Monday, February 24, 2014

Nyaris Semua Wartawan Masuk Neraka Eps. 2

AKU DAN SANG GURU
Wawancara imajiner aku dan Sang Guru

Guru selalu hadir di saat yang tidak dapat dinyana. Kedatangnnya ibarat kehendak hati yang bisa tiba-tiba berbicara. Namun terkadang ia seperti angan yang sulit untuk diwujudkan. Aku memberi istilah ini sebagai takdir. Entahlah! Mungkin tafsirku mengenai takdir kurang tepat. Namun sampai saat ini aku belum bisa menemukan kosakata yang lebih tepat daripada itu. Ia tak segan-segan mendatangiku dalam kondisi paling buruk sekalipun.
Pernah suatu ketika ia datang saat aku tengah memikirkan hal-hal bodoh. Ia membawa gambar orangtuaku dan membisikkan kata-kata yang membuat ngilu hati. Seketika aku hanya bisa meringis, bahkan terisak tenggelam dalam tangis. Itulah Sang Guru, yang hingga kini belum kukenal wajahnya.
Aku (A): Guru, aku masih belum mengerti apa yang kau maksudkan bahwa wartawan nyaris semuanya masuk neraka. Sudikah kau memberiku keterangan?
Sang Guru (SG): Kau akan segera mengerti. (Jawaban ini sudah bisa kutebak sebelumnya)
A: Terimakasih, guru. Jawabanmu sangat diplomatis dan memancing diriku untuk berpikir
SG: Hahahaha...
A: Mengapa guru tertawa?
SG: Hahahaha...
A: Guru? Bisa berikan aku penjelasan? Jangan membuatku semakin bingung
SG: Hahahaha... (Aku berpikir agar guru berbicara dengan jelas. Sebagai orang yang pernah belajar psikologi komunikasi, pengantar jurnalistik, jurnalistik cetak, bahasa Indonesia hingga seabreg teori kewartawanan, aku harus mampu membuat guru berbicara)
Dalam rumus wartawan yang paling sederhana (5 W + 1 H), seharusnya berita bisa tersaji. Okelah, target realistisku bisa membuat minimal berita straight news.
A: (Aku menyiapkan pertanyaan WHAT) Apa yang guru lakukan?
SG: Hahahaha aku tertawa
A: (dilanjutkan dengan WHO) Siapa yang guru tertawakan?
SG: Hahahaha aku menertawakanmu
A: (Fakta baru harus dimunculkan dengan WHY) Mengapa guru menertawakanku?
SG: Hahahaha karena kau aneh
A: (Hah, kapan aku mulai aneh? WHEN) Kapan guru melihatku aneh?
SG: Hahaha...
A: Kapan dan di mana (WHERE) tepatnya aku terlihat aneh?
SG: Hahaha... (Aku merasa pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan tidak membuatnya terbuka. Lalu aku mencoba untuk meluncurkan pertanyaan pamungkan, HOW)
A: Bagaimana aku bisa mengerti kalau kau masih sibuk dengan tawamu, guru?
SG: Hahaha kau akan segera mengerti...
AKU TIDAK MENGERTI! Hatiku menjerit karena kedatangan guru justru membuatku semakin bingung. Aku masih bertanya-tanya, mengapa wartawan nyaris semua masuk neraka? Tapi guru tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
A: Okelah guru. Aku mencoba untuk memahami isyarat yang kau munculkan. (Ketika aku berkata demikian, guru terdiam. Tawanya yang sejak tadi pecah mendadak hilang). Aku tahu, kau menertawakanmu karena aku tidak bisa membuatmu memberikan fakta kepadaku. Aku tahu kau menertawakan ketidakmampuanku ini.
SG: KAU! (Suaranya meninggi. Seperti biasa, aku menggigil dibuatnya). ITULAH MENGAPA ORANG-ORANG SEPERTIMU MASUK NERAKA! KAU HANYA BISA MENGARANG TANPA ADA FAKTA YANG KAU GALI. TUGAS WARTAWAN SEBENARNYA BUKANLAH MENGARANG, TAPI MENYAMPAIKAN!
Aku terhenyak. Inikah yang dimaksud dosen-dosenku di kelas? Bu Nadhiroh selalu mewanti-wanti agar wartawan tidak beropini. Jangan sampai mengarang berita tanpa didasarkan fakta. Wartawan memang sebuah profesi mulia apabila dilakukan dengan cara-cara mulia. Ibarat tukang pos, ia harus menyampaikan surat apa adanya. Apabila ada alamat yang tidak jelas, seorang tukang pos tidak boleh lantas berijtihad menyampaikan di sembarang tempat. Semua harus berdasar fakta yang ada. Pak Amiruddin pun kurang lebih berkata demikian.
Kini aku paham mengapa guru berkata demikian. Ingin sekali aku meminta maaf karena perbuatanku ini, tapi guru sudah tidak beranjak pergi.


Baca juga:
NYARIS SEMUA WARTAWAN MASUK NERAKA EPS. 1
ALQUR'AN BUKAN KITAB PRIMBON EPS.3

0 comments:

Post a Comment