Saturday, June 1, 2013

Makalah: RELATIVITAS DIAM (Wacana Al-Asybah wa An-Nadhair dan Kondisi Sosio-Kultural Masyarakat)


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

 “Diam” tak jarang menjadi salah satu cara komunikasi yang efektif, sebab diam memunculkan makna pasti. Namun tak sedikit yang mengatakan, penghambat komunikasi salah-satunya disebabkan keadaan antarpersonal dalam komunikasi saling diam.
Seseorang yang diam bisa memberikan makna yang jelas terhadap komunikan. Akan tetapi semua itu tak dapat lepas dari keadaan seseorang, budaya dan adat kebiasaan suatu tempat atau daerah. Diam merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang tidak menafikan keterkaitannya dengan kondisi sosiokultural suatu tempat/daerah. Ini yang kebanyakan menjadi titik perdebatan antara ulama’ salaf yang masih berpegang teguh pada paham konservatif dengan ulama’ kontemporer yang tidak memisahkan hukum teks dari konteksnya.
Maka ketika Imam Suyuthi dalam karya monumentalnya Al-Asybah wa An-Nadhair mengklasifikasikan adanya tujuh perkara yang terkecuali dari kaidah “yang diam tidak bisa dianggap bicara”, di mana tujuh perkara itu salah satunya menyebut diamnya gadis saat perjodohan dianggap mengatakan “ya”.
Banyak orang yang sependapat dengan Imam Suyuthi tanpa memandang di mana hukum itu diberlakukan. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri perbedaan adat dan sosio-kultural bisa mempengaruhi makna pesan nonverbal. Makalah ini membahas diam dari perspektif komunikasi yang berujung pada penetapan hukum, sebagaimana ditulis oleh Imam Suyuthi tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH

Makalah ini disusun berdasar rumusan pertanyaan-pertanyaan:
1)      Apakah diam tergantung pada kondisi sosio-kultural suatu daerah?
2)      Mengapa dikatakan demikian?
3)      Bagaimana diam menjadi komunikasi yang berhukum?

C.  TUJUAN MAKALAH

Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Pengantar Ilmu Komunikasi yang diampu oleh Bapak Abdul Razaq. Isi di dalam makalah ini membahas “diam” serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Pembahasan tidak terbatas sekedar teori-teori ilmu komunikasi, namun disertai penjelasan dari ilmu-ilmu lain seperti ilmu psikologi, sosiologi, hukum fiqh dan lainnya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Diam dan Komunikasi Nonverbal

ASSUKUTU salamatun. Begitu bunyi adigium dalam bahasa Arab yang berarti diam itu selamat. Sebuah ungkapan yang mengingatkan bahwa diam memiliki makna tersendiri di balik ketiadaan kata-kata. Oleh karenanya tanpa kata, diam dikategorikan sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal disepakati sebagai komunikasi yang lebih efektif dibanding dengan komunikasi verbal yang hanya mendapat presentase 35%. Namun bagaimana diam bisa dipahami sebagai bentuk komunikasi yang efektif?
            Ruang dan waktu adalah bagian dari lingkungan kita yang juga dapat diberi makna. John Cage mengatakan, tidak ada sesuatu yang disebut ruang kosong atau waktu kosong. Selalu ada sesuatu untuk dilihat, sesuatu untuk didengar. Sebenarnya, bagaimanapun kita berusaha untuk diam, kita tidak dapat melakukannya. Amatullah (Jyly) Armstrong, seorang sufi perempuan Australia, mengatakan bahwa musik terindah baginya adalah keheningan malam saat ia berdoa kepada Allah. Penyanyi dan penulis lagu Paul Simon paling diingat karena lagunya “The Sound of Silence”. (“Suara Diam”). Bagi sebagian orang, judul lagu yang dinyanyikan Simon dan Garfunkel ini tampaknya mengandung kata-kata yang bertentangan, namun lagu itu menunjukkan kekuatan diam ketika kita berkomunikasi. Maka tidaklah mengejutkan, dalam beberapa kasus perkosaan yang digelar dalam pengadilan di Indonesia, tuduhan jaksa bahwa si terdakwa telah memperkosa dapat dimentahkan oleh argumen terdakwa atau pembelanya bahwa perempuan yang menjadi korban berdiam diri, tidak mengaduh, menjerit atau berteriak. Mereka berkilah bahwa perempuan korban pun “menikmati” tindakan terdakwa. Akan tetapi, boleh jadi, perempuan tersebut tidak melakukan perlawanan, tidak mengaduh, menjerit atau berteriak, karena ia khawatir dianiaya atau dibunuh oleh pemerkosanya[1]. Ini menunjukkan kompleksitas penafsiran diam dari berbagai sudut pandang.
            Dalam kamus online www.artikata.com kata “diam” berarti tidak bersuara (berbicara). Dalam konteks komunikasi, diam dapat diartikan bermacam-macam. Sebagai contoh ketika para sahabat Rasul berbuat sesuatu dan Rasul diam, artinya perbuatan itu tidak dilarang. Ketika seorang anak meminta sesuatu kepada ibunya, dan si ibu merespon dengan diam disertai lirikan mata  mengancam, maka bisa berarti tidak boleh.
            Akan tetapi setiap tempat/daerah bisa memiliki penafsiran berbeda atas satu rambu-rambu komunikasi nonverbal. Hal ini yang menjadi alasan mengapa diam perlu dikaji sebelum ditentukan menjadi lambang dan berujung ditetapkannya hukum.



