Friday, April 17, 2015

Ngobrol tentang Nikah dan Berkah

Sore ini, saya mendapat sebuah pelajaran menarik. Pelajaran tentang mengarungi kehidupan yang mau tidak mau harus dilakukan oleh nahkoda. Nahkoda? Ya, ketika seorang telah berjanji, telah mengucapkan sumpah pada tuhan—kata ustaz itu terjadi di zaman azali dan manusia saat itu masih berupa ruh—maka dia adalah seorang nahkoda.
Perbincangan sore ini di griya GUSDURian lebih spesifik kepada pernikahan. Sempat tercengang juga karena timingnya pas. Setelah kuliah 3 sks, balik-balik dapat ceramah tentang pernikahan heuheu. Mas Pondra, salah seorang GUSDURian tengah menceritakan banyak hal. Ceritanya ia sampaikan berdasar pengalaman pribadi ataupun dari kisah-kisah yang pernah didengarnya. Saat itu saya tengah memasuki item budaya pernikahan di daerah-daerah. Budaya memang selalu menarik.
Saya sempat melontarkan kisah pernikahan yang terjadi di daerah saya, Riau. Budaya perniakahan suku asli di sana memang berbeda dengan budaya di Jawa kebanyakan. Di Riau—suku melayu—untuk menikahi seorang perempuan harus menyediakan mahar. Memang, sih, mahar merupakan bagian dari kewajiban calon suami terhadap calon istri yang akan dinikahi. Kalau tidak ada mahar ya tidak sah pernikahannya. Nah, mahar di sana biasanya berupa sejumlah uang yang “dibebankan” kepada mempelai pria. Besaran nilainya tergantung permintaan pihak perempuan. Biasanya semakin bagus bobot, bibit, dan bebetnya membuat mahar yang harus diberikan “menyesuaikan”. Bagi saya hal tersebut wajar, walau banyak teman-teman atau ustadz saya yang mengecam. Dalihnya sih nabi pernah bersabda jika semulia-mulianya perempuan adalah yang meminta mahar yang tidak menyusahkan.
Eits. Jangan lihat sudut pandang yang itu. Bukankah Nabi juga pernah bersabda, jika semulia-mulianya lelaki adalah yang memberi mahar terbaik? Nah, belum lagi dalam teks agama yang pernah saya pelajari, disebutkan anjuran keserasian. Keserasian yang dimaksud antara lain serasi dalam agama, rupawan, harta, dan keturunan. Jika merujuknya pada anjuran-anjuran semacam ini, sah-sah saja dong seorang perempuan cantik jelita, trahnya oke, duitnya banyak mencari pasangan yang sesuai dengannya. Artinya hanya orang yang sesuai yang sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sebagai seorang individu. Masak mau cari pasangan yang beda jauh? Crash dong...
Tetapi banyak orang menganggap keserasian tersebut sudah tidak jaman di era sekarang. Semua setara. Orang yang biasa makan tempe sah-sah saja mendapatkan pasangan yang biasa makan pizza hut. Atau anak dukun boleh menikahi anak gubernur. Semua itu bisa didobrak oleh satu kata bernama C-I-N-T-A.
Saya tidak perlu mengeluarkan argumen-argumen. Di sini saya hanya ingin menulis kembali apa yang disampaikan mas Pondra. Ia mengaku pernah kesulitan untuk menikahi istrinya. Kesulitan yang banyak orang tidak sadari, padahal itu merupakan sebuah pondasi. Apa itu? Nilai! Ya, nilai. Nilai yang dianutnya berbeda dengan calon istrinya (sekarang sudah menjadi istrinya). Saat nekat membangun bahtera rumah tangga, memang nilai itu yang kerap menimbulkan perselisihan.
Saya tidak sedang membahas soal perbedaan agama dan lain sebagainya. Di sini yang akan saya kemukakan adalah tentang nilai atau prinsip. Mas Pondra mengaku sebagai orang yang menanamkan nilai keharmonisan, sedang istrinya memiliki nilai kejujuran. Sekilas kedua nilai ini serasi, sama baiknya. Ya, semua sama baiknya. Tetapi coba simak contoh di bawah ini:
