Sunday, June 30, 2013

Komunikasi Ukhuwwah Insaniyah; Menyambangi Vihara Mendut dan Candi Borobudur (1)


Buddha, Patung dan Ritual

Dalam ajaran Buddha terkenal sebuah kalimat yang bernilai filosofi tinggi, berisi itu kosong, kosong itu berisi. Bhikkhu Jotidhammo, ketua umum Sangha Theravada Indonesia menanggapi pertanyaan tentang makna kalimat tersebut dengan kata “sulit”. Ia menjelaskan bahwa untuk memahami kalimat itu harus menggunakan filsafat metafisik. Sebagai gambaran, ia mencontohkan sufisme dalam Islam. Menurutnya ajaran sufisme sangat dekat dengan Budhis. Bahwa ketiadaan itulah hakikat segalanya. “Hakikat dari segala sesuatu itu kosong.” Filsafat ini disebut filsafat sunyata kekosongan.
Patung, lilin dan dupa merupakan alat ritual yang tidak bisa dilepaskan dari agama Buddha. Paling tidak ini bayangan sebagian besar orang ketika mendengar tentang Buddha. Di tayangan-tayangan televisi dan film-film yang mengangkat latar belakang penganut Buddha adegan ini memang selalu ada. Bhikkhu memberi penjelasan bahwa semua itu hanya alat pendukung, bukan inti penyembahan. Bahkan patung Buddha yang kerap dikaitkan dengan penyembahan sebenarnya hanya ornamen, karya seni biasa.
Alat-alat “ritual” tersebut digunakan sekedar untuk pengikat emosional keagamaan para pemula yang ingin mendalami kebuddhaan. Bagi yang sudah menapaki tingkat lanjut (meditasi), terlebih yang sudah tinggi, alat-alat tersebut tidak lagi diperlukan. Karena meditasi sebagai bentuk ibadah mereka memang hanya membutuhkan konsentrasi. Sementara penggunaan sarana hanya akan mengganggu jalannya meditasi.
Patung Buddha ada salah satunya terpengaruh kebudayaan Hindu dan Yunani. Di banyak tempat patung digambarkan berbeda-beda. Khas patung Buddha di India berbeda bentuk wajah dengan Buddha di Thailand, Jepang, Sri Langka ataupun Indonesia. Itu karena patung Buddha selalu dibuat berdasar “wajah lokal”. Keaslian wajah sang Buddha sendiri tidak diketahui secara pasti.
Banyaknya patung yang terdapat di vihara-vihara dengan bermacam fungsi, yaitu fungsi ornamen dan ritual, menimbulkan pertanyaan. Apakah ada perbedaan mendasar dari kedua patung tersebut? Bhikkhu menjawab tidak ada beda antara patung ritual dengan ornamen. Semua hanya ditempatkan pada posisi masing-masing. Dalam agama Buddha patung sendiri merupakan hal baru. Sejarah patung dalam agama Buddha itu sendiri muncul 500 tahun setelah Buddha Gaotama meninggal. Hal tersebut terpengaruh oleh agama Hindu yang menyembah dewa-dewanya melalui patung. Sewaktu sang Buddha masih hidup, patung Buddha belum dibuat. Bahkan Buddha tidak menganjurkan umat-umatnya menghormat karena patung. Penggunaan patung sebagai media ibadah itu adalah pengaruh belakangan. Karena Budha tidak ada, maka patung dibuat dan dianggap simbol dalam agama Buddha.
Pembuatan patung ini seperti halnya pembangunan candi Prambanan dan Borobudur. Kedua tempat ibadah itu dibangun dalam masa yang sama dan dibuat sebatas menunjukkan eksistensi kedua aliran agama yang pada saat itu menjadi paham kekuasaan. Prambanan dibangun oleh wangsa Sanjaya dan Buddha dibangun oleh wangsa Syailendra. Artinya, patung sebagaimana disebut di atas hanyalah simbolisme dari Buddha.
Peletakan patung-patung di Vihara sebenarnya murni faktor estetika. Bagaimana umat Buddha ingin tempat ibadahnya terlihat indah dengan bermacam bentuk patung-patung. Di Vihara Mendut, patung-patung yang ada banyak yang merupakan kiriman dari luar. Apakah semua vihara memasang patung sebagai ornamen? Ternyata tidak. Vihara tidak melulu berbentuk sebuah bangunan sebagaimana Vihara mendut.
Ada dua macam vihara yang ada. Vihara umum (biasa) adalah vihara sebagaimana yang banyak dijumpai, dan digunakan sebagai sarana pendidikan dan penerimaan tamu. Sementara vihara khusus ibadah suasananya lebih sunyi. Vihara ini disebut pula vihara meditasi atau vihara hutan. Vihara tersebut dikelilingi pohon-pohon dan berada di tempat sunyi seperti hutan. Di sana sama sekali tidak ada ornamen sebagaimana vihara biasa. Karena vihara meditasi dikhususkan untuk melatih mencapai pencerahan.
Untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni, seseorang harus menghindari segala bentuk hawa nafsu keduniawiyan, seperti menjalani apa yang disebut dengan sarebetan. Yaitu meninggalkan dunia rumah tangga, yang dalam bahasa sederhananya tidak boleh menikah. Lalu bagaimana cara meninggalkan hawa nafsu? Jawabannya, menurut Bikhu Jothidammo dengan meditasi. Dengan meditasi segala bentuk hawa nafsu dapat ditaklukkan. Karena meditasi dapat menurunkan gelombang hawa nafsu.  Maka semua bhikkhu/bhikkhuni dalam sehari lebih banyak melakukan meditasi.
Dalam kebiasaan umat Buddha, setiap orang yang sudah menjadi bhikkhu/bhikkhuni diberi nama keagamaan oleh gurunya. Akan tetapi nama tersebut bukan merupakan nama yang harus dipakai dalam keseharian sebagai warga. Dalam guyonan yang dilontarkan Bhikkhu Jotidhammo, “Tidak terlu merubah KTP.”
Dalam ibadah, umat Buddha yang masih mendalami kebuddhaan pada tingkat dasar menggunakan bermacam sarana dan ritual. Tapi kalau sudah meditasi tidak lagi memerlukan sarana-sarana sebagaimana orang yang baru di tingkat dasar. Kalau meningkat ke meditasi tidak lagi memerlukan upacara-upacara. Karena pada dasarnya meditasi hanya mengendalikan pikiran. Kalau meditasi menggunakan sarana malah mengganggu. Lampu dan wewangian misalnya. Jika ada seseorang melakukan meditasi menggunakan sarana lampu atau wewangian, maka konsentrasinya bisa terpecah akibat pendar cahaya dan baunya tersebut. Dalam tatacara beribadah, agama Buddha memandang dari tingkat religiusitasnya.

Perkembangan Aliran Buddha

Agama Buddha yang muncul di abad ke-6 sebelum masehi mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam penafsiran ajaran yang memunculkan banyak aliran. Perkembangan aliran dalam Buddha tidak berbeda dengan Islam. Semua perbedaan muncul akibat perbedaan penafsiran ajaran. Akan tetapi di dalam agama Buddha ketidakadanya rambu-rambu perbedaan pendapat yang ada kemudian memunculkan banyaknya aliran tidak terkendali. Umat bebas menafsirkan apapun mengenai ajaran Sidharta. Saking bebasnya menafsirkan ajaran Buddha, ada umat yang tidak “mengakui” Buddha Gaotama. Selain itu muncul pula aliran yang mengatakan adanya Buddha baru. Di Jepang ada aliran Buddha bernama Nichiran. Buddha tersebut disebut sebagai Buddha mutakhir karena muncul belakangan. Munculnya aliran ini ialah karena sang bhikkhu yang mengajarkan ajaran Buddha sangat pintar dan dikagumi. Setelah ia wafat, pengikutnya menganggapnya sebagai Buddha mutakhir.
Walau perkembangan aliran tidak terkendali, para pemuka agama Buddha memiliki kualifikasi tersendiri mengenai aliran yang memang bisa disebut Buddhist. Mereka memiliki organisasi internasional World Federation of Buddhist yang “mengkualifikasi” aliran “resmi” dan tidak. dalam organisasi tersebut hanya aliran Theravada dan Mahayana yang bisa masuk. Berarti, WFB secara tidak langsung mengatakan bahwa Theravada dan Mahayana adalah aliran yang benar-benar Buddha.
Dalam praktiknya, para pemuka agama Buddha memang tidak bisa leluasa memberi pemahaman yang sama terhadap penganut Buddha aliran lain yang “menyimpang” dari ajaran Buddha. Akan tetapi, bhikkhu Jotidhammo berpendapat, Sulit!

