BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
“Diam” tak jarang menjadi salah satu cara
komunikasi yang efektif, sebab diam memunculkan makna pasti. Namun tak sedikit
yang mengatakan, penghambat komunikasi salah-satunya disebabkan keadaan
antarpersonal dalam komunikasi saling diam.
Seseorang yang diam bisa memberikan makna yang jelas terhadap
komunikan. Akan tetapi semua itu tak dapat lepas dari keadaan seseorang, budaya
dan adat kebiasaan suatu tempat atau daerah. Diam merupakan bentuk komunikasi
nonverbal yang tidak menafikan keterkaitannya dengan kondisi sosiokultural
suatu tempat/daerah. Ini yang kebanyakan menjadi titik perdebatan antara ulama’
salaf yang masih berpegang teguh pada paham konservatif dengan ulama’ kontemporer
yang tidak memisahkan hukum teks dari konteksnya.
Maka ketika Imam Suyuthi dalam karya monumentalnya Al-Asybah wa
An-Nadhair mengklasifikasikan adanya tujuh perkara yang terkecuali dari
kaidah “yang diam tidak bisa dianggap bicara”, di mana tujuh perkara itu salah
satunya menyebut diamnya gadis saat perjodohan dianggap mengatakan “ya”.
Banyak orang yang sependapat dengan Imam Suyuthi tanpa memandang di
mana hukum itu diberlakukan. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri perbedaan
adat dan sosio-kultural bisa mempengaruhi makna pesan nonverbal. Makalah ini
membahas diam dari perspektif komunikasi yang berujung pada penetapan hukum,
sebagaimana ditulis oleh Imam Suyuthi tersebut.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Makalah ini disusun berdasar rumusan pertanyaan-pertanyaan:
1)
Apakah
diam tergantung pada kondisi sosio-kultural suatu daerah?
2)
Mengapa
dikatakan demikian?
3)
Bagaimana
diam menjadi komunikasi yang berhukum?
C.
TUJUAN
MAKALAH
Makalah
ini disusun guna melengkapi tugas Pengantar Ilmu
Komunikasi yang diampu oleh Bapak Abdul Razaq. Isi di dalam makalah ini membahas
“diam” serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Pembahasan tidak terbatas
sekedar teori-teori ilmu komunikasi, namun disertai penjelasan dari ilmu-ilmu
lain seperti ilmu psikologi, sosiologi, hukum fiqh dan lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Diam
dan Komunikasi Nonverbal
ASSUKUTU salamatun. Begitu bunyi adigium dalam bahasa Arab yang berarti diam itu
selamat. Sebuah ungkapan yang mengingatkan bahwa diam memiliki makna tersendiri
di balik ketiadaan kata-kata. Oleh karenanya tanpa kata, diam dikategorikan
sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal disepakati sebagai
komunikasi yang lebih efektif dibanding dengan komunikasi verbal yang hanya
mendapat presentase 35%. Namun bagaimana diam bisa dipahami sebagai bentuk
komunikasi yang efektif?
Ruang dan waktu
adalah bagian dari lingkungan kita yang juga dapat diberi makna. John Cage
mengatakan, tidak ada sesuatu yang disebut ruang kosong atau waktu kosong.
Selalu ada sesuatu untuk dilihat, sesuatu untuk didengar. Sebenarnya,
bagaimanapun kita berusaha untuk diam, kita tidak dapat melakukannya. Amatullah
(Jyly) Armstrong, seorang sufi perempuan Australia, mengatakan bahwa musik
terindah baginya adalah keheningan malam saat ia berdoa kepada Allah. Penyanyi
dan penulis lagu Paul Simon paling diingat karena lagunya “The Sound of
Silence”. (“Suara Diam”). Bagi sebagian orang, judul lagu yang dinyanyikan
Simon dan Garfunkel ini tampaknya mengandung kata-kata yang bertentangan, namun
lagu itu menunjukkan kekuatan diam ketika kita berkomunikasi. Maka tidaklah
mengejutkan, dalam beberapa kasus perkosaan yang digelar dalam pengadilan di
Indonesia, tuduhan jaksa bahwa si terdakwa telah memperkosa dapat dimentahkan
oleh argumen terdakwa atau pembelanya bahwa perempuan yang menjadi korban
berdiam diri, tidak mengaduh, menjerit atau berteriak. Mereka berkilah bahwa perempuan
korban pun “menikmati” tindakan terdakwa. Akan tetapi, boleh jadi, perempuan
tersebut tidak melakukan perlawanan, tidak mengaduh, menjerit atau berteriak,
karena ia khawatir dianiaya atau dibunuh oleh pemerkosanya[1].
