Sunday, June 30, 2013

Mengunjungi "Musium" yang "Pernah" Digemari


Dirangkum dari perjalanan Studi Lapangan KPI 2012/2013
ke TVRI Senin, 20 Mei 2013 (1)

Nama Kegiatan:
Studi Lapangan “Komunikasi Ukhuwwah Insaniyah” Matakuliah Studi Agama Kontemporer
Tanggal:
20 Mei 2013
Penyelenggara:
Panitia studi lapangan matakuliah Studi Agama Kontemporer
Lokasi Kegiatan:
Stasiun TVRI Yogyakarta, Vihara Mendut, Candi Borobudur
Jumlah Peserta:
125 mahasiswa dan 1 dosen

TVRI dan Eksistensinya dalam Dunia Pertelevisian

Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi televisi paling berpengaruh di Indonesia. Jutaan rakyat mengeluk-elukkan pelopor televisi di Indonesia tersebut. Bahkan siapapun yang menjadi “orang” TVRI, selalu diberi penghormatan lebih. Namun itu dulu, ketika televisi swasta belum bemunculan. Setelah stasiun televisi swasta dengan program-programnya yang luar biasa menjamur, televisi kebanggaan Indonesia itu pun tenggelam. Bahkan kini khalayak, terutama kawula muda merasa malu atau canggung untuk melihat program tayangan di TVRI.
Anang Wiharyanto selaku Humas TVRI Yogyakarta menjelaskan sedikitnya ada 3 hal yang menyebabkan TVRI kesulitan bersaing dengan televisi swasta. Pertama, TVRI tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Ia mencontohkan, di TVRI Yogyakarta kini tersisa 130-an pegawai. Padahal dulu ada sekitar 300-an. Pegawai TVRI itu pun dibatasi usia sebagaimana pegawai negeri sipil. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah SDM yang keluar tidak diimbangi dengan SDM yang masuk.
Pegawai di TVRI pun bisa dikatakan angkatan lampau, karena kenyataannya memang demikian. Rata-rata usia pegawai sudah menapaki usia 45-an ke atas. Mereka merupakan angkatan muda tahun 80-90’an yang secara alami memiliki taste berbeda dengan anak muda jaman sekarang. Untuk itu Anang memaklumi apabila kawula muda tidak tertarik menonton siaran di TVRI.  Dan semakin legawa apabila TVRI disebut sebagai TV-nya orang tua.
Kedua, TVRI kesulitan dana. Karena sumber dana adalah APBN, maka jumlahnya sangat terbatas. Di TVRI Yogyakarta misalnya, pada 2010 silam disuntik dana sejumlah 14 milyar. Sekilas jumlah tersebut fatastis. Namun setelah dikalkulasi, sebanyak 11 milyar digunakan untuk membayar pegawai. Jadi tersisa 3 milyar untuk membuat program tayangan hingga 52 jam tayang. Itu belum dihitung penggunaan alat-alat kantor seperti kertas, tinta dan lain sebagainya. Hal itu tentu menyulitkan pihak TVRI Yogyakarta untuk menghadirkan tayangan yang berkualitas.
“Hanya 800-ribu bujet yang kami anggarkan untuk satu tayangan,” jelas Anang.   “Bahkan band juara kompetisi tingkat kecamatan sering kami undang untuk tampil,” lanjutnya untuk menunjukkan betapa mereka kesulitan dalam masalah pendanaan. Ia menjelaskan bahwa tidak mungkin menghadirkan band-band besar seperti Noah karena keterbatasan dana. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh yang tampil tidak dibayar. Untuk mengajukan iklan ke perusahaan-perusahaan besar, hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Karena perusahaan besar pasti lebih memilih stasiun TV di Jakarta. Maka iklan di TVRI Yogyakarta sebatas perusahaan-perusahaan lokal yang jumlahnya tidak banyak.
Terakhir, TVRI khususnya TVRI Yogyakarta memiliki keterbatasan alat dan tempat. Mereka harus memaksimalkan apa yang ada dengan target tayangan yang baik dan berkualitas. Anang bercerita bahwa ia sampai dirubung semut karena melakukan reportase siaran di pabrik gula.
Namun semua itu didasari niat mulia untuk mengabdi pada negara. TVRI, bagaimana pun keadaannya harus tetap memperjuangkan idealisme yang sejak dahulu dibangun. Salah satunya dengan menghindari tayangan berunsur pornografi yang kini banyak digemari. Mereka berkomitmen untuk menayangkan program yang mengandung unsur pendidikan, baik pendidikan akademik, pendidikan moral maupun kebudayaan. Atas komitmen itu, seratus dua puluh mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam memberi aplaus.
“Ya, seperti inilah,” tukas Anang di ruang studio bernuansakan ‘ketoprakan’. Mereka berupaya melestarikan tradisi budaya yang mulai asing di telinga masyarakat. Dengan keadaan serba terbatas, TVRI terus berupaya menunjukkan eksistensinya di tengah terpaan tayangan-tayangan stasiun lain yang lebih banyak digemari. Mulai 2011 lalu, dana untuk TVRI daerah mulai ditambah sejumlah total 17 milyar.
Selain menceritakan keadaan TVRI Yogyakarta, Anang mengulas beberapa strategi yang dilakukan TVRI Yogyakarta untuk menarik minat pemirsa. Salah satunya dengan menayangkan berbagai hal mengenai kesitimewaan Yogyakarta. Ia menjabarkan bagaimana rating TVRI Yogyakarta sempat menanjak pada saat geger keistimewaan Yogyakarta. Grafik penayangan TVRI secara umum, baik nasional maupun daerah akhir-akhir ini pun mengalami perkembangan dibanding tahun-tahun sebelumnya. TVRI Yogyakarta menjadi yang teristimewa karena memiliki statistik lebih baik dari TVRI daerah lainnya.
“Saat saya membaca laporan BPS, ternyata data menunjukkan banyak lansia yang tinggal di Yogyakarta. Wajar ratingnya tinggi,” celetuk Anang yang disambut gerr seluruh isi ruangan.
Program-program yang sifatnya “ngenomi” kini mulai ditayangkan TVRI. Contohnya ialah Serie A Liga Italia. Banyak penduduk Indonesia yang hobi menonton bola. Hal tersebut sangat baik untuk membangun kembali citra stasiun televisi nasional yang pernah mengalami masa-masa kejayaan. TVRI menjadi stasiun televisi pemerintah yang tidak merakyat, dalam artian banyak rakyat yang merasa tidak menjadi bagian TVRI. Padahal sejatinya stasiun TVRI itulah milik rakyat karena sumber dananya dari pajak rakyat. Pamor TVRI tidak seperti TV negara BBC, CNN atau Jazeera yang dicintai rakyatnya di negara masing-masing. Ironis!

Setelah membicarakan banyak hal, Anang memandu rombongan melihat beberapa ruang studio yang dimiliki TVRI Yogyakarta. Beberapa mahasiswa berkomentar peralatan yang dimiliki sudah canggih. Studionya pun megah. Namun jika dibandingkan dengan stasiun tv kampus. Bagaimana jika dibandingkan dengan tv swasta seperti Transcorp, MNCmedia atau Metro TV? Semoga TVRI segera menapaki masa kejayaannya lagi.

0 comments:

Post a Comment