Tentang Waisak

Salah satu hari terpenting dalam agama Buddha adalah hari raya Waisak. Hari tersebut merupakan peringatan kelahiran, pencerahan serta kematian Buddha Gaotama yang semua terjadi di bulan Mei. Dalam penanggalan Buddha bulan Mei disebut Waisak. Karena memperingati tiga peristiwa besar dan penting, maka hari raya Waisak disebut pula Trisuci Waisak. Kelahiran Buddha (Sidharta Gaotama) pada tahun 623 SM, pencerahan pada 588 SM hingga kematiannya pada 543 SM sama-sama terjadi pada saat purnama sidi di bulan Mei.
Dalam sejarahnya, Sidharta merupakan putra mahkota kerajaaan Kapilavatthu di wilayah perbatasan India-Nepal. Karena tidak cocok dengan kehidupan mewah istana, ia akhirnya pergi ke hutan dan melakukan meditasi dalam kesunyian. Akhirnya ia mendapat pencerahan, lalu mengajarkan perihal pencerahan itu kepada para pengikutnya.

Kitab Suci

Kitab suci umat Buddha ialah Tripitaka. Apakah kitab-kitab itu memang terpisah sejak dulu? Ternyata tidak. Awalnya ajaran Buddha ditulis di atas daun lontar menggunakan pisau yang disayatkan lalu diberi jelaga. Untuk membedakan maka dipisahlah tulisan-tulisan itu atas Winaya Pitaka yang berisi peraturan Bikhhu, Suta Pitaka ajaran Buddha dan Dharma Pitaka berupa ajaran metafisik. Kitab tersebut awalnya ditulis ke dalam bahasa Pali, serumpun dengan sansekerta. Kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai maca bahasa di dunia ini.
            Di Indonesia sendiri kitab Tripitaka menggunakan terjemahan bahasa Inggris. Itu sebagaimana diungkapkan oleh Bhikkhu Jotidhammo bahwa di Vihara Mendut ada Tripitaka berbahasa Inggris. Mengapa tidak mengatakan berbahasa Indonesia? Mungkin memang tidak ada kitab Tripitaka berbahasa Indonesia. Hal ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan sebab melihat sejarahnya Buddha pernah menjadi agama besar di nusantara. Di Indonesia pula terdapat banyak benda sejarah yang diyakini sebagai peninggalan agama Buddha.
Di agama Buddha, Theravada merupakan aliran yang masih menggunakan bahasa Pali dalam ritual.

Strukturalisasi Kepemimpinan

Sebagai sebuah agama yang dianut oleh banyak orang yang tersebar ke seluruh penjuru dunia, apakah dalam Buddha terdapat strukturalisasi kepemimpinan seperti halnya Paus dalam Katholik? Bhikkhu Jothidammo mengatakan tidak. Kalau pun ada tokoh Buddha yang dianggap sebagai pemimpin umat, maka wilayahnya hanya pemimpin suatu negara. Seperti di negara Tibet ada salah satu tokoh Buddha yang berpengaruh yaitu Dalay Lama. Akan tetapi dia bukanlah “paus”. Ia merupakan pemimpin agama (semacam ulama’) Buddha di Tibet. Dalay dianggap sebagai pemimpin umat Buddha sebab ia tokoh beragama Buddha yang vokal. Secara struktur, tidak ada ke-paus-an sebagaimana umat Katholik.

Agama Buddha di Indonesia Kini

Agama Buddha kini menjadi salah satu agama minoritas di Indonesia. Di sekitar Vihara Mendut saja dikelilingi oleh masyarakat muslim. Walau pun demikian, relasi antara masyarakat muslim dengan vihara sangat baik. Mereka mampu hidup rukun berdampingan walau beda keyakinan.
Di vihara-vihara yang tersebar tidak semua dipimpin oleh seorang bhikkhu. Selain banyaknya vihara, jumlah bhikkhu pun sangat terbatas. Di Jawa Tengah sendiri hanya ada 10 bhikkhu. Untuk itu, peran  bhikkhu sebagai pemuka agama Buddha di vihara digantikan seorang pemimpin vihara yang disebut Dharmaduta. Dharmaduta ini diberi pengajaran oleh para bhikkhu untuk mendalami ajaran kebuddhaan.
Dewasa ini, dan sejak awal tumbuhnya agama Buddha yang diawali “pencerahan” Sidharta Gaotama, agama Buddha tidak melakukan bermacam kegiatan dakwah. Karena pada dasarnya seseorang memeluk agama Buddha diawali dari kesadaran. Mereka, para Bhikkhu hanya melakukan pembinaan-pembinaan terhadap umat agama Buddha yang ada. Bukan mengajak orang lain mengikuti ajaran Buddha sebagai sebuah institusi agama.

2 comments:

  1. terimakasih joko atas bahan belajarnya salan KPI :D

    BY : http://alvianricie.blogspot.com/

    ReplyDelete