Friday, April 17, 2015

Teori Sukses KFF

therealsingapore.com
Beberapa saat yang lalu saya berkesempatan mengikuti acara training motivasi oleh James Gwee di hotel Majapahit, Surabaya. Acara tersebut merupakan rangkaian acara leadership development yang diselenggarakan oleh Djarum Foundation untuk membekali beswan (para penerima beasiswa Darum) dengan softskill kepemimpinan.
James Gwee merupakan warga yang tinggal di Indonesia dan berkebangsaan Singapura. Pada perkenalannya, James mengaku tulen Singapura. Ia pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta pada 1998 lalu, dan meniti karir sebagai motivator, sebuah karir yang dirintisnya sejak 1994. Di Indonesia inilah James menemukan tulang rusuknya.
Salah satu grand theory yang diberikan oleh James Gwee adalah teori KFF. Ia menilai, keberhasilan banyak pemimpin adalah karena faktor KFF ini. ia memberi garansi kepada siapapun bahwa jika seseorang bisa menggunakan teori KFF ini dengan baik, niscaya kesuksesan akan menjadi sahabat karib. Contoh besarnya adalah John F Kennedy. Presiden termuda Amerika (sebelum akhirnya dipecahkan oleh Barrack Obama) itu pernah mengumumkan sebuah visi yang sangat mengguncang dunia. Pada 25 Mei 1961 di hadapan kongres, ia mengatakan “Pertama, saya yakin bangsa ini harus benar-benar berkomitmen untuk mencapai tujuannya, sebelum akhir dasawarsa ini, untuk mendaratkan manusia di Bulan dan memulangkannya dengan selamat ke Bumi”.
Mendaratkan manusia di bulan dan membawanya kembali ke bumi dengan selamat? Seluruh dunia terguncang dengan berita ini, lebih-lebih Uni Sovyet yang secara teknologi saat itu jauh lebih unggul. Amerika sebagai negara dengan teknologi antariksa pas-pasan berani sesumbar akan mengirimkan manusia ke bulan sebelum satu dasawarsa berakhir! Tentu saja hal ini membuat raksasa teknologi semakin gencar mengembangkan teknologinya. Jangan sampai Amerika sebagai rival terbesar mampu mengangkangi Sovyet.
Singkat cerita dunia mendengar kabar ini karena JFK memang sengaja untuk mempublikasikan visinya. Pada saat itu juga badan antariksa Amerika Serikat (NASA) terus mengembangkan teknologinya agar ucapan presiden mereka tidak dianggap sebagai bualan belaka. Pengiriman apollo 1, 2, 3 dan kesekian kalinya selalu gagal. Hingga John F Kennedy wafat pada 1963, misi mendaratkan manusia di bulan untuk pertama kalinya belum juga terlaksana.
Lalu apakah visi John F Kennedy akan gagal? Ternyata tidak. Tercatat pada 1969, apollo 11 milik NASA berhasil membawa dua astronotnya menginjakkan kaki di bulan. Neil Armstrong dan Buzz Aldrin berhasil mewujudkan mimpi presiden untuk mendaratkan manusia di bulan, lalu kembali ke bumi dengan selamat.
Dari kisah ini, ada beberapa poin penting yang bisa diambil. Seorang pemimpin adalah seorang pemimpi sejati. Seorang pemimpin selalu memiliki gagasan-gagasan yang sekilas seperti mimpi, tetapi hal tersebut bisa diwujudkan. Beda pemimpi dengan pemimpin hanya terletak pada huruf ‘n’. Mengutip kata Anies Baswedan, ‘n’ yang terletak pada akhir kata ‘pemimpi(n)’ adalah NYALI. Nyali untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Cita-cita kemerdekaan mungkin awalnya hanya mimpi belaka. Di tengah tekanan kolonialisme, para pemimpin bangsa ini terus berupaya menggerakkan masyarakat untuk mewujudkan visi kemerdekaan. Di hotel yang menjadi veneu acara misalnya, sang saka merah putih tak akan berkibar jika tidak ada nyali dari patriot bangsa untuk merobek bendera warna biru. Mereka tentu sadar bahwa kematian adalah konsekuensi yang harus diterima jika tiba-tiba peluru kompeni menembus jantung mereka. Namun nyali membuat para pahlawan gigih berjuang untuk mengibarkan sang dwi warna.
Generasi muda kini dihadapkan pada sebuah era dilema. Dilema karena di satu sisi banyak mimpi-mimpi yang berkeliaran di dalam pikiran, di sisi lain nyali untuk mewujudkan selalu terbentur dengan kepentingan-kepentingan. Akibatnya, seorang pemuda yang memiliki banyak mimpi itu merasa ciut jika harus mengungkapkan di hadapan umum. “Ya harus realistislah,” kata seseorang yang sebenarnya memiliki mimpi hebat, menyediakan pelayanan kesehatan gratis khususnya bagi masyarakat pedalaman. Mimpi itu terbentur dengan dana dan akses informasi. “Saya paling tidak bisa untuk tinggal di pedalaman,” ujarnya. Padahal, lanjutnya, pedalaman merupakan wilayah yang sangat membutuhkan tenaga kesehatan. “Kalau di kota kan sudah banyak tenaga kesehatan. Tetapi di wilayah perbatasan?”
Ingatan saya tertuju pada film “Tanah Surga… Katanya”. Ini merupakan salah satu film yang bisa membuat saya menangis. Ada percikan-percikan emosi yang muncul. Tentang nasib para penduduk perbatasan. Tentang nasionalisme yang menggelora, walau oleh negara tidak diperhatikan. Tentang kisah perjuangan seorang guru untuk mengajari apa itu cinta tanah air. Bagaimana bentuk benderanya, bagaimana lagu kebangsaannya. Juga tentang perjuangan seorang dokter yang sangat dibutuhkan oleh warga setempat.
Maka jadilah pemimpin! Kataku dalam hati. Ya, seseorang tadi sudah memiliki visi yang bagus untuk memberi pelayanan maksimal terhadap warga di pedalaman, termasuk di wilayah perbatasan. Hanya saja nyali belum ada. Kalau pun ada hal tersebut masih dihalangi oleh kepentingan-kepentingan yang sangat manusiawi. Saya doakan semoga suatu hari niat dan cita-citanya bisa terwujud dengan berbagai upaya dan solusi. Saya pun sangat sulit jika harus memutuskan pergi dari hingar bingar suasana kota ke tempat paling sunyi.
Lalu apa teori KFF yang diberikan oleh James Gwee? KFF merupakan singkatan dari kata yang sangat sederhana, kefefet alias kepepet. Kepepet merupakan kondisi di mana situasi dan kondisi sudah sangat mendesak untuk dilakukan sebuah usaha nyata untuk merealisasikan visi yang telah dibuat. Kefefet yang paling efektif adalah ketika visi tersebut diumumkan ke khalayak luas karena bisa menjadikan ‘alarm’ yang sangat berguna bagi usaha dalam mencapai visi yang dimaksud. Namun kebanyakan kita memilih bungkam dan memilih memberi kejutan. Dan sayangnya kejutan itu tak kunjung dapat diwujudkan.

Artikel ini pernah gue share di
https://blog.djarumbeasiswaplus.org/2014sarjoko/2015/03/09/teori-kff-pemimpin-sukses/

0 comments:

Post a Comment