Wednesday, February 26, 2014

Catatan Kecil Diskusi “Media Islam Pascakolonial di Indonesia”

Sumber gambar tokobukualquds.blogspot.com
Media-media (dalam tanda kutip) Islam melakukan banyak inovasi dalam menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Setidaknya hal tersebut yang saya tangkap dari diskusi bersama Arie Setyaningrum Pamungkas di Pendopo LKiS malam ini (26/02). Banyak hal yang ia sampaikan dalam pemaparan berdurasi 90 menit itu. Yang membuat saya terhenyak, sebagai (calon) orang media, saya merasa kalah telak dengan dosen Sosiologi UGM tersebut.
Saya mulai dengan berkomentar mengenai sosok Mbak Tia. Dia mengaku sebagai mantan aktivis T (inisial), sebuah organisasi tangan kanan salah satu sekte Islam puritan. Bisa dikatakan, sebagai peneliti wawasannya sangat mumpuni. Dia memang mengakui kesulitan-kesulitan dalam menghadapi istilah-istilah ‘islami’, namun semua itu tidak mengurangi kualitas pemparan Mbak Tia karena ia pernah menjadi bagian dari T. Diskusi ini sebenarnya bertemakan “Islamic Media in Post Authoritarian Rules Indonesia; Revivalism, Da’wa Practices, Islamic Activism, and Popular Culture”.
Sejarah media ‘Islam’ pertama muncul di Padang bernama Al-Munir (1906). Al-Munir merupakan sebuah jurnal yang membahas pemikiran Rasyid Ridha dan pemikir yang sealiran. Lalu ada Medan Moeslimin dan Islam Bergerak (1915) yang dipelopori oleh H. Misbach. Pada 1930, PERSIS yang diprakarsai Ahmad Hasan dan Moch. Natsir menerbitkan Madjalah Pembela Islam. Majalah ini disebut punya kaitan dengan Jurnal Al-Iman yang terbit di Singapura (1906).  Di tahun 1930 ini muncul pula beberapa media lainnya, salah satunya Swara Muhammadiyah.
Pada tahun 1950, Masyumi menerbitkan media bernama Al-Islam. Mendengar namanya, saya teringat bulletin yang terbit setiap Jum’at dan disebar di masjid-masjid. Namun kini penerbitnya bukan lagi Masyumi, namun Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam diskusi malam ini saya baru tahu bahwa UIN dulu (PTAIN) menerbitkan jurnal bernama Al-Djami’ah.
Secara garis besar, pemateri mengemukakan analisisnya bahwa media-media ‘Islam’ mengadopsi pikiran para cendikiawan Islam seperti Sayyid Qutb. Yang menjadi rujukan adalah dua kitabnya yaitu kitab Ma’alim fi at-Thariq dan Fizilal Qur’an. Pada awalnya media-media tersebut sangat konservatif. Tidak ada gambar perempuan dan hal-hal yang dianggap tabu. Namun seiring zaman, keterbukaan media Islam tersebut terhadap isu-isu moderasi (wasathiyah) membuat mereka melakukan banyak perubahan. Gambar perempuan mulai ada dan konten-kontennya dibuat mengikuti arus budaya setempat. Isu-isu yang kontroversi begitu dihindari.
Diskusi ini pada akhirnya mengerucut pada media yang menjadi pusat penelitian Mbak Tia, yaitu majalah UMMI. Majalah ini merupakan salah satu majalah islami yang terbit sejak Mbak Tia masih kuliah S1, kira-kira 20 tahunan yang lalu. Mbak Tia gelisah dengan majalah yang dulu dibacanya ini. Setidaknya ada beberapa kegelisan yang sempat saya catat.
Walau bernama UMMI (Indonesia: Ibu), pada mulanya majalah ini sama sekali tidak memuat gambar, pembahasan serta isu tentang perempuan. Bahasa jurnalisme yang digunakan cenderung vulgar. Sebagai contoh, dalam mewartakan berita pembantaian Bosnia, ada redaksi yang menggunakan bahasa “dipotong kemaluan dan disayat payudaranya”. Kini, majalah tersebut melakukan banyak perubahan. Mbak Tia mengatakan, dulu majalah ini merupakan kepanjangan dari kelompok tertentu. Namun kini mereka mulai menyembunyikan identitasnya agar terkesan terlepas dari kelompok itu. Mbak Tia berujar, itu bagian dari strategi kultural mereka.
Dulu sekali, majalah UMMI membahas isu-isu besar seperti poligami. Bahkan ada salah satu judul besarnya “Yuk, poligami!”. Kini apabila isu seperti ini diangkat, jumlah pembaca bisa menurun drastis. Karena menurut survei, sebagian besar perempuan tidak mau dipoligami. Untuk itu mereka juga mulai menyesuaikan pasar.
Pada tahun 90-an, banyak media-media ‘Islam’ bermunculan. Terlebih saat keran reformasi dibuka. Pada saat itu, media-media yang bertahan ialah media yang sensasional. Muncul nama Sabili dengan bongkar Yahudinya. Hidayah dengan kisah azabnya. Lalu banyak media-media lain yang sealiran. Hebatnya, media-media ini laku keras di masyarakat.

Sayang sekali waktu diskusi tidak terlalu panjang. Mulai jam 19.30, diskusi diakhiri pada pukul 22.00. masih banyak pertanyaan yang berkutat di benak saya, utamanya mengenai fenomena media online yang luar biasa. Sayangnya waktu tidak mengizinkan. Catatan kecil ini saya buat sebagai pengingat saja. Banyak hal yang sengaja tidak saya tuliskan karena penjabarannya bisa bercabang-cabang. Wallahua'lam.

Baca juga

2 comments: