Buddha, Patung
dan Ritual
Dalam ajaran Buddha terkenal sebuah
kalimat yang bernilai filosofi tinggi, berisi itu kosong, kosong itu berisi. Bhikkhu
Jotidhammo, ketua umum Sangha Theravada Indonesia menanggapi pertanyaan tentang
makna kalimat tersebut dengan kata “sulit”. Ia menjelaskan bahwa untuk memahami
kalimat itu harus menggunakan filsafat metafisik. Sebagai gambaran, ia
mencontohkan sufisme dalam Islam. Menurutnya ajaran sufisme sangat dekat dengan
Budhis. Bahwa ketiadaan itulah hakikat segalanya. “Hakikat dari segala sesuatu
itu kosong.” Filsafat ini disebut filsafat sunyata kekosongan.
Patung,
lilin dan dupa merupakan alat ritual yang tidak bisa dilepaskan dari agama Buddha.
Paling tidak ini bayangan sebagian besar orang ketika mendengar tentang Buddha.
Di tayangan-tayangan televisi dan film-film yang mengangkat latar belakang
penganut Buddha adegan ini memang selalu ada. Bhikkhu memberi penjelasan bahwa
semua itu hanya alat pendukung, bukan inti penyembahan. Bahkan patung Buddha
yang kerap dikaitkan dengan penyembahan sebenarnya hanya ornamen, karya seni
biasa.
Alat-alat
“ritual” tersebut digunakan sekedar untuk pengikat emosional keagamaan para
pemula yang ingin mendalami kebuddhaan. Bagi yang sudah menapaki tingkat lanjut
(meditasi), terlebih yang sudah tinggi, alat-alat tersebut tidak lagi
diperlukan. Karena meditasi sebagai bentuk ibadah mereka memang hanya
membutuhkan konsentrasi. Sementara penggunaan sarana hanya akan mengganggu
jalannya meditasi.
Patung
Buddha ada salah satunya terpengaruh kebudayaan Hindu dan Yunani. Di banyak
tempat patung digambarkan berbeda-beda. Khas patung Buddha di India berbeda
bentuk wajah dengan Buddha di Thailand, Jepang, Sri Langka ataupun Indonesia.
Itu karena patung Buddha selalu dibuat berdasar “wajah lokal”. Keaslian wajah sang
Buddha sendiri tidak diketahui secara pasti.
Banyaknya
patung yang terdapat di vihara-vihara dengan bermacam fungsi, yaitu fungsi
ornamen dan ritual, menimbulkan pertanyaan. Apakah ada perbedaan mendasar dari
kedua patung tersebut? Bhikkhu menjawab tidak ada beda antara patung ritual
dengan ornamen. Semua hanya ditempatkan pada posisi masing-masing. Dalam agama
Buddha patung sendiri merupakan hal baru. Sejarah patung dalam agama Buddha itu
sendiri muncul 500 tahun setelah Buddha Gaotama meninggal. Hal tersebut
terpengaruh oleh agama Hindu yang menyembah dewa-dewanya melalui patung.
Sewaktu sang Buddha masih hidup, patung Buddha belum dibuat. Bahkan Buddha
tidak menganjurkan umat-umatnya menghormat karena patung. Penggunaan patung
sebagai media ibadah itu adalah pengaruh belakangan. Karena Budha tidak ada, maka
patung dibuat dan dianggap simbol dalam agama Buddha.
Pembuatan
patung ini seperti halnya pembangunan candi Prambanan dan Borobudur. Kedua
tempat ibadah itu dibangun dalam masa yang sama dan dibuat sebatas menunjukkan
eksistensi kedua aliran agama yang pada saat itu menjadi paham kekuasaan.
Prambanan dibangun oleh wangsa Sanjaya dan Buddha dibangun oleh wangsa Syailendra.
Artinya, patung sebagaimana disebut di atas hanyalah simbolisme dari Buddha.
Peletakan
patung-patung di Vihara sebenarnya murni faktor estetika. Bagaimana umat Buddha
ingin tempat ibadahnya terlihat indah dengan bermacam bentuk patung-patung. Di
Vihara Mendut, patung-patung yang ada banyak yang merupakan kiriman dari luar.
Apakah semua vihara memasang patung sebagai ornamen? Ternyata tidak. Vihara
tidak melulu berbentuk sebuah bangunan sebagaimana Vihara mendut.
Ada
dua macam vihara yang ada. Vihara umum (biasa) adalah vihara sebagaimana yang
banyak dijumpai, dan digunakan sebagai sarana pendidikan dan penerimaan tamu. Sementara
vihara khusus ibadah suasananya lebih sunyi. Vihara ini disebut pula vihara meditasi
atau vihara hutan. Vihara tersebut dikelilingi pohon-pohon dan berada di tempat
sunyi seperti hutan. Di sana sama sekali tidak ada ornamen sebagaimana vihara biasa.