Ini menunjukkan kompleksitas penafsiran diam dari berbagai sudut pandang.
Dalam kamus online www.artikata.com kata “diam” berarti tidak
bersuara (berbicara). Dalam konteks komunikasi, diam dapat diartikan
bermacam-macam. Sebagai contoh ketika para sahabat Rasul berbuat sesuatu dan
Rasul diam, artinya perbuatan itu tidak dilarang. Ketika seorang anak meminta
sesuatu kepada ibunya, dan si ibu merespon dengan diam disertai lirikan
mata mengancam, maka bisa berarti tidak
boleh.
Akan tetapi setiap
tempat/daerah bisa memiliki penafsiran berbeda atas satu rambu-rambu komunikasi
nonverbal. Hal ini yang menjadi alasan mengapa diam perlu dikaji sebelum
ditentukan menjadi lambang dan berujung ditetapkannya hukum.
B.
Relevansi
Makna Diam antara Ulama’ Konservatif dan Kondisi Sosio-Kultural Masyarakat Indonesia
Dalam
tradisi masyarakat Arab, suatu perjodohan bukanlah termasuk hal yang tabu.
Tetapi hak calon mempelai perempuan untuk menerima atau menolak calon
pasangannya tetap diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Sehingga
jawaban calon mempelai perempuan tersebut berpengaruh pada kelanjutan lamaran
yang diajukan. Seorang calon mempelai perempuan yang jelas-jelas mengatakan
tidak, otomatis membuat perjodohan itu berpotensi untuk dibatalkan. Berbeda
jika perempuan tersebut diam. Dalam kultur Arab, diamnya perawan diartikan
sebagai indikasi kesediaan (mau). Hal ini mengacu pada hadits nabi Muhammad SAW
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر ،
وإذنها سكوتها. اخرجه البخاري في
صحيحه
“Perempuan janda lebih berhak atas
dirinya daripada walinya. Perempuan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah
diamnya
(HR. Bukhari)
Dalam hadits tersebut tercantum dua
status sosial, yaitu janda dan gadis. Ulama konservatif tetap mempertahankan
prinsip bahwa yang dinamakan janda ialah perempuan yang sudah dinikah kemudian
dicerai atau ditinggal wafat suaminya. Sementara gadis ialah perempuan yang
masih perawan. Terlepas usia dan faktor-faktor lainnya, apakah makna diam dalam
perjodohan bisa bermakna sama?
Jika mengacu pada prinsip ilmu
komunikasi khususnya psikologi komunikasi, situasi yang terjadi seperti yang
tersebut di atas dinamakan “double binding”. Ketika pesan nonverbal
bertentangan dengan pesan verbal, orang bersandar pada pesan nonverbal. Dalam
kaidah ilmu fiqh ini bisa dikatakan sebagai pertentangan antara lafadz dan
makna. Kaidah ilmu fiqh menyebut jika ada pertentangan antara lafaz dan makna
(hati), maka makna itu yang ditunaikan.
Akan tetapi, dalam kaidah-kaidah fiqh
disebutkan, setiap hal pasti terdapat pengecualian. Kaidah mengenai diam disebut
(لاينسب الى ساكة قول)“laa yunsabu ila saakitin qoulun”[2],
yang diam tidak dianggap bicara.
Contoh yang dikemukakan ialah
diamnya janda tidak bisa dianggap mengucap “ya”. Sedikitnya ada 7 (tujuh)
pendapat dari Imam Suyuthi yang menjadi pengecualian. Tujuh masalah itu adalah;
1.
Diamnya
gadis saat diberitahu hendak dikawinkan, dianggap memberi izin/tidak menolak.
2.
Terdakwa
yang seharusnya disumpah, ketika diminta untuk bersumpah ternyata diam saja.
menurut hukum ia dianggap tidak berani/tidak mau bersumpah.
3.
Sebagian
orang yang mengikat perjanjian dan melanggar janji, sedang yang lain diam saja
(tidak melakukan klarifikasi), menurut hukum semua orang yang termasuk dalam
blok tersebut telah merusak janji (imam Suyuthi menulisnya dengan sebutan
kelompok kafir yang sebagiannya ingkar janji).
4.
Majikan
dari budak yang merusak hak milik orang lain, wajib mengganti barang yang
dirusak budaknya kalau ia tahu dan diam saja.
5.