Udin baru saja menikah. Tanpa disengaja, ia bertemu Intan, sang mantan waktu masih SMA. Pertemuan mereka terjadi di kantor. Kebetulan mereka bekerja di satu kantor. Suatu siang, hujan turun sangat deras. Udin rencana mau makan di warteg depan kantor. Saat hendak melangkah, ia melihat Intan melakukan hal serupa. Udin bawa payung, sedang Intan tidak. Akhirnya sebagai wujud rasa kemanusiaan, Udin mengajak Intan untuk memakai payung bersama.
Suatu ketika sang istri bertanya, “Apa benar kamu satu kantor dengan mantan kamu?” Dalam tahapan ini, Udin bisa menjawab “ya” dengan berbagai kalimat penjelasan di belakangnya. Lalu bagaimana jika datang pertanyaan kedua, “kamu ngapain aja, hayo?”
Bagaimana Udin harus menjawab? Kalau ia sebagai orang harmonis, sudah tentu ia akan mengatakan tidak ada apa-apa. Itu hanyalah sebagai masa lalu bla bla bla. Beda jika dia jujur. Mungkin kata-katanya bisa: “Iya. Bahkan kemarin kami jalan bersama ke warteg. Maaf ya, aku tidak bermaksud apa-apa bla bla bla”. Keduanya memiliki plus minus yang Anda sendiri pasti bisa menjabarkan.
Bagi Anda yang hendak menikah, sebaiknya pahami nilai dan karakter calon pasangannya yah...
Oh, ya. Sekalian saya mau ngeshare pendapat seorang teman. Banyak orang yang berpendapat kecantikan itu relatif. Tetapi ketika ditanya mengenai kriteria pasangan, banyak pula yang menafikan unsur kecantikan. Teman saya berkata itu bullshit. Kecantikan atau ketampanan merupakan prioritas di samping faktor lainnya. Kan relatif! “Lu harus bayangin bakal tiap hari liat muka tuh pasangan. Kalo carinya asal-asalan, terus lu eneg, lu mau ngapain kalo gak nyerong?” Begitu kira-kira.
Hal yang menarik di sore ini adalah dua kata yang menancap di hati saya. Saat mendengar video di Youtube, seorang da’i perempuan asal Kota Gudeg ini pernah merasakan kemelaratan akibat perpisahan dengan suaminya. Ia berpisah dengan tanpa diberi harta apapun. Perpisahan terjadi karena prinsip. Ia hanya membawa 260 ribu, sementara ia membawa tiga anak. Sang da’i bertanya pada anak-anaknya, lebih baik diapakan uang itu. Ada seorang anaknya mengatakan: “dikasihkan orang aja, bu. Kalau kita suka ngasih orang kan orang lain juga bakal ngasih ke kita”. Sebuah jawaban yang sangat polos. Sang da’i akhirnya bertandang ke panti asuhan dan memberi 250 ribu. Ia sisakan 10 ribu untuk sarapan. Tanpa dinyana, setelah sarapan, ada yang memintanya bantuan dengan pemberian jasa sekitar 10 juta. Subhanallah...  
Di kelas, Bu Evi dosen penulisan fiksi baru saja memberi puisi karya Mustofa Bisri berjudul berkah. Nah, sore ini, mas Pondra mengatakan bahwa Bang Erman, istri mbak Alissa, pernah memberinya nasihat agar sering memberi daripada meminta. Dengan memberi, maka segalanya justru menjadi lebih mudah. Dalam bahasa Gus Mus, berkah.
Sebagai penutup catatan hari ini, saya tuliskan kembali puisi Gus Mus berjudul “Berkah”. Semoga hidup Anda menjadi berkah. Amin...

Berkah
Kalau Anda dipuji padahal
Anda tak sepantasnya dipuji
Mengapa Anda merasa senang?
Dan kalau Anda dicela padahal
Anda tak sepantasnya dicela
Mengapa Anda harus marah?
Dalam hidup ini gunakanlah dua cermin:
Satu untuk melihat
Kekuranganmu,
Dan satu lagi untuk melihat
Kelebihan orang lain

Jangan banyak-banyak mencari banyak, tetapi banyak-banyaklah
Mencari berkah
Banyak mudah didapat dengan hanya meminta
Tetapi berkah hanya bisa didapat dengan memberi

Ditulis di Griya GUSDURian
Yogyakarta, 17 April 2015
16:58

1 comment:

  1. Agak beda dengan melayu pontianak yg klau nikah kbykn pakai adat "nasional"

    ReplyDelete