Sunday, February 2, 2014

Menjadi Pemilih Ideal

Tahun 2014 disebut-sebut sebagai tahun pertikaian politik. Pada tahun ini, dipastikan persaingan antar partai kian memanas.  Hal ini sekaligus menjadi ujian bagi masyarakat untuk tidak terjebak dalam politik pragmatis. Masyarakat diharapkan memilih berdasar kapasitas seorang calon pemimpin.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual harus memberi contoh kepada masyarakat dalam rangka memerangi politik pragmatis. Bagaimana caranya? Tentu bukan dengan menjadi golongan putih (golput). Mahasiswa diharapkan menjadi agen sosial yang menuntun bangsa ini menjadi pemilih yang ideal. Salah satu caranya dengan mengkampanyekan anti politik uang (money politic).
Politik uang ialah awal dari segala bencana bangsa. Seorang calon yang melakukan politik uang, ketika ia terpilih dan menjabat sebagai wakil rakyat, dipastikan ia akan mencari ganti uang yang telah dihabiskannya saat kampanye. Ini yang memicu terjadinya kasus korupsi. Untuk itulah, perlu diadakan pendampingan masyarakat dalam meminimalisir terjadinya politik uang. Bila perlu, adakan sayembara untuk melaporkan pelakunya.
Politik merupakan cara merebut kekuasaan. Dalam bahasa Arab, politik disebut siyasah yang artinya strategi. Dalam pertarungan politik, segala cara dihalalkan selama tidak melanggar konstitusi. Salah satu bentuk pelanggaran politik, selain politik uang, ialah kampanye hitam (black campaign). Banyak modus yang digunakan dalam melakukan kampanye hitam, di antaranya dengan menjatuhkan lawan politiknya dengan isu-isu SARA.
Banyak masyarakat yang memilih berdasarkan saran tokoh yang berpengaruh di lingkungannya. Hal ini sah-sah saja dilakukan. Namun, masyarakat yang seperti itu rawan dijadikan alat untuk kepentingan sesaat.  Sikap pragmatisme sangat berpotensi menjadi lahan subur kampanye hitam. Di Jakarta misalnya, modus kampanye hitam berbingkai agama pernah dilakukan terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Seorang tokoh menghimbau agar warga tidak memilih pasangan tersebut karena berkeyakinan berbeda.
Masalah terbesar bangsa ini ialah masih berkutatnya masyarakat terhadap paham sekterian. Bagi masyarakat pragmatis, memilih bukanlah dari visi dan misi serta semangat yang ditunjukan calon pemimpin, tapi dilihat dari kesamaan dan penampilan luar. Masyarakat pragmatis juga memilih berdasarkan timbal balik yang diterimanya dari masing-masing calon. Siapa yang berani bayar lebih, maka medapat suara. Pemahaman politik semacam ini harus diluruskan sampai akar-akarnya.
Dalam sejarah Politik Islam, kemajuan dinasti Abasiyah merupakan buah dari sikap terbuka dengan budaya dan agama lain. Sikap sekterian Arabsentris yang menjadi praktik dinasti sebelumnya ditinggalkan. Bahkan khalifah, pemimpin tertinggi, memasukkan orang-orang yang berbeda agama ke dalam struktur pemerintahan. Sejarah inilah yang harus dipahami agar tidak terjebak pada pragmatisme.
Sebagai pemilih pemula, mahasiswa diharapkan tidak apatis terhadap politik. Ketika merasa panggung politik di Indonesia sudah tidak sehat, maka tugas dan kewajiban bersama bagaimana memperbaiki itu semua. Karena pada dasarnya, semua permasalahan bangsa berasal dari permasalahan politik.
Pesta demokrasi ada di depan mata. Saat-saat seperti ini, aksi sikut-sikutan antarpartai akan menghiasi kehidupan bangsa Indonesia. Idealnya, mahasiswa sebagai agen kontrol sosial turut berpartisipasi, bahkan mengawal prosesnya sejak masa kampanye hingga hari pemilihan kelak. Jangan sampai dengan apatisnya mahasiswa akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang tidak berkompeten.

0 comments:

Post a Comment