Saturday, June 1, 2013

STUDI ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW DAN SAHABAT



P
eriode Rosul dan para sahabat merupakan tonggak di mana peradaban umat Islam terbentuk. Perlu diketahui bahwa ada tiga fase dalam Islam, terutama dalam perjalanan hukumnya. Fase tersebut terjadi di masa yang berurutan. Yang pertama terbentuk, kemudian tumbuh menjadi masak (dewasa), kemudian berhenti dan membeku.
Fase pertama meliputi dua periode yaitu periode Rasul dan sahabat. Periode Rasul disebut sebagai periode insya’ dan takwin (pertumbuhan dan pembentukan), yang berlangsung selama kurang lebih 23 tahun. Yaitu semenjak diangkatnya Rasul pada 610 M sampai wafatnya pada 672 M/11 H. Periode sahabat disebut sebagai periode tafsir dan takmil (penafsiran dan penyempurnaan) yang berlangsung selama 90 tahun. Yaitu semenjak wafatnya Rasul pada 11 H sampai akhir abad pertama hijriyah. Fase kedua disebut fase tadwin (pembukuan dan munculnya imam mujtahid) yang berlangsung selama 250 tahun dari 100 H sampai 350 H sementara fase terakhir yaitu periode taqlid disebut sebagai periode jumud dan wuquf (beku dan berhenti) yang berlangsung mulai pertengahan abad hingga kini.
Periode Rasul terdiri dari dua fase berlainan:
1.      Fase Rasul di Makkah (sekitar 13 tahun) dimulai masa kerasulan hingga hijrah. Dalam masa ini umat muslim masih sedikit dan lemah.
2.      Fase Rasul berada di Madinah (sekitar 10 tahun) dimulai masa hijrah hingga wafatnya. Di fase ini Islam telah terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan dan dakwah berjalan lancar. Tasyri’ atau undang-undang mulai diberlakukan untuk mengatur kehidupan umat.
Pada periode ini Rasul menjadi pengendali hukum tasyri’ yang bersumber dari Al Qur’an  dan ijtihad Rasul berdasar ilham dari Allah yang kemudian dikenal sebagai hadits. Walau Rasul merupakan pengendali hukum tasyri’, tidak menutup kemungkinan selain Rasul (dalam konteks ini sahabat) diperbolehkan berijtihad. Para sahabat diperbolehkan berijtihad dalam situasi khusus yang sangat mendesak.
Periode sahabat dimulai sejak 11 H yang ditandai dengan penafsiran undang-undang dan terbukanya pintu istimbath hukum dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari para sahabat banyak keluar fatwa hukum mengenai kejadian yang tidak ada nashnya, dan dipandang sebagai dasar dalam berijtihad dan beristimbath. Di periode ini ada tiga sumber tasyri’ yaitu Al Qur’an, As Sunnah dan ijtihad sahabat.
Pemikiran untuk membukukan Al Qur’an muncul atas inisiatif Umar bin Khattab. Ia mengajukan pendapatnya kepada khalifah Abu Bakar. Awalnya khalifah menolak karena hal ini memunculkan bid’ah. Namun argumen Umar yang mengatakan banyaknya huffadz yang meninggal di medan Yamamah membuat khalifah setuju. Al Qur’an semasa nabi hidup dihafal oleh para sahabat dan ditulis di berbagai media seperti daun, batu dan pelepah kurma. Tulisan-tulisan itu dihimpun dan diteliti oleh para huffadz yang dipilih sebagai tim pemushafan agar memperoleh keabsahan yang tinggi. Zaid bin Tsabit merupakan salah satu tokoh terpenting dalam pemushafan ini. Mushaf pertama disimpan oleh Abu Bakar kemudian Umar lalu kepada putri Umar, Hafshah. Di masa khalifah Utsman mushaf Al Qur’an ditulis kembali dengan mengcopinya menjadi beberapa mushaf (6 mushaf) yang disebar di berbagai negara. Mushaf ini disusun karena perbedaan bacaan di kalangan umat telah berada dalam taraf membahayakan, sehingga perlu adanya Al Qur’an ‘resmi’ yang menyatukan seluruh bacaan yang berbeda, baik dialek maupun i’rab dan lainnya.
Di periode ini dipikirkan pula bagaimana cara membukukan Al Hadits, tepatnya oleh khalifah pengganti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Namun setelah bermusyawarah kepada para sahabat beliau khawatir karena saat itu hanya dikenal satu versi As Sunnah dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash yang mempunyai sebuah lembaran bernama As Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang didengar dari Rasulullah. Lagipula Rasul melarang sahabat mencatat Al Hadits untuk dipublikasikan. Walau usaha-usaha para sahabat untuk membukukan hadits dimaksimalkan, namun hal ini belum mencapai hasil. Sehingga umat muslim belum memiliki buku hadits yang dikumpulkan seperti Al Qur’an.
Perkembangan Islam yang pesat dan meluasnya daerah kekuasaan mengharuskan dikirimnya sahabat-sahabat di tempat yang berlainan. Karena tidak mungkin apabila pengendali tasyri’ dari khalifah saja, maka ijtihad sahabat berupa fatwa dilakukan oleh tokoh di wilayah-wilayah tertentu. Tak jarang perbedaan pendapat terjadi. Akan tetapi inti dari ijtihad itu sama, menjelaskan nash dan mewujudkan kemaslahatan, serta memelihara kemudahan serta keringanan umat Islam.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh periode sahabat ada tiga.
1.      Pensyarahan perundang-undangan bagi nash-nash hukum dalam Al Qur’an dan As Sunnah
2.      Bermacam-macamnya ijtihad sahabat pada kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya

3.      Mulai terjadi perpecahan pada berbagai fraksi politik karena masalah kekhalifahan dan masalah khalifah, kemudian perpecahan merembet ke masalah agama yang membawa pengaruh bahaya terhadap perundang-undangan Islam. Seperti perpecahan antara khalifah Ali dan Muawiyyah, juga lahirnya golongan khawarij dan syi’ah.(esjo)

0 comments:

Post a Comment