Sunday, June 16, 2013

Manusia Bumi dan Langit

Lamunan 8

Setelah membaca novel JA Sonjaya berjudul Manusia Langit, ternyata keprimitifan sebuah pulau itu tidak dapat disalahkan begitu saja. Apalagi ketika memasukkan dogma agama yang bersebrangan dengan tradisi adat, maka perlu pendekatan yang tidak mudah. Namun tidak perlu membahas terlalu jauh isi buku luar biasa yang membuka mata lebih lebar bahwa di sana masih ada kehidupan yang berbeda. "Bumi itu satu, tapi dunia banyak," kata Fiqoh, tokoh perempuan yang muncul belakangan dalam novel tersebut.
Istilah manusia langit dan manusia bumi sebenarnya hanya kiasan. Ini memiliki benang merah dengan apa yang pernah dikatakan seorang kiai mengenai keoptimisan. Ya, optimisme yang tak jarang salah kaprah sehingga jika terjatuh akan luar biasa sakitnya. Seorang kiai pernah berkata, di atas optimis ada khayalan. Di bawahnya ada pesimis. Jadi optimis adalah pertengahan antara dua kutub yang bersebrangan.
Seorang siswa ingin jadi pilot dan optimis bisa mencapainya. Tapi ia justru bergelut dengan dunia presenter. Ya tidak akan nemu titiknya. Inilah yang disebut khayalan. Seorang memiliki kecerdasan intelektual luar biasa tapi takut menghitung 2 x 2 karena takut salah. Ini namanya pesimis. Sikap psimis membuahkan keraguan sedang optimisme yang berlebihan berakibat arogan. So, semua musti berada di jalur masing-masing.
Apa hubungannya dengan manusia bumi dan langit? Saya ingat seorang sahabat bertanya dalam suatu forum kepada narasumber. Ia merasa ironis karena teman-temannya memiliki sikap apatis terhadap persoalan struktural (baik negara, kampus dll). Mungkin, jika saya garis bawahi, kegundahan sahabat saya itu karena implikasi dari sikap apatis membuat mahasiswa menjadi bebek yang mudah dikendalikan oleh tuannya. Ketika suruh ke sana, ikut ke sana. Akibatnya tidak ada perlawanan jika suatu kebijakan melanggar hukum dan norma. Okelah, bisa diterima jika demikian.
Namun saya lebih mengelus dada apabila melihat orang sudah apatis terhadap hal-hal kecil. Misalnya saja mengenai isu-isu kemasyarakatan. Banyak yang sibuk menatap langit tapi lupa bahwa kaki masih di bumi. Sementara di sekelilingnya, orang-orang termenung karena tidak tahu apa yang akan diperbuat. Makanya ketika suatu ideologi masuk dan diterima, itu menjadi suatu kewajaran. Masuknya ideologi yang merongrong keutuhan NKRI salah satunya karena sikap elit negara ini yang terlalu memikirkan persoalan langit. Pesantren sibuk mikir akhirat. Siswa sibuk mikir SNMBPTN. Mahasiswa sibuk menatap gelar. Magister sibuk menulis syarat doktor. Doktor sibuk merubah nama menjadi profesor. Profesor? Ah, entahlah! Pendidikan sekarang lebih menanamkan nilai fly to sky, bukan back to village.
Ironis ketika masyarakat bumi masih belum mengerti cara bertani, orang langit berlomba-lomba memberi makan. Dan ketika orang langit kehabisan bahan makanan, orang bumi harus bagaimana? Sementara mereka urung mampu untuk bertani. Satu-satunya jalan ialah memakan temannya sendiri. KANIBAL! Ya, saling tikam. Biarlah jutaan orang menatap langit. Aku cukup melihat bumi sebagai sarana menjemput langit. 

0 comments:

Post a Comment