Dirangkum dari perjalanan Studi Lapangan
KPI 2012/2013
ke TVRI Senin, 20 Mei 2013 (1)
Nama Kegiatan:
Studi Lapangan “Komunikasi Ukhuwwah Insaniyah” Matakuliah Studi
Agama Kontemporer
Tanggal:
20 Mei 2013
Penyelenggara:
Panitia studi lapangan matakuliah Studi Agama Kontemporer
Lokasi Kegiatan:
Stasiun TVRI Yogyakarta, Vihara Mendut, Candi Borobudur
Jumlah Peserta:
125 mahasiswa dan 1 dosen
TVRI
dan Eksistensinya dalam Dunia Pertelevisian
Televisi
Republik Indonesia (TVRI) menjadi televisi paling berpengaruh di Indonesia.
Jutaan rakyat mengeluk-elukkan pelopor televisi di Indonesia tersebut. Bahkan
siapapun yang menjadi “orang” TVRI, selalu diberi penghormatan lebih. Namun itu
dulu, ketika televisi swasta belum bemunculan. Setelah stasiun televisi swasta
dengan program-programnya yang luar biasa menjamur, televisi kebanggaan
Indonesia itu pun tenggelam. Bahkan kini khalayak, terutama kawula muda merasa
malu atau canggung untuk melihat program tayangan di TVRI.
Anang
Wiharyanto selaku Humas TVRI Yogyakarta menjelaskan sedikitnya ada 3 hal yang
menyebabkan TVRI kesulitan bersaing dengan televisi swasta. Pertama,
TVRI tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Ia mencontohkan, di
TVRI Yogyakarta kini tersisa 130-an pegawai. Padahal dulu ada sekitar 300-an.
Pegawai TVRI itu pun dibatasi usia sebagaimana pegawai negeri sipil. Data
tersebut menunjukkan bahwa jumlah SDM yang keluar tidak diimbangi dengan SDM
yang masuk.
Pegawai
di TVRI pun bisa dikatakan angkatan lampau, karena kenyataannya memang
demikian. Rata-rata usia pegawai sudah menapaki usia 45-an ke atas. Mereka
merupakan angkatan muda tahun 80-90’an yang secara alami memiliki taste
berbeda dengan anak muda jaman sekarang. Untuk itu Anang memaklumi apabila
kawula muda tidak tertarik menonton siaran di TVRI. Dan semakin legawa apabila TVRI disebut
sebagai TV-nya orang tua.
Kedua, TVRI kesulitan dana. Karena sumber dana adalah APBN, maka
jumlahnya sangat terbatas. Di TVRI Yogyakarta misalnya, pada 2010 silam
disuntik dana sejumlah 14 milyar. Sekilas jumlah tersebut fatastis. Namun setelah
dikalkulasi, sebanyak 11 milyar digunakan untuk membayar pegawai. Jadi tersisa
3 milyar untuk membuat program tayangan hingga 52 jam tayang. Itu belum
dihitung penggunaan alat-alat kantor seperti kertas, tinta dan lain sebagainya.
Hal itu tentu menyulitkan pihak TVRI Yogyakarta untuk menghadirkan tayangan
yang berkualitas.
“Hanya
800-ribu bujet yang kami anggarkan untuk satu tayangan,” jelas Anang. “Bahkan
band juara kompetisi tingkat kecamatan sering kami undang untuk tampil,” lanjutnya
untuk menunjukkan betapa mereka kesulitan dalam masalah pendanaan. Ia
menjelaskan bahwa tidak mungkin menghadirkan band-band besar seperti Noah
karena keterbatasan dana. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh yang tampil tidak
dibayar. Untuk mengajukan iklan ke perusahaan-perusahaan besar, hal tersebut
tidak mungkin dilakukan. Karena perusahaan besar pasti lebih memilih stasiun TV
di Jakarta. Maka iklan di TVRI Yogyakarta sebatas perusahaan-perusahaan lokal
yang jumlahnya tidak banyak.
Terakhir, TVRI khususnya TVRI Yogyakarta memiliki keterbatasan alat dan
tempat. Mereka harus memaksimalkan apa yang ada dengan target tayangan yang
baik dan berkualitas. Anang bercerita bahwa ia sampai dirubung semut karena
melakukan reportase siaran di pabrik gula.
Namun
semua itu didasari niat mulia untuk mengabdi pada negara. TVRI, bagaimana pun
keadaannya harus tetap memperjuangkan idealisme yang sejak dahulu dibangun.
Salah satunya dengan menghindari tayangan berunsur pornografi yang kini banyak
digemari. Mereka berkomitmen untuk menayangkan program yang mengandung unsur
pendidikan, baik pendidikan akademik, pendidikan moral maupun kebudayaan. Atas
komitmen itu, seratus dua puluh mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam
memberi aplaus.
“Ya,
seperti inilah,” tukas Anang di ruang studio bernuansakan ‘ketoprakan’. Mereka
berupaya melestarikan tradisi budaya yang mulai asing di telinga masyarakat.
Dengan keadaan serba terbatas, TVRI terus berupaya menunjukkan eksistensinya di
tengah terpaan tayangan-tayangan stasiun lain yang lebih banyak digemari. Mulai
2011 lalu, dana untuk TVRI daerah mulai ditambah sejumlah total 17 milyar.
Selain
menceritakan keadaan TVRI Yogyakarta, Anang mengulas beberapa strategi yang
dilakukan TVRI Yogyakarta untuk menarik minat pemirsa. Salah satunya dengan
menayangkan berbagai hal mengenai kesitimewaan Yogyakarta. Ia menjabarkan
bagaimana rating TVRI Yogyakarta sempat menanjak pada saat geger keistimewaan
Yogyakarta. Grafik penayangan TVRI secara umum, baik nasional maupun daerah akhir-akhir
ini pun mengalami perkembangan dibanding tahun-tahun sebelumnya. TVRI
Yogyakarta menjadi yang teristimewa karena memiliki statistik lebih baik dari
TVRI daerah lainnya.
“Saat
saya membaca laporan BPS, ternyata data menunjukkan banyak lansia yang tinggal
di Yogyakarta. Wajar ratingnya tinggi,” celetuk Anang yang disambut gerr
seluruh isi ruangan.
Program-program
yang sifatnya “ngenomi” kini mulai ditayangkan TVRI. Contohnya ialah Serie A
Liga Italia. Banyak penduduk Indonesia yang hobi menonton bola. Hal tersebut
sangat baik untuk membangun kembali citra stasiun televisi nasional yang pernah
mengalami masa-masa kejayaan. TVRI menjadi stasiun televisi pemerintah yang
tidak merakyat, dalam artian banyak rakyat yang merasa tidak menjadi bagian
TVRI. Padahal sejatinya stasiun TVRI itulah milik rakyat karena sumber dananya
dari pajak rakyat. Pamor TVRI tidak seperti TV negara BBC, CNN atau Jazeera
yang dicintai rakyatnya di negara masing-masing. Ironis!
Setelah
membicarakan banyak hal, Anang memandu rombongan melihat beberapa ruang studio
yang dimiliki TVRI Yogyakarta. Beberapa mahasiswa berkomentar peralatan yang
dimiliki sudah canggih. Studionya pun megah. Namun jika dibandingkan dengan
stasiun tv kampus. Bagaimana jika dibandingkan dengan tv swasta seperti
Transcorp, MNCmedia atau Metro TV? Semoga TVRI segera menapaki masa kejayaannya
lagi.
0 comments:
Post a Comment