Karena vihara meditasi dikhususkan untuk melatih mencapai pencerahan.
Untuk
menjadi bhikkhu/bhikkhuni, seseorang harus menghindari segala bentuk hawa nafsu
keduniawiyan, seperti menjalani apa yang disebut dengan sarebetan. Yaitu
meninggalkan dunia rumah tangga, yang dalam bahasa sederhananya tidak boleh
menikah. Lalu bagaimana cara meninggalkan hawa nafsu? Jawabannya, menurut Bikhu
Jothidammo dengan meditasi. Dengan meditasi segala bentuk hawa nafsu dapat
ditaklukkan. Karena meditasi dapat menurunkan gelombang hawa nafsu. Maka semua bhikkhu/bhikkhuni dalam sehari
lebih banyak melakukan meditasi.
Dalam
kebiasaan umat Buddha, setiap orang yang sudah menjadi bhikkhu/bhikkhuni diberi
nama keagamaan oleh gurunya. Akan tetapi nama tersebut bukan merupakan nama
yang harus dipakai dalam keseharian sebagai warga. Dalam guyonan yang
dilontarkan Bhikkhu Jotidhammo, “Tidak terlu merubah KTP.”
Dalam
ibadah, umat Buddha yang masih mendalami kebuddhaan pada tingkat dasar
menggunakan bermacam sarana dan ritual. Tapi kalau sudah meditasi tidak lagi
memerlukan sarana-sarana sebagaimana orang yang baru di tingkat dasar. Kalau
meningkat ke meditasi tidak lagi memerlukan upacara-upacara. Karena pada
dasarnya meditasi hanya mengendalikan pikiran. Kalau meditasi menggunakan
sarana malah mengganggu. Lampu dan wewangian misalnya. Jika ada seseorang
melakukan meditasi menggunakan sarana lampu atau wewangian, maka konsentrasinya
bisa terpecah akibat pendar cahaya dan baunya tersebut. Dalam tatacara
beribadah, agama Buddha memandang dari tingkat religiusitasnya.
Perkembangan
Aliran Buddha
Agama Buddha
yang muncul di abad ke-6 sebelum masehi mengalami perkembangan yang sangat pesat
dalam penafsiran ajaran yang memunculkan banyak aliran. Perkembangan aliran
dalam Buddha tidak berbeda dengan Islam. Semua perbedaan muncul akibat
perbedaan penafsiran ajaran. Akan tetapi di dalam agama Buddha ketidakadanya
rambu-rambu perbedaan pendapat yang ada kemudian memunculkan banyaknya aliran
tidak terkendali. Umat bebas menafsirkan apapun mengenai ajaran Sidharta. Saking
bebasnya menafsirkan ajaran Buddha, ada umat yang tidak “mengakui” Buddha
Gaotama. Selain itu muncul pula aliran yang mengatakan adanya Buddha baru. Di
Jepang ada aliran Buddha bernama Nichiran. Buddha tersebut disebut sebagai
Buddha mutakhir karena muncul belakangan. Munculnya aliran ini ialah karena
sang bhikkhu yang mengajarkan ajaran Buddha sangat pintar dan dikagumi. Setelah
ia wafat, pengikutnya menganggapnya sebagai Buddha mutakhir.
Walau
perkembangan aliran tidak terkendali, para pemuka agama Buddha memiliki
kualifikasi tersendiri mengenai aliran yang memang bisa disebut Buddhist.
Mereka memiliki organisasi internasional World Federation of Buddhist
yang “mengkualifikasi” aliran “resmi” dan tidak. dalam organisasi tersebut
hanya aliran Theravada dan Mahayana yang bisa masuk. Berarti, WFB secara tidak
langsung mengatakan bahwa Theravada dan Mahayana adalah aliran yang benar-benar
Buddha.
Dalam
praktiknya, para pemuka agama Buddha memang tidak bisa leluasa memberi
pemahaman yang sama terhadap penganut Buddha aliran lain yang “menyimpang” dari
ajaran Buddha. Akan tetapi, bhikkhu Jotidhammo berpendapat, Sulit!
Tentang Waisak
Salah satu hari
terpenting dalam agama Buddha adalah hari raya Waisak. Hari tersebut merupakan
peringatan kelahiran, pencerahan serta kematian Buddha Gaotama yang semua
terjadi di bulan Mei. Dalam penanggalan Buddha bulan Mei disebut Waisak. Karena
memperingati tiga peristiwa besar dan penting, maka hari raya Waisak disebut
pula Trisuci Waisak. Kelahiran Buddha (Sidharta Gaotama) pada tahun 623 SM,
pencerahan pada 588 SM hingga kematiannya pada 543 SM sama-sama terjadi pada
saat purnama sidi di bulan Mei.
