsberg, yang menyisakan lubang sedalam 360 meter (1980). Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800 m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 juta ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.(Kompasiana, Mattula Ada-Kisah Kelam Ya’juj wa Ma’juj). Hal ini menjadi bukti bahwa kepentingan investor asing lebih didahulukan daripada kebutuhan rakyat pribumi.
Bumi Papua pun bergetar. Masyarakat pribumi tidak lagi minim kalangan intelektualnya sehingga tahu alamnya tengah dijajah. Selain oleh bangsa luar dari fisiknya, secara psikis Papua merasa terjajah oleh bangsanya sendiri. Pemerintah pusat dianggap melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berbunyi:...Provinsi dapat memiliki lambang daerah sebagai jati diri orang Papua dalam bentuk Bendera dan Lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.... Pelanggaran itu berupa dimunculkannya PP No. 77 tahun 2007 tanggal 10 Desember 2007 tentang Lambang Daerah Pasal 6 ayat (4) yang intinya pelarangan terhadap simbol-simbol yang ditentukan. Hal ini semakin membuat warga Papua gerah. Di langit timur, bintang kejora kian benderang. Di sana ada Cendrawasih (latin: Paradisaea) yang mencengkram simbol perlawanan.
            Kini masa depan Papua bergantung pada kapasitas elit pemerintah pusat untuk segera belajar tentang budaya Papua. Hal yang paling mendasar ialah memahami karakter dan bahasa politik yang simbolis dari orang Papua. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi mispersepsi antara warga Papua dengan kalangan pemerintah sehingga integrasi wilayah antarpulau tetap berada dalam satu kesatuan. NKRI

0 comments:

Post a Comment