B.  Relevansi Makna Diam antara Ulama’ Konservatif dan Kondisi Sosio-Kultural Masyarakat Indonesia

Dalam tradisi masyarakat Arab, suatu perjodohan bukanlah termasuk hal yang tabu. Tetapi hak calon mempelai perempuan untuk menerima atau menolak calon pasangannya tetap diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Sehingga jawaban calon mempelai perempuan tersebut berpengaruh pada kelanjutan lamaran yang diajukan. Seorang calon mempelai perempuan yang jelas-jelas mengatakan tidak, otomatis membuat perjodohan itu berpotensi untuk dibatalkan. Berbeda jika perempuan tersebut diam. Dalam kultur Arab, diamnya perawan diartikan sebagai indikasi kesediaan (mau). Hal ini mengacu pada hadits nabi Muhammad SAW
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر ، وإذنها سكوتها. اخرجه البخاري في صحيحه
“Perempuan janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Perempuan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya (HR. Bukhari)
            Dalam hadits tersebut tercantum dua status sosial, yaitu janda dan gadis. Ulama konservatif tetap mempertahankan prinsip bahwa yang dinamakan janda ialah perempuan yang sudah dinikah kemudian dicerai atau ditinggal wafat suaminya. Sementara gadis ialah perempuan yang masih perawan. Terlepas usia dan faktor-faktor lainnya, apakah makna diam dalam perjodohan bisa bermakna sama?
            Jika mengacu pada prinsip ilmu komunikasi khususnya psikologi komunikasi, situasi yang terjadi seperti yang tersebut di atas dinamakan “double binding”. Ketika pesan nonverbal bertentangan dengan pesan verbal, orang bersandar pada pesan nonverbal. Dalam kaidah ilmu fiqh ini bisa dikatakan sebagai pertentangan antara lafadz dan makna. Kaidah ilmu fiqh menyebut jika ada pertentangan antara lafaz dan makna (hati), maka makna itu yang ditunaikan.
            Akan tetapi, dalam kaidah-kaidah fiqh disebutkan, setiap hal pasti terdapat pengecualian. Kaidah mengenai diam disebut (لاينسب الى ساكة قول)“laa yunsabu ila saakitin qoulun[2], yang diam tidak dianggap bicara.
            Contoh yang dikemukakan ialah diamnya janda tidak bisa dianggap mengucap “ya”. Sedikitnya ada 7 (tujuh) pendapat dari Imam Suyuthi yang menjadi pengecualian. Tujuh masalah itu adalah;
1.      Diamnya gadis saat diberitahu hendak dikawinkan, dianggap memberi izin/tidak menolak.
2.      Terdakwa yang seharusnya disumpah, ketika diminta untuk bersumpah ternyata diam saja. menurut hukum ia dianggap tidak berani/tidak mau bersumpah.
3.      Sebagian orang yang mengikat perjanjian dan melanggar janji, sedang yang lain diam saja (tidak melakukan klarifikasi), menurut hukum semua orang yang termasuk dalam blok tersebut telah merusak janji (imam Suyuthi menulisnya dengan sebutan kelompok kafir yang sebagiannya ingkar janji).
4.      Majikan dari budak yang merusak hak milik orang lain, wajib mengganti barang yang dirusak budaknya kalau ia tahu dan diam saja.
5.      Seorang sedang ihram, tetapi diam saja ketika temannya mencukur, menurut hukum ia wajib membayar fidyah.
6.      Seseorang menjual budak dan budak itu diam saja (walau ia bukan milik si penjual) dianggap bahwa ia benar-benar milik orang yang menjual.
7.      Seorang membaca/presentasi di depan guru dan guru tersebut diam saja, maka bacaan orang tersebut dianggap sebagaimana bacaan guru.

            Makalah ini selanjutnya menekankan komunikasi diam mengenai diamnya seorang gadis di masyarakat khususnya masyarakat Indonesia yang dijodohkan. Pertimbangan yang digunakan adalah pendapat ulama’ Imam ‘Izzudin bin Abdissalam yang mengatakan bahwa kaidah fiqh hanya berkisar dan berpusat kepada satu kaidah “Jalbu al-Mashalih wa dar’u al-mafasid”. Menarik kebaikan dan menolak kerusakan.

C.  Perempuan, Pernikahan dan Makna Diam dalam Komunikasi

Pernikahan merupakan suatu ritual yang sakral bagi umat manusia. Dalam Islam, pernikahan dijadikan pembuka hijab antara seorang lelaki dan perempuan, yang menjadikan hubungan keduanya menjadi halal. Setiap daerah memiliki adat istiadat dalam melaksanakan ritual ini.
            Di Minangkabau, misalnya, pihak perempuan justru yang melamar pihak pria. Berbeda dengan tradisi Jawa dan Arab yang menjadi rujukan banyak ulama dalam melihat hukum Islam di mana pihak laki-laki yang melamar pihak perempuan. Adat seperti ini bisa saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.(Ini membuktikan ritual pernikahan tergantung dari adat di suatu daerah.)
            Ulama menjadikan hadits Nabi Muhammad SAW bahwa diamnya gadis merupakan izin atas kesediaan menerima lamaran sebagai rujukan penetapan diamnya gadis berarti bermakna ya. Kebanyakan perempuan (kalau tidak seluruhnya) dulu memang tidak memberikan jawaban yang pasti secara verbal, ya atau tidak. Perempuan itu cenderung diam jika menghadapi situasi semacam ini. Inilah yang membuat Sigmund Freud, seorang ahli Psikologi yang sudah meneliti manusia selama 30 tahun masih bertanya, “Sebenarnya apa yang diinginkan oleh perempuan?”
            Kompleksitas makna diam ini yang kemudian dirangkum dalam sebuah teori penelitian, di mana perempuan gadis cenderung mau menerima lamaran seseorang jika ia berkenan. Berbeda jika tidak berkenan, seorang gadis biasa menolaknya dengan gelengan kepala, atau bahkan terang-terangan mengatakan tidak. Namun situasi dan kondisi sama sekali tidak bisa dilepaskan dari fenomena semacam ini. Tetapi hukum fiqh bertindak tegas. Berkata tidak dan menggeleng atau sinyal perkataan tidak memberikan makna pasti, penolakan. Selain itu dianggap mengiyakan. Akan tetapi perubahan dinamika kepribadian perempuan tidak bisa dinafikan. Kini perempuan cenderung tegas dalam menyampaikan pendapatnya[3].
            Pertanyaannya, mengapa sikap kerelaan seorang janda diungkapkan secara terbuka, sementara kerelaan seorang gadis tertutup? Beberapa ulama’ beralasan karena seorang janda sudah mampu berpikir nalar baik dalam menentukan masa depannya. Alasan ini kemudian bisa dipertanyakan, sebab banyak janda kini yang usia pernikahannya singkat[4]. Dengan kata lain penalaran suatu pernikahan, baik dan buruknya tidak berdasar faktor keperawanan. Maka perlu penelitian dan penetapan hukum baru yang relevan sesuai perkembangan zaman.
            Abu Hanifah dan Abu Yusuf memiliki gagasan yang menarik mengenai kerelaan perempuan. Kerelaan seorang perempuan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki ditandai dengan kedewasaan. Kedewasaan menurut mereka diukur dari sisi apakah dia sudah baligh dan berakal (balighah-aqilah) atau belum. Jadi, seorang perempuan, tanpa melihat statusnya: gadis maupun janda, dinyatakan sebagai dewasa, apabila dia sudah baligh dan berakal[5].
            Kondisi sosio-kultural di jazirah Arab memperlihatkan bahwa anak usia 9 tahun sudah mampu berpikir nalar, sehingga anak seusia di atas sudah diperbolehkan untuk dinikahi dan dijima’ (disetubuhi)[6]. Dalam kitab-kitab fiqh klasik disebutkan usia minimal wanita haid adalah usia 9 tahun, sehingga di usia tersebut seorang gadis sudah diperbolehkan untuk dinikahi. Namun menikah dan berhubungan badan di usia yang terlalu muda justru merusak organ reproduksi.  Maka sangat logis kebijakan pemerintah mengkategorikan cukup/belum cukup umur menurut usia lahiriyah. Dan ini tidak bertentangan dengan hukum syara’ jika tinjauan fiqhnya berorientasi pada kebaikan[7].
            Sebenarnya, apa definisi perawan? Dalam kamus populer bahasa Indonesia, perawan berarti “anak perempuan yang sudah akil baligh, gadis; belum pernah bersetubuh dengan laki-laki:belum disentuh”[8].
            Melihat definisi tersebut, ada dua poin yang perlu ditegaskan dalam melabelkan kata perawan. Pertama, ia harus seorang yang akil/baligh. Kedua, belum pernah bersetubuh. Namun definisi yang biasa digunakan dalam bermasyarakat adalah belum pernah bersetubuh. Maka ketika ada bocah berusia 6 tahun diperkosa, otomatis ia tidak lagi perawan. Jika tinjauannya hanya seperti itu, adakah alasan bahwa seorang yang tidak perawan berpikir lebih nalar?[9]
            Di sini dapat dianalogikan, janda yang dimaksud dalam hadits yang dijadikan acuan kaum tekstual ialah seseorang yang sudah mampu berpikir nalar, dalam artian sudah berakal dan baligh. Umumnya janda memang sudah berpikir nalar karena pengalamannya menjalani pernikahan sebelumnya. Namun setiap perkara pasti memiliki pengecualian. Bahkan dalam kasus seperti ini, perlu menarik sejarah bahwa perempuan pada masa nabi bukanlah perempuan yang cerdas seperti saat ini[10]. Sehingga ukuran baku yang digunakan adalah status sosial.
            Analogi perempuan berakal dan baligh lebih cocok dalam hal ini[11]. Karena bagaimanapun status sosial sifatnya dinamis, dapat berubah sewaktu-waktu. Jika dulu diamnya gadis bisa berkata ya, maka kini diamnya seorang gadis untuk tidak terang-terangan menolak bisa saja dikarenakan faktor nonteknis, semisal intervensi pihak lain[12]. Jika dulu suatu perjodohan, walau perempuan terpaksa menerimanya dengan dalih menuruti orang tua untuk menikah, tidak menimbulkan madharat karena selanjutnya perempuan bisa beradaptasi, itu perlu kajian lagi[13]. Karena banyak kasus perpecahan dalam rumah tangga disebabkan kekurang-harmonisan hubungan suami-istri akibat perjodohan. Apabila demikian, jelas hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pernikahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. Lagi pula sudah ditegaskan bahwa fiqh itu sifatnya menarik kebaikan dan menolak kerusakan.



