Friday, April 17, 2015

Beberapa Hal tentang Iqra'

Menulis adalah salah satu cara. Cara untuk mengekspresikan diri. Cara untuk membuat dokumen sejarah pribadi. Cara untuk menegaskan bahwa kita berbeda dengan tumbuhan dan bebatuan. Namun menulis merupakan kegiatan ekstra yang banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran. Itu merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Seorang guru pernah berkata, tulislah apa-apa yang kamu alami dengan bahasa yang paling sederhana sekalipun. Katanya, catatan itu akan sangat berguna ketika kita ingin membaca sejarah pribadi. Efeknya akan terasa beberapa tahun kemudian.
Ingatanku melayang pada periode 2011 silam, ketika menghadiri sebuah seminar kepenulisan yang diisi oleh Triyanto Triwikromo dan Ulil Abshar Abdalla. Triyanto menyebut bahwa menulis perintah merupakan ‘fardlu kifayah’ untuk ‘fardlu ‘ain’ yang harus dilakukan semua umat manusia, yaitu iqra’!. Fardlu kifayah merupakan kewajiban (fardlu) yang harus dilakukan oleh minimal satu orang dalam sebuah komunitas sosial. Sementara fardlu ‘ain adalah kewajiban yang mutlak harus dilakukan oleh umat manusia.
Iqra’, atau dalam bahasa sederhana disebut membaca, bukan berarti membaca teks buku saja. Iqra’ adalah aktivitas membaca, menelaah, mengamati setiap hal. Seseorang yang tak mengenal huruf sekalipun harus membaca gejala-gejala yang ada di sekitarnya. Inilah yang mendorong seseorang bisa menjadi lebih peka dan peduli. Tentu saja kembali kepada ‘khittah’ kemanusiaan sebagai makhluk sosial.
Kembali ke fardlu kifayah, ada ungkapan menarik dari Triyanto. Bagaimana seseorang membaca kalau tidak ada tulisan? Bagaimana tulisan bisa ada jika tidak ada penulis? Maka menjadi penulis adalah sebuah kewajiban, sebuah fardlu kifayah.
Banyak quote menarik tentang menulis atau menjadi penulis. Pramoedya AT misalnya, ia mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ya, bekerja untuk keabadian. Bekerja untuk menulis sejarah, prasasti, atau kenangan.
Kembali ke acara seminar dulu. Ulil Abshar Abdalla mengkritik kurangnya minat baca masyarakat Indonesia. Walau di Indonesia siswa-siswi sejak SD sudah disuruh membawa buku tebal, tapi nyatanya buku itu hanya dipanggul saja. Aku mengakui apa yang disangkakan Ulil sama persis dengan apa yang kurasa saat SD dulu. Ada beberapa kritik yang aku sampaikan. Pertama, tampilan buku pelajaran kurang menarik untuk usiaku. Kedua, penatnya belajar di kelas. Maklum, aku termasuk orang yang suka model belajar outdoor.
Kembali ke iqra. Mengapa ayat pertama di alqur’an redaksinya iqra (bacalah), bukan uktub (tulislah)? Karena menulis tanpa bacaan, tanpa membaca, tanpa referensi akan menjadikan tulisan tersebut kurang gizi. Dan menulis memang tidak semata-mata menuangkan cat di atas kanvas sekenanya. Menulis adalah proses merasakan, menikmati, dan coba menggambarkan tanda-tanda. Bukan sembarang tanda-tanda. Tetapi tanda-tanda yang dibutuhkan oleh kehidupan. Tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda yang memiliki kekuatan.

Griya GUSDURian
10 Februari 2015

0 comments:

Post a Comment