Seorang
sedang ihram, tetapi diam saja ketika temannya mencukur, menurut hukum ia wajib
membayar fidyah.
6.
Seseorang
menjual budak dan budak itu diam saja (walau ia bukan milik si penjual)
dianggap bahwa ia benar-benar milik orang yang menjual.
7.
Seorang
membaca/presentasi di depan guru dan guru tersebut diam saja, maka bacaan orang
tersebut dianggap sebagaimana bacaan guru.
Makalah ini selanjutnya menekankan
komunikasi diam mengenai diamnya seorang gadis di masyarakat khususnya
masyarakat Indonesia yang dijodohkan. Pertimbangan yang digunakan adalah
pendapat ulama’ Imam ‘Izzudin bin Abdissalam yang mengatakan bahwa kaidah fiqh
hanya berkisar dan berpusat kepada satu kaidah “Jalbu al-Mashalih wa dar’u
al-mafasid”. Menarik kebaikan dan menolak kerusakan.
C.
Perempuan,
Pernikahan dan Makna Diam dalam Komunikasi
Pernikahan merupakan suatu ritual yang sakral bagi umat manusia.
Dalam Islam, pernikahan dijadikan pembuka hijab antara seorang lelaki dan
perempuan, yang menjadikan hubungan keduanya menjadi halal. Setiap daerah
memiliki adat istiadat dalam melaksanakan ritual ini.
Di Minangkabau,
misalnya, pihak perempuan justru yang melamar pihak pria. Berbeda dengan
tradisi Jawa dan Arab yang menjadi rujukan banyak ulama dalam melihat hukum
Islam di mana pihak laki-laki yang melamar pihak perempuan. Adat seperti ini
bisa saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.(Ini membuktikan
ritual pernikahan tergantung dari adat di suatu daerah.)
Ulama menjadikan
hadits Nabi Muhammad SAW bahwa diamnya gadis merupakan izin atas kesediaan
menerima lamaran sebagai rujukan penetapan diamnya gadis berarti bermakna ya.
Kebanyakan perempuan (kalau tidak seluruhnya) dulu memang tidak memberikan
jawaban yang pasti secara verbal, ya atau tidak. Perempuan itu cenderung diam
jika menghadapi situasi semacam ini. Inilah yang membuat Sigmund Freud, seorang
ahli Psikologi yang sudah meneliti manusia selama 30 tahun masih bertanya,
“Sebenarnya apa yang diinginkan oleh perempuan?”
Kompleksitas makna
diam ini yang kemudian dirangkum dalam sebuah teori penelitian, di mana
perempuan gadis cenderung mau menerima lamaran seseorang jika ia berkenan.
Berbeda jika tidak berkenan, seorang gadis biasa menolaknya dengan gelengan
kepala, atau bahkan terang-terangan mengatakan tidak. Namun situasi dan kondisi
sama sekali tidak bisa dilepaskan dari fenomena semacam ini. Tetapi hukum fiqh
bertindak tegas. Berkata tidak dan menggeleng atau sinyal perkataan tidak
memberikan makna pasti, penolakan. Selain itu dianggap mengiyakan. Akan tetapi
perubahan dinamika kepribadian perempuan tidak bisa dinafikan. Kini perempuan
cenderung tegas dalam menyampaikan pendapatnya[3].
Pertanyaannya,
mengapa sikap kerelaan seorang janda diungkapkan secara terbuka, sementara
kerelaan seorang gadis tertutup? Beberapa ulama’ beralasan karena seorang janda
sudah mampu berpikir nalar baik dalam menentukan masa depannya. Alasan ini
kemudian bisa dipertanyakan, sebab banyak janda kini yang usia pernikahannya
singkat[4].
Dengan kata lain penalaran suatu pernikahan, baik dan buruknya tidak berdasar
faktor keperawanan. Maka perlu penelitian dan penetapan hukum baru yang relevan
sesuai perkembangan zaman.
Abu Hanifah dan
Abu Yusuf memiliki gagasan yang menarik mengenai kerelaan perempuan. Kerelaan
seorang perempuan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki ditandai dengan
kedewasaan. Kedewasaan menurut mereka diukur dari sisi apakah dia sudah baligh
dan berakal (balighah-aqilah) atau belum. Jadi, seorang perempuan, tanpa
melihat statusnya: gadis maupun janda, dinyatakan sebagai dewasa, apabila dia
sudah baligh dan berakal[5].