D.  Relativitas Makna Diam dalam Pernikahan

Sebagaimana dijabarkan dalam pembahasan terdahulu, diam dalam menerima/ tidak menolak lamaran sifatnya relatif. Status sosial tidak lagi dapat dijadikan ukuran melihat realita dalam masyarakat yang sudah semakin maju pikirannya. Bahkan banyak perempuan saat ini memiliki calon masing-masing sehingga melamar seakan-akan sebagai formalitas ritual adat belaka.
            Kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi berdampak besar pada kehidupan bermasyarakat. Sifat-sifat yang biasa dilabelkan kepada perempuan semisal pemalu, lemah lembut, emosional sedikit banyak tereduksi. Perempuan saat ini lebih berani mengungkapkan curahan hatinya melalui media-media yang dulu tidak dapat dijangkau. Jika dulu perempuan malu untuk mengungkapkan sesuatu, sangat jauh berbeda dengan keadaan saat ini di mana perempuan bisa leluasa berinteraksi lewat layanan jejaring sosial dan media komunikasi. Di facebook dan twitter misalnya, tidak sepi dari posting-posting pengguna perempuan yang sifatnya sangat pribadi[14].
            Relativitas diam sebagaimana ditulis oleh Imam Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nadhair menyangkut pula pesan nonverbal lain yang menyertai diamnya gadis saat dikhitbah. Dengan melihat pesan nonverbal lain, semisal menangis yang jelas bahwa menangis itu bukan tanda penerimaan, maka makna diam seorang gadis itu menjadi pasti[15].



