Tuesday, February 25, 2014

Menyoal Syariat Agama Eps.4

Sumbe gambar: http://www.allah.org/allah.jpg
AKU DAN SANG GURU 
Dialog Imajiner Aku dan Sang guru

Sudah menjadi kebiasaanku untuk membuka situs-situs online yang mengandung unsur informasi dan berita. Aku berusaha untuk tidak alergi dengan media-media tertentu yang dianggap tabu. Mulai media paling kanan (sebut saja VOATENG) hingga paling kiri (sebut saja JIL AMSTRONG).
Dengan membaca berita-berita atau informasi yang ada di dalamnya, aku merasa menjadi orang yang lebih bisa berhati-hati. Karena membaca beberapa media yang berideologi berbeda, mau tidak mau membuatku harus sering mengelus dada apabila melihat ada hal-hal yang meresahkan. Tak apalah, ini konsekuensi.
Saat membuka akun FB berinisial ABHRM, aku benar-benar dibuat terkejut. Situs islamindonesia.co.id memuat berita yang sangat mengejutkan. Sebagai bagian dari menerapkan syariat Islam, Brunei melarang kata ALLAH digunakan oleh agama lain (klik: http://bit.ly/OA0U56). Aku bertanya-tanya, mengapa bisa?
Guru tiba-tiba hadir dengan ucapan salamnya yang merdu.
Aku (A): Guru, mohon baca ini! (Aku menunjukkan berita yang dimaksud)
Sang Guru (SG): Aku sudah tahu sejak lama
A: Lalu, apa pendapat guru tentang hal tersebut? Bayangkan saja, setelah Malaysia, kini Brunei melakukan hal serupa.
SG: Hm... Apa yang kau takutkan?
A: Aku tidak takut, tapi resah...
SG: Resah adalah rasa takut yang berlebihan
A: Apa maksudmu?
SG: Apa yang kau takutkan?
A: Jika paham seperti itu masuk ke negara kita
SG: Dan apa yang kau takutkan dengan itu? (Sejenak aku berpikir. Aku sendiri tidak tahu jawabannya mengapa aku takut)
A: Aku tidak tahu, guru.
SG: Itulah sifat burukmu, takut pada sesuatu yang tidak nyata. Kau boleh takut dan berprasangka ketika pelarangan itu sudah terbukti membuat ketakutan
A: Tapi citra agama ini akan menjadi kurang baik. Hanya sebatas nama
SG: Lalu apa yang kau takutkan? (Aku kembali berpikir. Pertanyaan guru merupakan pertanyaan sederhana yang sama sekali tak bisa kujawab).
A: Entahlah guru, aku menjadi... (sebenarnya ingin mengatakan malu, tapi harus malu pada siapa?)
SG: ....Malu? (Dari mana ia tahu hal tersebut?)
A: Tapi aku tidak tahu harus malu kenapa
SG: Itu yang kukatakan kau terlalu berlebihan. Agama itu suci. Agama itu baik dan benar. Kesalahan yang terjadi bukan karena ajaran agama itu, tapi lebih disebabkan kepentingan manusia yang menganutnya.
A: Tapi mereka mengatakan sebagai syariat Islam?
SG: Kau boleh cari di Alqur'an, bahwa Allah merupakan Tuhan semesta alam. Bukan Tuhan golongan tertentu. Di dalam ajaran yang pernah kau pelajari, coba maknai kata RABBIL ALAMIN dalam surat Alfatihah
A: Kang mengerani alam kabeh... (aku berkata lirih)
SG: Itu sudah jelas! Adapun mereka apabila melarang, hal tersebut tidak akan pernah berpengaruh dalam kehidupan keberagamaan mereka. Sejak zaman Ibrahim, kata ALLAH itu lazim digunakan oleh penganut agama manapun. Kata ALLAH juga digunakan oleh masyarakat jahiliyah untuk menyebut Tuhan mereka. 
A: Lalu, mengapa sekarang hal-hal yang dianggap sebagai bagian dari syariat justru menakutkan?
SG: Syariat itu bahan mentah. Kita ibaratkan sebagai semangka. Agar bisa disajikan kepada manusia, semangka itu harus dikemas. Cara pengemasan ini, mulai dari pemetikan dari pohonnya, diiris-iris dan lain-lain menggunakan metode. Dalam istilah fikih, cara pengemasan (penyajian) itu disebut ushul fikih. Hasil dari penyajian sedemikian rupa ini disebut fikih. Nah, kenapa syariat terkesan menakutkan? Karena banyak yang memaksakan untuk memakan semangka yang masih berada di pohonnya secara bulat-bulat!
A: Oh iya guru. Tapi mengapa setiap ulama memiliki pemahaman yang lain? Padahal....(Kulihat di samping, sosok guru sudah tidak terlihat)

Baca juga: 
NYARIS SEMUA WARTAWAN MASUK NERAKA EPS. 1

0 comments:

Post a Comment