Kondisi
sosio-kultural di jazirah Arab memperlihatkan bahwa anak usia 9 tahun sudah
mampu berpikir nalar, sehingga anak seusia di atas sudah diperbolehkan untuk
dinikahi dan dijima’ (disetubuhi)[6].
Dalam kitab-kitab fiqh klasik disebutkan usia minimal wanita haid adalah usia 9
tahun, sehingga di usia tersebut seorang gadis sudah diperbolehkan untuk
dinikahi. Namun menikah dan berhubungan badan di usia yang terlalu muda justru
merusak organ reproduksi. Maka sangat
logis kebijakan pemerintah mengkategorikan cukup/belum cukup umur menurut usia
lahiriyah. Dan ini tidak bertentangan dengan hukum syara’ jika tinjauan fiqhnya
berorientasi pada kebaikan[7].
Sebenarnya, apa
definisi perawan? Dalam kamus populer bahasa Indonesia, perawan berarti “anak
perempuan yang sudah akil baligh, gadis; belum pernah bersetubuh dengan
laki-laki:belum disentuh”[8].
Melihat definisi
tersebut, ada dua poin yang perlu ditegaskan dalam melabelkan kata perawan.
Pertama, ia harus seorang yang akil/baligh. Kedua, belum pernah bersetubuh.
Namun definisi yang biasa digunakan dalam bermasyarakat adalah belum pernah
bersetubuh. Maka ketika ada bocah berusia 6 tahun diperkosa, otomatis ia tidak
lagi perawan. Jika tinjauannya hanya seperti itu, adakah alasan bahwa seorang
yang tidak perawan berpikir lebih nalar?[9]
Di sini dapat
dianalogikan, janda yang dimaksud dalam hadits yang dijadikan acuan kaum
tekstual ialah seseorang yang sudah mampu berpikir nalar, dalam artian sudah
berakal dan baligh. Umumnya janda memang sudah berpikir nalar karena
pengalamannya menjalani pernikahan sebelumnya. Namun setiap perkara pasti
memiliki pengecualian. Bahkan dalam kasus seperti ini, perlu menarik sejarah
bahwa perempuan pada masa nabi bukanlah perempuan yang cerdas seperti saat ini[10].
Sehingga ukuran baku yang digunakan adalah status sosial.
Analogi perempuan
berakal dan baligh lebih cocok dalam hal ini[11].
Karena bagaimanapun status sosial sifatnya dinamis, dapat berubah
sewaktu-waktu. Jika dulu diamnya gadis bisa berkata ya, maka kini diamnya
seorang gadis untuk tidak terang-terangan menolak bisa saja dikarenakan faktor
nonteknis, semisal intervensi pihak lain[12].
Jika dulu suatu perjodohan, walau perempuan terpaksa menerimanya dengan dalih
menuruti orang tua untuk menikah, tidak menimbulkan madharat karena selanjutnya
perempuan bisa beradaptasi, itu perlu kajian lagi[13].
Karena banyak kasus perpecahan dalam rumah tangga disebabkan
kekurang-harmonisan hubungan suami-istri akibat perjodohan. Apabila demikian,
jelas hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pernikahan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebaikan. Lagi pula sudah ditegaskan bahwa fiqh itu sifatnya
menarik kebaikan dan menolak kerusakan.
D. Relativitas Makna Diam dalam Pernikahan
Sebagaimana dijabarkan dalam pembahasan terdahulu, diam dalam
menerima/ tidak menolak lamaran sifatnya relatif. Status sosial tidak lagi
dapat dijadikan ukuran melihat realita dalam masyarakat yang sudah semakin maju
pikirannya. Bahkan banyak perempuan saat ini memiliki calon masing-masing
sehingga melamar seakan-akan sebagai formalitas ritual adat belaka.
Kemajuan teknologi
dan pengaruh globalisasi berdampak besar pada kehidupan bermasyarakat.
Sifat-sifat yang biasa dilabelkan kepada perempuan semisal pemalu, lemah
lembut, emosional sedikit banyak tereduksi. Perempuan saat ini lebih berani
mengungkapkan curahan hatinya melalui media-media yang dulu tidak dapat
dijangkau. Jika dulu perempuan malu untuk mengungkapkan sesuatu, sangat jauh
berbeda dengan keadaan saat ini di mana perempuan bisa leluasa berinteraksi
lewat layanan jejaring sosial dan media komunikasi. Di facebook dan twitter misalnya,
tidak sepi dari posting-posting pengguna perempuan yang sifatnya sangat pribadi[14].