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-          Komunikasi nonverbal adalah jenis komunikasi yang efektif.
-          Diam merupakan salah satu jenis komunikasi nonverbal yang efektivitasnya sifatnya relatif.
-          Dalam al-Asybah wa an-Nadhair, Imam Suyuthi memilah tujuh poin yang menjadi pengecualian dari kaidah “yang diam tidak dianggap bicara”. Salah satu pengecualiannya adalah diamnya seorang gadis saat dikhitbah.
-          Perbedaan antara janda dan gadis disebut oleh sebagian besar kalangan adalah tingkat penalarannya. Janda dinilai lebih nalar dibanding perawan. Oleh sebab itu makna diam bisa berbeda.
-          Kondisi sosio-kultural bisa menyebabkan berbedanya makna diam, walau itu sudah dicetuskan pakar fiqh.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., 2011. Ilmu Komunikasi;Suatu Pengantar. Cetakan kelima belas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rachmat, Jalaluddin. 2006. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suyuthi, Abdurrahman, Jalaluddin. 1965. الأشباه والنظائرفى الفروع, .Surabaya: Al-Hidayah
Muhammad, Husein. 2012. Fiqh Perempuan, refleksi kiai atas wacana agama dan gender. Yogyakarta: LKIS
Pius A. Partanto , M. Dahlan Al-Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Artikata.com




[1] Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Ilmu Komunikasi;Suatu Pengantar. Cetakan kelima belas. Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2011. Hal 424
[2] (الأشباه والنظائرفى الفروع, Al-Hidayah Surabaya. Hal 97)
[3] Bisa dilihat perempuan sekarang tidak ragu menolak bahkan mendebat pendapat orang tua. Ini bukan fenomena yang tabu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kini. Berbeda dengan perempuan dulu yang cenderung pemalu dan sendiko dawuh
[4] Dalam kasus janda kembang misalkan, apakah itu bisa dikatakan status janda yang nalarnya baik?
[5] K.H Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, LkiS Yogyakarta, cetakan VI, April 2012. Hal 118-119
[6] Ini pendapat beberapa kalangan yang mengacu pada kehidupan nabi yang menikahi Aisyah RA pada usia 6 tahun, tetapi baru melakukan ‘hubungan’ di usia 9 tahun.
[7] Bahkan ulama’-ulama’ konservatif sudah menentukan batas usia seorang bisa dikatakan baligh. Imam Syafi’i mengatakan usia minimal laki-laki dan perempuan 15 tahun. Imam Abu Hanifah berpendapat usia 18 untuk laki-laki dan 17 untuk perempuan.
[8] Pius A. Partanto , M. Dahlan Al-Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
[9] Ini menjadi pertanyaan inti perihal pemahaman tekstual atas status perawan dan janda yang menjadikan makna diam berbeda.
[10] Tinjauannya dulu perempuan tidak diberi pendidikan seperti saat ini, sehingga kitab-kitab fiqh klasik selalu memberi argumen laki-laki lebih tinggi tingkat intelejensinya dibanding perempuan. Hal itu tidak salah, karena memiliki faktor historis yang kuat.
[11] Cocok sebab tidak lepas dari substansi pelabelan janda yang dikemukakan oleh sebagian besar kalangan, yaitu perempuan yang sudah berpikir nalar. Sebagian besar kalangan menilai janda memiliki keterbukaan atas penyampaian pendapatnya. Kini keterbukaan bukan lagi sebagai hal tabu bagi perempuan dewasa walaupun masih perawan. Sangat kontras apabila tetap mempertahankan status sosial sebab sifatnya dinamis.
[12] Intervensi tersebut meliputi paksaan/ancaman orang tua, dan atau pihak-pihak lainnya.
[13] Banyak kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, pernikahan akibat perjodohan justru membuat bahtera rumah tangga menjadi kacau balau. Padahal inti dari pernihakan ialah untuk kemaslahatan.
[14] Sangat pribadi maksudnya hal-hal yang tidak seharusnya disampaikan kepada publik, seperti tengah bertengkar dengan orang tua, tidak setuju dengan pendapat ayah dans ebagainya.
[15] Pasti ini menegaskan makna yang disampaikan oleh si gadis.

0 comments:

Post a Comment