Sunday, February 2, 2014

Menghidupkan Kembali Semangat Ke-Bhinneka-an


Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal ini yang menjadi pijakan kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Akan tetapi kemerdekaan beragama dan beribadah di Indonesia belum dirasakan oleh semua penduduknya. Sebut saja kekerasan yang ditujukan kepada kelompok Syiah dan Ahmadiyah.
Sedikitnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan ini. Pertama, mereka menganggap aksi kekerasan yang dilakukannya adalah jihad karena membentengi umat dari kesesatan. Syiah dan Ahmadiyah dianggap sebagai aliran sesat yang tidak sesuai dengan Islam. Kedua, ‘dukungan’ pemerintah dalam memvonis sesat dua kelompok tersebut. Hal ini dibuktikan salah satunya dengan pernyataan-pernyataan mentri agama Indonesia tentang “pencerahan” warga Syiah sebelum dipulangkan serta sejumlah komentar lainnya. Ketiga, aksi subordinatif ini dilegalkan dengan adanya UU tentang Penodaan agama No 1 tahun 1965.
Sebelum kasus Syiah mencuat, Ahmadiyah lebih dulu mengalami kekerasan serupa. Masyarakat luas seakan memaklumi dengan apa yang terjadi pada saudara sesama bangsa itu. Namun Syiah di Sampang Madura lebih ironi lagi karena mengalami pengusiran menjelang hari raya umat Islam seluruh dunia.
Di dalam Negara hukum, seharusnya hukumlah yang berkuasa. Hukum dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia yang majemuk, bukan hanya sebagian kelompok yang terlebih dahulu mapan. Perbedaan pemahaman agama merupakan fenomena yang sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan ketika Nabi Muhammad masih hidup, perbedaan pemahaman para sahabat terhadap ajaran Nabi sudah ada. Akan tetapi Nabi tidak memepermasalahkannya, bahkan justru memakluminya.
Secara de jure Indonesia memiliki landasan konstitusi. Namun de facto-nya pemerintah kerap melakukan berbagai pelanggaran, sampai-sampai wakil gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mengatakan salah seorang menteri perlu belajar konstitusi. Blunder yang dilakukan pemerintah dalam kasus Syiah berimbas pada masyarakat luas. Pernyataan subordinatif menteri agama tentang “pencerahan” Syiah menimbulkan persepsi pembenaran bahwa Syiah merupakan aliran sesat yang harus dihilangkan. Karena itu masyarakat tidak segan-segan menghakimi warga Syiah, termasuk mengusirnya.
Sebenarnya, apa yang menjadi tolak ukur sesatnya suatu kelompok? Kita bisa berkaca pada tradisi tahlilan yang dilakukan oleh sebagian kelompok, dan diharamkan oleh kelompok lainnya. Padahal, permasalahan tersebut sudah menyangkut permasalahan akidah. Kelompok yang memperbolehkannya menganggap itu tradisi yang baik, sedang yang mengharamkan mengatakan sesat.
Akan tetapi, hubungan kedua kelompok yang berbeda tidak sampai mengakibatkan kekerasan seperti yang dialami Syiah dan Ahmadiyah. Karena pada dasarnya pertarungan ideologi ialah pertarungan pikiran, bukan fisik. Apabila perbedaan pemahaman agama dianggap suatu hal yang melegalkan kekerasan, maka hukum Negara benar-benar telah kehilangan fungsinya.
Sangat disayangkan ketika sesama warga Negara saling bermusuhan karena berbeda pemahaman. Keyakinan bukanlah hal yang mudah untuk diintervensi. Walaupun warga Syiah sepakat untuk dicerahkan, apakah ada jaminan mereka memang meninggalkan teradisi lamanya? Sepertinya tidak, karena keyakinan tersebut sudah mengakar selama ratusan tahun.
Solusi yang paling logis dalam mengentaskan kasus ini ialah dengan kembali kepada konstitusi. Negara harus tegas dalam mengambil sikap. Kasus Syiah bukanlah perkara sederhana. Dalam kasus tersebut terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan berbagai kalangan mulai pemerintah, tokoh agama, hingga warga. Selain itu diupayakan pula menghapus UU yang bertentangan dengan konstitusi, seperti UU penodaan agama.
Sejak dulu, bumi nusantara memiliki sejarah perbedaan keyakinan. Pada masa Majapahit, Mpu Tantular menulis kitab Sutasoma yang memuat kalimat sakti “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Inilah prinsip kehidupan berbangsa yang perlu kita teladani, warisan dari leluhur negeri ini. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk tidak berdampingan.
Aspek toleransi merupakan kunci utama menyikapi perbedaan. Ketika ada orang yang berbeda, maka hormati apa yang menjadi keyakinannya. Apabila dianggap salah, maka sikapilah dengan cara yang bijak. Di dalam kitab suci Alqur’an (An-Nahl: 125) disebutkan tiga metode berdakwah, yaitu: hikmah (kebijaksanaan), perkataan yang baik dan dialog yang baik pula.
            Semangat ke-bhinneka-an bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan tidak mengganggu aktivitas ibadah orang lain. Di Kudus bahkan semangat ini sudah ditunjukkan selama ratusan tahun lamanya. Warga setempat menaati titah Sunan Kudus yang melarang warga menyembelih sapi, demi menghormati kepercayaan umat Hindu yang menyucikannya. Tradisi tersebut bertahan hingga kini.



0 comments:

Post a Comment