P
|
eriode
Rosul dan para sahabat merupakan tonggak di mana peradaban umat Islam
terbentuk. Perlu diketahui bahwa ada tiga fase dalam Islam, terutama dalam
perjalanan hukumnya. Fase tersebut terjadi di masa yang berurutan. Yang pertama
terbentuk, kemudian tumbuh menjadi masak (dewasa), kemudian berhenti dan
membeku.
Fase pertama meliputi dua periode yaitu periode Rasul dan sahabat. Periode
Rasul disebut sebagai periode insya’ dan takwin (pertumbuhan dan
pembentukan), yang berlangsung selama kurang lebih 23 tahun. Yaitu semenjak
diangkatnya Rasul pada 610 M sampai wafatnya pada 672 M/11 H. Periode sahabat
disebut sebagai periode tafsir dan takmil (penafsiran dan
penyempurnaan) yang berlangsung selama 90 tahun. Yaitu semenjak wafatnya Rasul
pada 11 H sampai akhir abad pertama hijriyah. Fase kedua disebut fase tadwin
(pembukuan dan munculnya imam mujtahid) yang berlangsung selama 250 tahun dari
100 H sampai 350 H sementara fase terakhir yaitu periode taqlid disebut
sebagai periode jumud dan wuquf (beku dan berhenti) yang
berlangsung mulai pertengahan abad hingga kini.
Periode
Rasul terdiri dari dua fase berlainan:
1.
Fase
Rasul di Makkah (sekitar 13 tahun) dimulai masa kerasulan hingga hijrah. Dalam
masa ini umat muslim masih sedikit dan lemah.
2.
Fase
Rasul berada di Madinah (sekitar 10 tahun) dimulai masa hijrah hingga wafatnya.
Di fase ini Islam telah terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan dan dakwah
berjalan lancar. Tasyri’ atau undang-undang mulai diberlakukan untuk mengatur
kehidupan umat.
Pada
periode ini Rasul menjadi pengendali hukum tasyri’ yang bersumber dari Al
Qur’an dan ijtihad Rasul berdasar ilham
dari Allah yang kemudian dikenal sebagai hadits. Walau Rasul merupakan
pengendali hukum tasyri’, tidak menutup kemungkinan selain Rasul (dalam konteks
ini sahabat) diperbolehkan berijtihad. Para sahabat diperbolehkan berijtihad
dalam situasi khusus yang sangat mendesak.
Periode sahabat dimulai sejak 11 H yang ditandai dengan penafsiran
undang-undang dan terbukanya pintu istimbath hukum dalam
kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari para sahabat banyak keluar
fatwa hukum mengenai kejadian yang tidak ada nashnya, dan dipandang sebagai
dasar dalam berijtihad dan beristimbath. Di periode ini ada tiga sumber tasyri’
yaitu Al Qur’an, As Sunnah dan ijtihad sahabat.
Pemikiran untuk membukukan Al Qur’an muncul atas inisiatif Umar bin
Khattab. Ia mengajukan pendapatnya kepada khalifah Abu Bakar. Awalnya khalifah
menolak karena hal ini memunculkan bid’ah. Namun argumen Umar yang mengatakan
banyaknya huffadz yang meninggal di medan Yamamah membuat khalifah setuju. Al
Qur’an semasa nabi hidup dihafal oleh para sahabat dan ditulis di berbagai
media seperti daun, batu dan pelepah kurma. Tulisan-tulisan itu dihimpun dan
diteliti oleh para huffadz yang dipilih sebagai tim pemushafan agar memperoleh
keabsahan yang tinggi. Zaid bin Tsabit merupakan salah satu tokoh terpenting
dalam pemushafan ini. Mushaf pertama disimpan oleh Abu Bakar kemudian Umar lalu
kepada putri Umar, Hafshah. Di masa khalifah Utsman mushaf Al Qur’an ditulis
kembali dengan mengcopinya menjadi beberapa mushaf (6 mushaf) yang disebar di
berbagai negara. Mushaf ini disusun karena perbedaan bacaan di kalangan umat
telah berada dalam taraf membahayakan, sehingga perlu adanya Al Qur’an ‘resmi’
yang menyatukan seluruh bacaan yang berbeda, baik dialek maupun i’rab dan
lainnya.
Di periode ini dipikirkan pula bagaimana cara membukukan Al Hadits,
tepatnya oleh khalifah pengganti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Namun setelah bermusyawarah
kepada para sahabat beliau khawatir karena saat itu hanya dikenal satu versi As
Sunnah dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash yang mempunyai sebuah lembaran bernama
As Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang didengar dari Rasulullah.
Lagipula Rasul melarang sahabat mencatat Al Hadits untuk dipublikasikan. Walau
usaha-usaha para sahabat untuk membukukan hadits dimaksimalkan, namun hal ini
belum mencapai hasil. Sehingga umat muslim belum memiliki buku hadits yang
dikumpulkan seperti Al Qur’an.
Perkembangan Islam yang pesat dan meluasnya daerah kekuasaan
mengharuskan dikirimnya sahabat-sahabat di tempat yang berlainan. Karena tidak
mungkin apabila pengendali tasyri’ dari khalifah saja, maka ijtihad sahabat
berupa fatwa dilakukan oleh tokoh di wilayah-wilayah tertentu. Tak jarang
perbedaan pendapat terjadi. Akan tetapi inti dari ijtihad itu sama, menjelaskan
nash dan mewujudkan kemaslahatan, serta memelihara kemudahan serta keringanan
umat Islam.
Pengaruh
yang ditimbulkan oleh periode sahabat ada tiga.
1.
Pensyarahan
perundang-undangan bagi nash-nash hukum dalam Al Qur’an dan As Sunnah
2.
Bermacam-macamnya
ijtihad sahabat pada kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya
3.
Mulai
terjadi perpecahan pada berbagai fraksi politik karena masalah kekhalifahan dan
masalah khalifah, kemudian perpecahan merembet ke masalah agama yang membawa
pengaruh bahaya terhadap perundang-undangan Islam. Seperti perpecahan antara
khalifah Ali dan Muawiyyah, juga lahirnya golongan khawarij dan syi’ah.(esjo)
0 comments:
Post a Comment