Dalam
sejarahnya, Sidharta merupakan putra mahkota kerajaaan Kapilavatthu di wilayah
perbatasan India-Nepal. Karena tidak cocok dengan kehidupan mewah istana, ia
akhirnya pergi ke hutan dan melakukan meditasi dalam kesunyian. Akhirnya ia
mendapat pencerahan, lalu mengajarkan perihal pencerahan itu kepada para
pengikutnya.
Kitab Suci
Kitab suci umat
Buddha ialah Tripitaka. Apakah kitab-kitab itu memang terpisah sejak dulu?
Ternyata tidak. Awalnya ajaran Buddha ditulis di atas daun lontar menggunakan
pisau yang disayatkan lalu diberi jelaga. Untuk membedakan maka dipisahlah
tulisan-tulisan itu atas Winaya Pitaka yang berisi peraturan Bikhhu, Suta
Pitaka ajaran Buddha dan Dharma Pitaka berupa ajaran metafisik. Kitab tersebut
awalnya ditulis ke dalam bahasa Pali, serumpun dengan sansekerta. Kemudian
diterjemahkan ke dalam berbagai maca bahasa di dunia ini.
Di Indonesia sendiri kitab Tripitaka
menggunakan terjemahan bahasa Inggris. Itu sebagaimana diungkapkan oleh Bhikkhu
Jotidhammo bahwa di Vihara Mendut ada Tripitaka berbahasa Inggris. Mengapa
tidak mengatakan berbahasa Indonesia? Mungkin memang tidak ada kitab Tripitaka
berbahasa Indonesia. Hal ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan sebab
melihat sejarahnya Buddha pernah menjadi agama besar di nusantara. Di Indonesia
pula terdapat banyak benda sejarah yang diyakini sebagai peninggalan agama
Buddha.
Di
agama Buddha, Theravada merupakan aliran yang masih menggunakan bahasa Pali
dalam ritual.
Strukturalisasi
Kepemimpinan
Sebagai sebuah
agama yang dianut oleh banyak orang yang tersebar ke seluruh penjuru dunia,
apakah dalam Buddha terdapat strukturalisasi kepemimpinan seperti halnya Paus
dalam Katholik? Bhikkhu Jothidammo mengatakan tidak. Kalau pun ada tokoh Buddha
yang dianggap sebagai pemimpin umat, maka wilayahnya hanya pemimpin suatu
negara. Seperti di negara Tibet ada salah satu tokoh Buddha yang berpengaruh
yaitu Dalay Lama. Akan tetapi dia bukanlah “paus”. Ia merupakan pemimpin agama (semacam
ulama’) Buddha di Tibet. Dalay dianggap sebagai pemimpin umat Buddha sebab ia
tokoh beragama Buddha yang vokal. Secara struktur, tidak ada ke-paus-an
sebagaimana umat Katholik.
Agama Buddha di
Indonesia Kini
Agama Buddha
kini menjadi salah satu agama minoritas di Indonesia. Di sekitar Vihara Mendut
saja dikelilingi oleh masyarakat muslim. Walau pun demikian, relasi antara
masyarakat muslim dengan vihara sangat baik. Mereka mampu hidup rukun
berdampingan walau beda keyakinan.
Di
vihara-vihara yang tersebar tidak semua dipimpin oleh seorang bhikkhu. Selain
banyaknya vihara, jumlah bhikkhu pun sangat terbatas. Di Jawa Tengah sendiri
hanya ada 10 bhikkhu. Untuk itu, peran
bhikkhu sebagai pemuka agama Buddha di vihara digantikan seorang
pemimpin vihara yang disebut Dharmaduta. Dharmaduta ini diberi pengajaran oleh
para bhikkhu untuk mendalami ajaran kebuddhaan.
Dewasa
ini, dan sejak awal tumbuhnya agama Buddha yang diawali “pencerahan” Sidharta
Gaotama, agama Buddha tidak melakukan bermacam kegiatan dakwah. Karena pada
dasarnya seseorang memeluk agama Buddha diawali dari kesadaran. Mereka, para
Bhikkhu hanya melakukan pembinaan-pembinaan terhadap umat agama Buddha yang ada.
Bukan mengajak orang lain mengikuti ajaran Buddha sebagai sebuah institusi agama.
bagus jekii :D
ReplyDeleteterimakasih joko atas bahan belajarnya salan KPI :D
ReplyDeleteBY : http://alvianricie.blogspot.com/