Relativitas diam
sebagaimana ditulis oleh Imam Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nadhair
menyangkut pula pesan nonverbal lain yang menyertai diamnya gadis saat dikhitbah.
Dengan melihat pesan nonverbal lain, semisal menangis yang jelas bahwa menangis
itu bukan tanda penerimaan, maka makna diam seorang gadis itu menjadi pasti[15].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-
Komunikasi
nonverbal adalah jenis komunikasi yang efektif.
-
Diam
merupakan salah satu jenis komunikasi nonverbal yang efektivitasnya sifatnya
relatif.
-
Dalam
al-Asybah wa an-Nadhair, Imam Suyuthi memilah tujuh poin yang menjadi
pengecualian dari kaidah “yang diam tidak dianggap bicara”. Salah satu
pengecualiannya adalah diamnya seorang gadis saat dikhitbah.
-
Perbedaan
antara janda dan gadis disebut oleh sebagian besar kalangan adalah tingkat
penalarannya. Janda dinilai lebih nalar dibanding perawan. Oleh sebab itu makna
diam bisa berbeda.
-
Kondisi
sosio-kultural bisa menyebabkan berbedanya makna diam, walau itu sudah
dicetuskan pakar fiqh.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., 2011. Ilmu Komunikasi;Suatu Pengantar. Cetakan
kelima belas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rachmat,
Jalaluddin. 2006. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suyuthi,
Abdurrahman, Jalaluddin. 1965. الأشباه والنظائرفى
الفروع, .Surabaya: Al-Hidayah
Muhammad,
Husein. 2012. Fiqh Perempuan, refleksi kiai atas wacana agama dan gender.
Yogyakarta: LKIS
Pius
A. Partanto , M. Dahlan Al-Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Artikata.com
[1]
Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Ilmu Komunikasi;Suatu Pengantar. Cetakan
kelima belas. Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2011. Hal 424
[3]
Bisa dilihat perempuan sekarang tidak ragu menolak bahkan mendebat pendapat
orang tua. Ini bukan fenomena yang tabu yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat kini. Berbeda dengan perempuan dulu yang cenderung pemalu dan
sendiko dawuh
[4]
Dalam kasus janda kembang misalkan, apakah itu bisa dikatakan status janda yang
nalarnya baik?
[5]
K.H Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
LkiS Yogyakarta, cetakan VI, April 2012. Hal 118-119
[6]
Ini pendapat beberapa kalangan yang mengacu pada kehidupan nabi yang menikahi
Aisyah RA pada usia 6 tahun, tetapi baru melakukan ‘hubungan’ di usia 9 tahun.
[7]
Bahkan ulama’-ulama’ konservatif sudah menentukan batas usia seorang bisa
dikatakan baligh. Imam Syafi’i mengatakan usia minimal laki-laki dan perempuan
15 tahun. Imam Abu Hanifah berpendapat usia 18 untuk laki-laki dan 17 untuk
perempuan.
[9]
Ini menjadi pertanyaan inti perihal pemahaman tekstual atas status perawan dan
janda yang menjadikan makna diam berbeda.
[10]
Tinjauannya dulu perempuan tidak diberi pendidikan seperti saat ini, sehingga
kitab-kitab fiqh klasik selalu memberi argumen laki-laki lebih tinggi tingkat
intelejensinya dibanding perempuan. Hal itu tidak salah, karena memiliki faktor
historis yang kuat.
[11]
Cocok sebab tidak lepas dari substansi pelabelan janda yang dikemukakan oleh
sebagian besar kalangan, yaitu perempuan yang sudah berpikir nalar. Sebagian
besar kalangan menilai janda memiliki keterbukaan atas penyampaian pendapatnya.
Kini keterbukaan bukan lagi sebagai hal tabu bagi perempuan dewasa walaupun
masih perawan. Sangat kontras apabila tetap mempertahankan status sosial sebab
sifatnya dinamis.
[12]
Intervensi tersebut meliputi paksaan/ancaman orang tua, dan atau pihak-pihak
lainnya.
[13]
Banyak kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, pernikahan akibat
perjodohan justru membuat bahtera rumah tangga menjadi kacau balau. Padahal
inti dari pernihakan ialah untuk kemaslahatan.
[14]
Sangat pribadi maksudnya hal-hal yang tidak seharusnya disampaikan kepada
publik, seperti tengah bertengkar dengan orang tua, tidak setuju dengan
pendapat ayah dans ebagainya.
[15]
Pasti ini menegaskan makna yang disampaikan oleh si gadis.
0 comments:
Post a Comment